[Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si.]
“Nisaa…
Sini, Cantik,” panggil Bunda lembut. Annisaa,
gadis kecil yang tengah asyik mengamati kupu-kupu di taman itu, menoleh,
tersenyum dan memenuhi panggilan bundanya.
“Iya,
Bun,” seru Nisaa sambil berlari-lari kecil menuju Bunda.
“Lihat…
Abi sudah datang menjemput kita. Kita pulang sekarang ya, Sayang,” ucap Bunda
penuh cinta. Bunda menunjukkan kedatangan Abi pada Nisaa. Abi baru saja pulang
dari toko alat-alat listrik di seberang komplek, beli kabel rol. Karena jalan
raya sangat ramai di sore hari, maka Abi berpesan pada Nisaa dan Bunda agar
menunggunya di taman komplek saja, tak jauh dari pintu gerbang komplek.
“Na’am,
Bunda,“ sambut Nisaa dengan salah satu kosakata bahasa Arab yang sedang paling
sering ia ucapkan. Nisaa menoleh pada Abi. Abi pun berjalan mendekat.
“Assalamu’alaykum,”
Abi mengucapkan salam. Nisaa dan Bunda menyambutnya dengan tersenyum.
“Wa’alaykumussalam,”
jawab Nisaa dan Bunda bersamaan. Abi pun balas tersenyum.
“Nisaa
habis ngapain sama Bunda? Asyik banget kayaknya. Abi jadi pengen tahu,” tanya
Abi sambil menggendong Nisaa. Meski sudah 7 tahun, Abi masih suka menggendong Nisaa.
Sebenarnya, Bunda sudah sering mengingatkan Abi tentang hal ini. Apalagi, insya
Allah Nisaa akan punya adik, karena Bunda sedang mengandung 5 bulan. Bukannya
Bunda tidak setuju jika Abi sesekali memanjakan Nisaa. Hanya saja, maksud
Bunda, Nisaa juga harus dijaga agar selalu siap belajar menjadi sosok yang
dewasa. Tidak hanya karena akan punya adik, melainkan suatu saat Nisaa juga
akan menjadi perempuan dewasa. Jadi menurut Bunda, Nisaa harus dipersiapkan
sejak dini untuk menjadi muslimah tangguh. Agar ia menjadi pencetak generasi
berkualitas di masa depan nanti, insya Allah. Berhubung Nisaa masih kecil, maka
pendewasaannya pun dengan bentuk pembelajaran yang semudah dan sekecil apapun
yang sekiranya sudah bisa dijangkau oleh akal dan tingkat
berpikirnya.
Bunda yakin, pendidikan berkarakter dan berbasis
aqidah Islam harus ditanamkan sejak dini. Bunda terinspirasi dengan salah satu
shahabiyah Rasulullaah saw, Nusaibah binti Ka’ab, yang juga dikenal sebagai
Ummu Umarah. Ummu Umarah menjadi simbol semua kemuliaan. Beliau ahli ibadah,
seorang mujahidah (perempuan yang ikut berperang) dan sabar dalam menghadapi
semua cobaan. Beliau telah ikut beberapa besar bersama Rasul, di antaranya
Baiat Aqabah kedua, Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah, Perang Khaybar,
peristiwa Umroh Qodho, penaklukan kota Makkah dan Perang Hunain. Beliau adalah
mujahidah pertama dalam sejarah Islam.
Beliau juga seorang ibu dari para mujahid yang menjadi syahid di medan jihad (Al-Misri
2006).
“Ehmm… Bunda tadi cerita tentang
berubahnya ulat jadi kupu-kupu, Bi. Makanya kan tadi Nisaa lagi ngejar
kupu-kupu. Kata Bunda, saat masih jadi ulat, dia masih jelek. Nggak punya
sayap. Tapi setelah jadi kupu-kupu, ulatnya jadi cantik, punya sayap, terus bisa
terbang deh. Bunda juga cerita kalau itu semua adalah ciptaan Allah. Kita harus
syukuri dan pelajari. Terus, kalau kita sudah tahu ceritanya, nanti bisa
dikasihtahu ke temen-temen Nisaa, Bi. Pokoknya cerita dari Bunda keren banget
deh. Kapan-kapan kita minta didongengin bareng sama Bunda yuk, Bi,” papar Nisaa
panjang lebar. Nisaa memandang Bunda, penuh harap. Nisaa senang mendengar
segala cerita dari Bunda. Karena cerita dari Bunda selalu menarik untuk
didengar. Bunda juga pandai membahasakan segala ceritanya dengan bahasa yang
bisa dimengerti oleh Nisaa. Jadilah Nisaa makin banyak menyerap informasi dari
Bunda, idolanya itu.
“Iyakah?
Subhanallaah… Padahal Abi cuma pergi sebentar, tapi Bunda bisa sebanyak itu
cerita ke Nisaa? Wah, Bunda memang keren deh, ckckck,” puji Abi terkekeh. Abi
menoleh pada Bunda, Bunda jadi tersipu. Ayah dan anak ini memang kompak.
“Abi
ini bisaan deh. Iya, boleh kok Nisaa Sayang. Sekarang pulang dulu ya, sudah
menjelang maghrib niy. Abi kan harus segera sholat berjama’ah di masjid,” Bunda
pun menenangkan, tanpa meninggalkan senyum menawannya. Mereka berjalan pulang.
***
Hari
Sabtu, Bunda lebih sibuk menyiapkan perlengkapan Nisaa sejak pagi. Perlengkapan
untuk bekal makanan di sekolah dan untuk menginap. Hari Sabtu sampai dengan
Selasa, kadang-kadang hingga Rabu sore, adalah jadwal Nisaa untuk tinggal di
rumah Umi. Ya, Bunda memang bukan ibu kandung Nisaa. Abi dan Umi bercerai saat Nisaa
berusia 3 tahun. Kemudian, Abi menikah dengan Bunda saat Nisaa berusia 5 tahun.
Hak
asuh Nisaa diberikan kepada Umi. Tapi Abi juga masih berhak untuk mengasuh Nisaa.
Maka, dibuatlah pembagian jadwal menginap dalam seminggu. Selasa atau Rabu
sore, Nisaa akan tinggal di rumah Abi dan Bunda hingga Sabtu pagi. Sabtu,
langsung setelah pulang sekolah, Abi atau Bunda akan mengantar Nisaa ke rumah
Umi. Kadang-kadang Umi juga menjemput Nisaa di sekolah, sehingga Abi atau Bunda
tidak harus mengantar Nisaa ke rumah Umi. Sesekali Umi juga mengantar Nisaa ke
rumah Abi dan Bunda.
Meski
Bunda bukan ibu kandung Nisaa, tapi saat menikah dengan Abi, Bunda sudah
berkomitmen untuk menyayangi Nisaa seperti anaknya sendiri. Tak heran, jika
Bunda menjadi ibu baru yang sangat baik untuk Nisaa. Sebagaimana hasil sholat
istikhorohnya, insya Allah Abi tidak salah saat memilih Bunda, terlebih demi Nisaa.
Abi sendiri bukan dengan mudah dapat menaklukkan hati Bunda. Bunda memang bukan
muslimah pinggiran. Bunda adalah muslimah hebat. Sebelum menikah, Bunda bahkan memastikan
setiap langkah persiapan Abi dengan rinci, khususnya tentang Nisaa. Bunda tidak
ingin Nisaa menjadi korban saat Abi menikahinya. Bunda ingin Nisaa tetap
merasakan kebahagiaan hidup bersama orang tua kandungnya, walau keduanya telah
berpisah. Bunda justru ingin Nisaa tetap merasa beruntung dengan punya dua ibu
dan adik-adik baru. Bukankah keluarganya akan makin banyak? Maka, menurut
Bunda, hak asuh dan jadwal menginap untuk Nisaa, harus dikelola dengan baik dan
benar.
Bunda
sedemikian perhatian pada Nisaa. Bagaimanapun, perceraian tetap berpotensi untuk
mempengaruhi psikis Nisaa sebagai anak. Terlebih dalam sistem kapitalisme
seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin, anak menjadi bahan rebutan saat
sidang cerai maupun pembacaan putusan hak asuh. Tidak seharusnya anak menjadi
korban. Oleh karena itu, segala urusannya harus dibicarakan secara komunikatif.
***
Keluarga
merupakan unit terkecil dari masyarakat, yang darinya akan dilahirkan anak
keturunan mereka sebagai sendi utama bagi pembentukan bangsa dan negara. Namun demikian, dalam
pembentukan keluarga adakalanya timbul permasalahan antara suami dan istri. Ini
bukan suatu yang aneh karena suami-istri merupakan perpaduan dari dua orang
yang mempunyai kepribadian yang berlainan. Permasalahan dalam suatu keluarga
yang tidak kunjung usai dapat berujung pada perceraian. Banyaknya kasus
perceraian yang terjadi di kalangan artis, seakan mengesahkan perceraian
sebagai suatu hal yang biasa. Mereka menganggap kesakralan perkawinan sudah
tidak lagi bermakna (Priyana 2011).
Imam
At-Tirmizi rahimahullah berkata (1863): Katsir bin ‘Ubaid telah menceritakan
kepada kami (dia berkata): Muhammad bin Khalid telah menceritakan kepada kami
dari Mu’arrif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar dari Nabi saw,
beliau bersabda:
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ
“Perkara
halal yang paling Allah benci adalah perceraian.”
Perceraian
dapat berdampak psikologis pada anak, seperti perubahan sikap dan perilaku
anak. Anak jadi sering marah, malu, minder dan lain sebagainya. Bisa jadi,
kebutuhan hidup anak juga mengalami kesulitan. Karena biaya hidup yang biasanya
ditanggung dua orang sekarang beralih menjadi satu orang saja. Dalam hal
pendidikan anak, permasalahan juga bisa muncul. Anak yang saat belajar selalu
diberi dorongan, diarahkan, disemangati oleh kedua orang tuanya, setelah
perceraian, tidak ada yang menyemangati sebab orang tuanya sibuk bekerja.
Akibatnya anak menjadi malas belajar (Priyana 2011).
Dengan
adanya perceraian maka akan terjadinya perubahan status dan peran antara suami-istri.
Bagi suami akan mendapatkan status berupa duda, sedangkan bagi istri akan
mendapatkan status janda. Namun, bagi ayah atau ibu, seharusnya mereka tetap
memperhatikan anak. Sering berkomunikasi, bercengkrama dan menanyakan kesulitan
belajar kepada anak, baik di sekolah maupun di rumah, adalah langkah-langkah
agar anak tidak terlalu terbebani dengan perceraian orang tuanya. Hal ini penting
agar anak bisa menerima perpisahan ayah dan ibunya. Disamping itu, anak dapat
menyesuaikan diri secara positif terhadap perceraian tersebut, sehingga tidak
mengganggu tumbuh kembangnya. Bagi mantan suami, tetap ikut bertanggung jawab
terhadap biaya anak, antara lain biaya pendidikan, perawatan, kesehatan dan kebutuhan
hidup (Priyana 2011).
***
Tanpa
perlu dirahasiakan, Bunda berlatar belakang seperti Nisaa, punya ibu tiri.
Nasib Bunda justru lebih tidak enak. Karena ibu tiri Bunda bukan orang yang mau
menerima Bunda sebagai anak kandung. Padahal orang tua Bunda berpisah karena
ibu Bunda meninggal saat Bunda masih bayi. Sejak itu, Bunda diasuh oleh nenek
dan kakek dari ibunya. Bisa dikatakan bahwa Bunda tidak pernah hidup bersama
bapaknya setelah beliau menikah lagi. Ironisnya, Bunda sampai harus
sembunyi-sembunyi jika akan bertemu Bapak. Karena ibu tirinya tidak terlalu
suka jika Bunda bertemu dengan bapaknya.
Saat
bapaknya menikah
lagi, usia Bunda 6 tahun. Darinya, Bunda mendapatkan dua orang adik perempuan.
Adik pertamanya lahir saat usia Bunda 7,5 tahun. Untuk pernikahan ini,
nampaknya bapak Bunda memiliki alasan lain yang diprioritaskan, entah apa. Yang
pasti, alasan itu bukan diri Bunda. Kisah masa kecil ini membuat Bunda trauma dengan posisi ibu
tiri. Saat SMP, Bunda sempat berpikir untuk membalas dendam kepada ibu tirinya.
Alhamdulillaah Bunda masih dijaga oleh Allah, sehingga Bunda tidak melaksanakan
rencana itu. Bunda percaya bahwa Allah tidak akan membebani seorang
hamba melebihi kemampuannya.
Makin
bertambah usia, Bunda makin sadar. Bunda harus terjaga untuk selalu
berprasangka baik kepada Allah. Barangkali ibu tirinya itu adalah letak
kebahagiaan yang Allah karuniakan pada bapaknya. Bukankah seharusnya kita juga
turut bahagia jika orang kita sayangi juga bahagia?
Akhirnya,
Bunda menerima qodho
Allah. Bunda percaya sepenuhnya pada ke-Maha-Adil-an Allah. Jadi Bunda tidak boleh membenci Bapak. Bunda tak ingin durhaka
pada orang tua, apalagi satu-satunya, insya Allah. Bunda teringat firman Allah
Swt yang memerintahkan kepada manusia untuk selalu berbuat baik kepada orang
tuanya dalam surat Al Israa’ ayat 23, yang artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia”. (TQS Al Israa’ [17]:23).
Dari ayat tersebut sudah
jelas, seorang anak yang tidak berbuat baik kepada ibu-bapaknya sudah termasuk
sebagai anak yang durhaka. Karena secara nyata dia telah mengingkari perintah
Allah, walaupun boleh jadi kedua orang tuanya memaklumi dan memaafkan dia, dan
tidak pernah menganggap anaknya tersebut berbuat durhaka dengan apa yang
dilakukannya. Sementara di
sisi lain, Bunda juga ingin menjadi anak yang sholihah bagi ibunya, agar
doa-doa Bunda untuk ibu dapat diterima oleh Allah. Karena Bunda faham bahwa doa
anak sholih atau sholihah itu bagian dari amal yang tidak akan terputus meski
seorang muslim itu telah meninggal.
Maka, saat menghadapi Nisaa,
Bunda mengimplementasikan keyakinannya itu. Mantan istri atau suami memang ada,
tapi tidak akan pernah ada yang namanya mantan anak. Meski Bunda adalah ibu
tiri Nisaa, tapi Bunda ingin dekat dengan Nisaa seperti ibu kepada anaknya,
sebagaimana Nisaa dekat dengan Uminya. Bunda tidak ingin membuat Nisaa merasa
asing padanya.
***
Sabtu
siang, Umi menjemput Nisaa di sekolah. Tadi pagi, Umi sudah menghubungi Bunda,
agar Nisaa tidak perlu Bunda antar ke rumah Umi. Hari itu Umi sedang ada jam
kerja ekstra. Maka setelah menjemputnya, Umi mengajak Nisaa ke tempat kerjanya
terlebih dulu. Umi bekerja di sebuah pusat penelitian ilmiah.
“Assalamu’alaykum,
Sayang,” sapa Umi kepada Nisaa dari depan pintu gerbang sekolah. Nisaa berlari
menghampiri Umi.
“Wa’alaykumussalam,
Umi.” Nisaa menjawab salam Umi. Umi mencium Nisaa, pipi kanan dan kiri.
Demikian pula Nisaa.
“’Pa
kabar Nisaa minggu ini?” tanya Umi.
“Alhamdulillaah
Nisaa sehat, Mi. Umi ‘pa kabar juga?” tanya Nisaa.
“Alhamdulillaah
Umi juga sehat, Sayang. Umi kangen sekali sama Nisaa,” jawab Umi.
“Nisaa
juga kangen sama Umi, kangen sekali…” balas Nisaa. Umi pun menggandeng Nisaa,
berjalan ke tempat Umi memarkir mobil. Lalu, mereka masuk ke mobil.
“Gimana
kabar Bunda dan Abi, Nisaa?” tanya Umi sambil bersiap menyetir mobil.
“Alhamdulillaah
semua sehat, Mi,” jawab Nisaa.
“Alhamdulillaah
kalau begitu,” balas Umi. “Eh kita ke kantor Umi dulu baru kita pulang ya,
Sayang. Umi masih ada sedikit pekerjaan yang mau diselesaikan,” jelas Umi.
“Na’am,
Mi,” jawab Nisaa.
“Eh,
pakai bahasa Arab ya? Subhanallaah, anak gadis Umi makin pandai niy,” puji Umi.
“Hehe…
Nisaa lagi seneng pakai kata itu, Mi, ‘na’am’,” jawab Nisaa malu-malu.
“Soalnya, baru bisa itu aja, hehe…” lanjut Nisaa kocak.
Umi
tersenyum. “Ya nggak
apa-apa, sedikit-sedikit insya Allah lama-lama bisa jadi bukit. Sambil jalan,
sambil belajar, Sayang. Bahasa Arab kan bahasa Al-Quran, bahasa Islam, jadi
sudah selayaknya kita bisa menggunakannya,” jelas Umi bijak.
“Insya
Allah, Mi. Nisaa suka dengan bahasa Arab. Jadi saat tilawah, sambil membaca
tulisan Arabnya, juga bisa mengerti artinya,” tambah Nisaa.
Sekitar
30 menit kemudian, Umi dan Nisaa tiba di kantor Umi. Umi pun menyelesaikan
beberapa pekerjaannya. Nisaa menunggu sambil makan bekal yang disiapkan Bunda
tadi pagi. Pekerjaan Umi selesai menjelang ashar.
“Kita
sholat ashar dulu baru pulang ya, Sayang. Malam minggu begini biasanya macet
sejak sore. Takutnya mepet banget di akhir waktu kalau sholat di rumah,” kata
Umi.
“Okay,
Mi,” sahut Nisaa.
Sesaat,
Nisaa bertanya dalam hati, “Apa ya yang membuat Abi dan Umi bercerai? Umi dan Bunda
sama-sama baiknya kok. Umi dan Bunda sama-sama harus disayang. Tapi mengapa Abi
tidak ingin lagi bersama Umi, seperti saat Nisaa kecil dulu ya?”
“Entahlah.
Yang penting, kehadiran Umi dan Bunda adalah pencerah yang sama hebatnya di
sisi Nisaa,” gumam Nisaa, masih dalam hati.
***
Betapa malang
nasibku
Semenjak
ditinggal ibu
Walau kini
dapat ganti
Seorang
ibu... ibu tiri
Tiada sama
rasanya
Ibu
kandung yang tercinta
Menyayang
sepenuh jiwa
Penuh
kasih lagi mesra
Ibu tiri
hanya cinta
Kepada
ayah ku saja
Selagi
ayah di sampingku
Ku dipuja
dan dimanja
Tapi bila
ayah pergi
Ku dinesta
dan dicaci
Bagai anak
tak berbakti
Tiada
menghirau ku lagi
Aduhai ibu
tiriku
Kasihanilah
pada ku
Bagai anak
mu sendiri
Agar dapat
ku berbakti (lirik
lagu Ratapan Anak Tiri)
***
Malam
itu, Bunda gelisah memikirkan Nisaa. Abi pun menangkap kegelisahan Bunda. Suara
penyiar berita malam di televisi mengiringi pembicaraan mereka.
“Ada
apa, Bun? Kayaknya ada yang bikin galau?” tanya Abi, menghampiri Bunda di ruang
tengah. Abi duduk di sebelah Bunda.
Bunda
tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Bi. Bunda cuma lagi mikirin Nisaa.”
“Memang
kenapa dengan Nisaa, Bun? Cerita deh,” tanya Abi lagi.
“Iya
niy, Bi. Nisaa kan sekarang lagi sama Uminya. Entah kenapa Bunda jadi
kepikiran. Gimana ya kira-kira perasaan Nisaa ke Bunda kalau Nisaa lagi sama
Uminya kayak sekarang ini? Bunda khawatir kalau Bunda belum bisa memberikan
yang terbaik seperti yang Nisaa peroleh dari Uminya, Bi. Bunda khawatir kalau Nisaa
masih punya keraguan sama Bunda. Gimanapun, Bunda kan cuma ibu ketemu gede bagi Nisaa,” jelas Bunda. Ekspresi
wajahnya kental dengan kegalauan.
Abi
tersenyum. “Bunda kenapa jadi lemes gitu? Kan biasanya Bunda selalu tegar. Tapi
kalau sudah giliran ngomongin Nisaa, Bunda selalu merasa masih punya banyak
kekurangan. Bunda tahu nggak, you are the
best for her, for me, for us, insya Allah. Abi memilih Bunda karena Abi
yakin Bunda bisa menjadi teladan yang tepat untuk Nisaa dan adik-adiknya nanti.
Jadi Bunda nggak perlu selalu khawatir begitu. Bunda harus khusnudzdzon. Bunda adalah
idola baru Nisaa, percaya deh sama Abi. Perkara bagaimana perasaan Nisaa antara
ke Bunda dan ke Uminya, itu terserah Nisaa. Biarkan dia. Bunda tentu ingat
bahwa manusia tidak akan sanggup berlaku adil dalam perkara cinta dan kasih
sayang. Demikian halnya dengan Nisaa, karena itu adalah fitrah manusia. Bunda tak perlu gundah
dengan hal itu. Yang penting, kita sebagai orang tuanya, selalu berusaha
menjaganya untuk tetap dalam koridor syariat Islam.” Abi mengingatkan Bunda.
Bunda mendengarkan dengan seksama.
“Astaghfirullaah…
Aduh… Bunda tiba-tiba merasa jadi orang lebay, Bi. Bunda sudah berlebihan dalam
kekhawatiran itu. Sampai Bunda lupa, bahwa cinta dan kasih sayang Nisaa pada
Bunda adalah hak prerogatif Nisaa. Nggak seharusnya Bunda repot mikirin sampai
ke sana. Yang bisa Bunda lakukan adalah mengusahakan yang terbaik untuk Nisaa, karena Allah juga akan
menilai itu. Insya
Allah Bunda mengerti. Jazakallaah khoyr sudah mengingatkan Bunda ya, Bi.” Bunda
tersenyum mengerti.
“Wa
iyyaaki, aamiin. Iya, Bun, insya Allah. Yang pasti, Abi pesan, bahwa masa lalu
Bunda dengan Bapak
jangan sampai terus-menerus menghantui Bunda. Tiap orang punya jalannya
sendiri-sendiri, Bun. Jadi tidak bisa digeneralisasi. Kasusnya beda-beda. Bunda
kan orang yang sangat cinta Allah. Jadi Abi yakin Bunda pun akan senantiasa
dijaga oleh Allah. Demikian halnya dengan keluarga yang Bunda jaga. Yang
terdekat, ya Abi dan Nisaa. Iya kan, Bun?” tambah Abi.
“Insya
Allah, Bi,” sahut Bunda.
***
Posisi
Bunda bagi Nisaa memang berpotensi
dianggap sebagai kasus rumit di masa kini. Parahnya, televisi justru seringkali
menayangkan keserakahan ibu tiri, yang kehadirannya selalu dicurigai oleh
keluarga suami, seakan-akan ingin menguasai harta si suami. Tayangan
keserakahan ibu tiri di televisi kiranya tidak dapat dijadikan ukuran terhadap
citra ibu tiri pada umumnya. Boleh jadi masih banyak ibu tiri yang berperilaku
baik yang mencerminkan perilaku istri yang sholihah, yang menyayangi anak
tirinya bagaikan anak kandungnya dan menjalin hubungan baik dengan keluarga suaminya.
Demikian pula keluarga suami, sudah semestinya menjalin sikap yang bersahabat
dengannya.
Sayangnya,
perilaku ibu tiri yang baik, nyaris tidak pernah ditayangkan di televisi. Namun,
kita harus optimis, jika ada atau bahkan sering ditayangkan perilaku ibu tiri
yang baik, demikian pula keluarga suaminya yang sangat bersahabat itu, maka akan
menjadi sebagian dari upaya pendidikan kepada masyarakat, yakni menjadi teladan
bagi istri yang kebetulan menjadi ibu tiri dan keluarga suaminya serta
masyarakat pada umumnya. Pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi citra
serakah seorang ibu tiri dan sikap curiga keluarga suaminya.
Sejatinya,
ibu tiri yang masih terikat pernikahan dari suaminya pada hakikatnya adalah
istri dari suaminya dan kedudukannya sama dengan kedudukan seorang istri. Hal
ini berarti bahwa hak dan kewajibannya sama dengan hak dan kewajiban seorang
istri terhadap suaminya. Hak dan kewajiban suami dan istri dalam kehidupan
rumah tangga diatur sedemikian rupa oleh ajaran Islam yang tertuang dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullaah saw. Dengan demikian, seandainya suatu
rumah tangga Muslim mengikuti ajaran agama Islam yang berhubungan rumah tangga
dengan benar sesuai dengan petunjuk Allah Swt dan Rasul-Nya, niscaya apa yang
ditayangkan pada televisi itu tidak akan terjadi.
Pesan-pesan yang tersirat pada firman
Allah Swt yang mengatur hubungan anak tiri dengan bapak tiri dan ibu tiri,
yaitu:
1. Dengan terjadinya akad nikah
yang sah antara seorang laki-laki yang mempunyai putra dengan seorang
perempuan, maka putra dari laki-laki itu menjadi mahram (tidak boleh kawin)
untuk selama-lamanya dari perempuan itu (ibu tiri), walaupun si ibu tiri telah
bercerai dengan laki-laki itu (bapak si anak). Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ
سَبِيلاً. [النسآء (4): 22].
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [QS. an-Nisa’ (4): 22].
2. Jika terjadi akad nikah yang
sah antara seorang laki-laki dengan seorang janda yang mempunyai anak
perempuan, maka anak perempuan dari janda itu menjadi mahram untuk
selama-lamanya dari laki-laki itu, setelah terjadi hubungan seksual antara
laki-laki (suami) dengan janda yang telah menjadi istrinya itu(ba‘da dukhul),
walaupun laki-laki itu telah bercerai dengan janda itu. Allah SWT berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ... ... ...
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ...
[النسآء (4): 23].
Artinya: “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; … … … anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; …” [QS. an-Nisa’ (4): 23].
Dari
ayat-ayat di atas dapat difahami bahwa dengan terjadinya akad nikah yang sah
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah seorang atau keduanya
telah mempunyai anak, maka pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa hukum
yang berlaku bagi kedua pasangan yang telah melakukan akad nikah dan anak-anak
mereka. Peristiwa hukum itu ialah telah terjadi tahrim mu‘abbad
(larangan atau
halangan perkawinan untuk selama-lamanya) antara bapak dengan anak tirinya yang
perempuan jika bapak dengan istrinya (ibu anak tiri) ba‘da dukhul (telah
berhubungan seksual) dan antara ibu dengan anak laki-laki dari suaminya.
Larangan atau halangan perkawinan ini adalah larangan atau halangan yang tetap
untuk selama-lamanya walaupun nanti pada suatu saat terjadi perceraian antara
si bapak tiri (suami) dan ibu anak tiri (istri).
Dalam
hal ini tersirat suatu pesan kepada semua anggota keluarga bahwa telah terjadi
perubahan status hukum pada keluarga mereka, yaitu masing-masing mereka telah
menjadi anggota keluarga dari bapak dan ibu mereka. Sebagai anggota keluarga
yang baik mereka harus berusaha untuk menciptakan kerukunan, kebersamaan dengan
melakukan musyawarah dalam keluarga sebagaimana petunjuk yang terdapat pada
surat ath-Thalaq ayat 6 di atas. Mereka harus yakin bahwa Allah dan Rasul-Nya
memberi tuntunan yang lengkap dalam membina hidup berkeluarga. Dengan demikian
tidak ada lagi anggota keluarga yang merasa disisihkan oleh anggota keluarga
yang lain (www.umy.ac.id 2011, diakses tanggal
14/05/2012).
***
Anak
adalah permata hati. Mitos
ratapan anak tiri harus diganti. Tak seharusnya label ‘anak tiri’ dan ‘ibu
tiri’ membuat keki. Anak tiri pun tak boleh meratap lagi. Tak peduli anak kandung atau anak
tiri, kehadirannya merupakan anugerah terindah bagi orang tua. Allah Swt telah berfirman secara khusus untuk
menjaga anak-anak kita, yaitu: “Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan
Memberi Rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar.” (TQS Al-Israa [17]: 31). Demikian pula
firman Allah Swt yang telah mengabadikan kisah Luqman dalam Al-Qur’an: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.’ ” (TQS Luqman [31]: 13).
Anak adalah generasi potensial untuk membangun bangsa dan
peradaban. Adalah
tripartite agent yang berkompeten
dalam menyiapkan mereka menjadi generasi yang berpendidikan dan cerdas serta
memegang teguh aqidah dan syariat, yaitu keluarga, masyarakat dan lingkungan, serta pemerintah atau negara.
Output pendidikan melalui jalur
keluarga akan optimal apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa
pra-nikah, setelah masa pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan,
serta berlanjut sampai ke jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi
tanggung jawab penuh orang tua. Namun, pendidikan anak tidak dapat semata-mata
dilakukan oleh keluarga. Keyakinan seorang hamba akan hubungannya
dengan Allah Swt adalah mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya. Hal ini terkait dengan
kontribusi masyarakat dalam menyiapkan generasi cerdas yang diwujudkan dengan
partisipasi menciptakan lingkungan yang suportif dan kondusif.
Masyarakat sebagai pengontrol hendaknya memiliki perasaan, pemikiran, peraturan
yang sama, yaitu atas landasan Islam agar segala bentuk perilaku individu dalam
kehidupannya itu senantiasa terjaga dengan benar. Masyarakat pun harus kondusif
dengan suasana ‘amar ma’ruf nahyi mungkar. Selanjutnya,
negara sebagai penegak aturan adalah negara yang menegakkan aturan Allah dalam
pemeliharaan urusan rakyatnya, baik dari sisi kebutuhan
jasmani (hajatul udhowiyah) maupun
naluri (ghorizah).
Negara melalui
kebijakan pemerintah yang berlandaskan syariat Islam dalam
bingkai Khilafah,
harus mampu memfasilitasi proses pendidikan dan pembelajaran,
sehingga rakyat senantiasa terkondisikan untuk menyempurnakan ketaatannya kepada
Allah.
Dengan
demikian telah jelas bahwa Islam diturunkan memang untuk menjadi solusi bagi
permasalahan kehidupan manusia. Hal ini adalah jaminan dari Allah berdasarkan
firman-Nya dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Serta dalam QS.Al-Ahzab ayat 36: “Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Wallaahu
a’lam bish showab [].
Daftar Pustaka:
Al-Misri M. 2006. Sirah Shahabiyah
Jilid 2. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
An-Nabhani
T. 2001. Sistem Pergaulan dalam Islam.
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Priyana
D. 2011. Dampak perceraian terhadap kondisi psikologis dan ekonomis anak (studi
pada keluarga yang bercerai di desa Logede kec. Sumber kab. Rembang) [skripsi].
Semarang: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar