[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]
May Day 2012 di Indonesia
Hari Buruh Internasional atau May Day, yang jatuh pada hari Selasa
(01/05), diperingati oleh jutaan buruh di seluruh dunia. Para pekerja atau
buruh memanfaatkan momentum peringatan tersebut untuk memperjuangkan hak-hak
normatif mereka yang kerap terabaikan oleh nafsu meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya (republikaonline,
01/05/2012). Tahun ini, setidaknya 50 ribu buruh datang ke Jakarta untuk berunjuk rasa dalam rangka
memperingati Mayday (liputan6.com, 27/04/2012). Ratusan buruh
menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka pada Selasa (01/05/2012)
siang. Mereka menuntut beberapa hal, antara lain penghapusan sistem kerja
kontrak dan peningkatan kesejahteraan buruh. Unjuk rasa di depan Istana tidak
berlangsung lama. Sekitar 13.00 WIB, massa bergerak menuju ke Stadion Utama
Gelora Bung Karno untuk melakukan deklarasi manifesto buruh Indonesia (liputan6.com, 01/05/2012).
Saking mengglobalnya May Day, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), kemarin (01/05/2012),
meluangkan waktu untuk memantau unjuk rasa buruh di
berbagai wilayah Indonesia dari kantor Presiden (tribunnews.com, 01/05/2012). Bahkan
beberapa hari yang lalu, Presiden SBY dijadwalkan makan nasi kotak
bersama para buruh di Batam usai menunaikan shalat Jumat (27/4) (republikaonline, 26/04/2012).
Selanjutnya, Staf Khusus
Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Sparringa, menjelaskan bahwa Presiden
SBY selalu menyimak aspirasi semua warga negara, termasuk para buruh. Menurutnya,
Presiden telah membangun sistem yang siap bekerja kapan saja untuk menyerap
suara masyarakat, sehingga tidak perlu menunggu demo untuk tahu itu (liputan6.com, 01/05/2012). Presiden
menyampaikan ucapan selamat hari buruh kepada semua pekerja yang memperingati
hari buruh internasional pada 1 Mei. Presiden mengharapkan agar seluruh acara
dalam rangka memperingati hari buruh dapat berjalan dengan tertib. Presiden
juga mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk berbagi simpati dengan kaum buruh
yang merayakan Hari Buruh (antaranews.com, 01/05/2012).
Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar pun mengatakan bahwa
pihaknya membuka posko guna menangkap aspirasi para pekerja menyambut hari
buruh 1 Mei. Ia mengharapkan agar dalam menyambut hari buruh, para pekerja
tidak meninggalkan pekerjaannya untuk berdemo. Untuk itu, ia berharap,
perusahaan-perusahaan mengadakan kegiatan yang positif menyangkut hari buruh.
Ia mencontohkan dengan memberikan penghargaan pengabdian kepada para pekerja
pada saat hari buruh nanti. Muhaimin menyatakan bahwa kaum buruh memang belum
sejahtera. Menurutnya, hal ini harus dihadapi bersama. Jika membutuhkan
peraturan, maka pihaknya siap memberikan. Yang penting buruh dan pemerintah
bersatu untuk perbaikan keadaan (antaranews.com,
30/04/2012).
Nasib Buruh
Terkait dengan nasib buruh, sebelumnya Presiden
SBY memang telah meminta Muhaimin untuk memfasilitasi upaya-upaya peningkatan
kesejahteraan buruh baik yang dilakukan oleh serikat pekerja maupun oleh perusahaan.
Hal ini dalam rangka upaya perbaikan pengelolaan kesejahteraan buruh (antaranews.com, 16/04/2012). Dan memang,
perayaan May Day tahun ini, terasa berbeda dengan
perayaan-perayaan sebelumnya (republikaonline,
30/04/2012). Terbukti, sehari menjelang May
Day, Presiden SBY memberikan empat kado khusus kepada para buruh dalam
negeri. Muhaimin di kantor Presiden RI Jakarta, Senin (30/04/2012) sore
mengatakan, pertama adalah penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp 1,3 juta
menjadi Rp 2 juta. Kedua, pengadaan rumah sakit buruh; yang dalam waktu dekat
akan dibangun di tiga titik di Bekasi, Tangerang dan mungkin Surabaya. Ketiga,
transportasi murah untuk buruh di kawasan industri; yang dalam waktu dekat
segera dibeli 200 bus sebagai permulaan, antara lain untuk di Batam, Tangerang,
Bekasi dan Jatim. Keempat adalah rumah murah bagi para buruh dengan bantuan
uang muka dari pemerintah (tribunnews.com, 30/04/2012). Untuk rumah buruh murah tersebut, nantinya Kemenakerstrans akan bekerja
sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat. Muhaimin mengatakan bahwa pembiayaan
dari program-program itu akan menggunakan anggaran pemerintah pusat (APBN),
anggaran pemerintah daerah (APBD) dan dana tanggung jawab sosial badan usaha
milik negara (BUMN) (republikaonline,
30/04/2012). Dengan demikian, yang terpenting adalah semua peraturan
menteri (Permen) terkait buruh harus disempurnakan secepat mungkin, dan sistem outsourcing diawasi sehingga buruh tidak
dirugikan (tribunnews.com,
30/04/2012).
Rencana
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meningkatkan kesejahteraan buruh dan
membangun rumah sakit untuk pekerja disambut secara positif. Bahkan, sebagai
bagian dari tripartit, pemerintah bisa menyelaraskan kebijakan-kebijakan
mengenai perburuhan. Karena selama ini, masalah yang sering terjadi antara
buruh dan dunia usaha adalah masalah kesejahteraan, tenaga kontrak dan jaminan
kesehatan (antaranews.com, 01/05/2012).
Kalangan Para Penganggur
Ironisnya, di balik sejumlah perhatian Presiden SBY tersebut, ada masalah
lain yang seharusnya juga diperhatikan. Kamar Dagang dan
Industri Indonesia (Kadin) menilai angka pengangguran di Indonesia sudah cukup
tinggi akibat kesenjangan antara pertumbuhan angkatan kerja dan lapangan
pekerjaan. Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto,
mengatakan, “Akibat
ketimpangan tersebut diperkirakan setiap tahunnya pengangguran meningkat
sebesar 1,3 juta orang. Saat ini, kendala utama pertumbuhan bagi pelaku usaha
adalah krisis ekonomi yang sedang melanda Amerika Serikat dan Eropa.” Menurut Suryo,
pengangguran di Indonesia mencapai 9 juta orang. Hal ini terjadi karena jumlah
pertumbuhan angkatan kerja tidak seimbang dengan pertumbuhan lapangan kerja
khususnya di sektor formal.
Suryo pun
memaparkan, “Pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun
mencapai 2,91 juta orang, sedangkan lapangan pekerjaan hanya 1,6 juta orang.
Sehingga ada gap
sebesar 1,3 juta orang yang kemungkinan menjadi
pengangguran terbuka di Indonesia.”
Lebih lanjut,
ia berpendapat bahwa bukan hanya soal kesenjangan,
penggangguran di Indonesia juga terjadi akibat tidak bertemunya kualitas
pencari kerja dengan kebutuhan yang diinginkan perusahaan. Berdasarkan tingkat
pendidikannya, dari 8,14 juta pengangguran terbuka, 20% berpendidikan SD, 22,60% tamatan SMP, 40,07% tamatan SLTA, 4% tamatan diploma,
sedangkan 5,7% tamatan sarjana. Suryo menegaskan,
para pengangguran yang mencapai 9 juta orang itu jika tidak mendapat kesempatan
kerja, jangan harap upaya untuk memakmurkan rakyat akan tercapai. Dan untuk penambahan
tenaga kerja dalam jumlah besar di Indonesia, membutuhkan pertumbuhan ekonomi
hingga 8% per
tahun (antaranews.com, 01/05/2012).
Balada “Buruh Pintar”
Sangat miris,
data pengangguran menunjukkan bahwa seolah tidak ada korelasi antara tingkat
pendidikan dengan jumlah orang di setiap segmennya. Apapun tingkat
pendidikannya, angka pengangguran tetap ada. Yang lebih menyedihkan lagi adalah
para sarjana. Gelarnya yang terlabel sebagai lulusan perguruan tinggi tidak
menjamin bahwa mereka pasti mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah.
Padahal, mereka adalah kaum intelektual, yang memiliki kapasitas berpikir yang
lebih tinggi dibandingkan yang lulusan
SD, SMP atau SLTA. Kapasitas berpikir inilah yang selayaknya diberi perhatian lebih
oleh negara agar dapat berdaya guna bagi masyarakat, yaitu dengan cara menumbuhkan lapangan kerja di dalam
negeri.
Jika negara cuek saja pada kaum intelektual ini, terlebih dengan proses
pendidikan mereka yang sebelumnya sudah pragmatis, maka tak perlu kaget saat
mereka lebih senang bekerja di luar negeri meski dengan titel sarkastik sebagai
“buruh pintar”.
Masalahnya, penyelenggaraan pendidikan di dalam
negeri terutama yang di-manage oleh pemerintah saat ini
dapat dikatakan miskin visi. Faktanya, visi yang dicanangkan hanya bersifat
normatif. Hal ini karena dunia pendidikan menggunakan standar luaran dan outcome
yang tidak relevan dengan potensi, kultur dan budaya bangsa. Disamping itu, target
capaian mencerdaskan kehidupan bangsa tidak jelas kualifikasinya. Kriteria
bangsa yang cerdas tidak pernah dielaborasi dengan jelas. Akibatnya, setiap
penyelenggara proses pendidikan memaknai bangsa yang cerdas menurut standar
yang tidak baku. Sebagai contoh visi di salah satu perguruan tinggi (PT)
disebutkan menghasilkan lulusan yang unggul, inovatif, mandiri dan mampu
bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional sesuai disiplin ilmu
yang ditekuninya. Instrumen untuk mengukur keberhasilan PT dalam mencetak para intelektual atau
para pakar di bidang ilmunya pun bersifat kuantitatif dan sangat pragmatis. Beberapa indikatornya antara lain jumlah
publikasi internasional, level Scopus,
jumlah penelitian dan kerjasama internasional, serta jumlah doktor dan profesor (Makalah Catatan
Intelektual Muslimah untuk Bangsa 2011: Dr. Isnaeni, Unair).
Sementara dalam skala mikro, indikator kinerja suatu proses pembelajaran dianggap memenuhi standar
mutu bila mampu menghasilkan lulusan dengan indeks prestasi tinggi (maksimal 4), waiting time for getting first job nol bulan bahkan bila perlu
diinden dengan gaji pertama tinggi. Ini semua merupakan produk sistem pendidikan yang pragmatis. Hal ini dinyatakan
oleh Syaukah (2011) sebagai
faktor pendorong esensial bagi rusaknya kualitas generasi. Oleh karena itu,
tidaklah heran apabila lahirnya para intelektual berpacu dengan rusaknya
kehidupan dan tumbuh kembangnya berbagai permasalahan di masyarakat yang tidak
kunjung terselesaikan (Makalah Catatan
Intelektual Muslimah untuk Bangsa 2011: Dr. Isnaeni, Unair).
Bukan
dongeng, program yang digelar oleh
pemerintah melalui comprehensive
partnership, misalnya, tidak dilakukan melalui studi kelayakan
yang memadai. Bahkan tanpa memperhatikan proyeksi ke depan terkait output dan outcome secara
nasional. Program internasionalisasi tidak diproyeksikan untuk menyelesaikan
problematika bangsa.
Intelektual dicetak tanpa proses yang
benar dan berbasis pada tujuan yang hakiki. Selama berproses dalam pembelajaran, baik formal maupun nonformal, mereka tidak disentuhkan dengan tujuan pendidikan
yang tersirat dalam visi pendidikan. Jika demikian, sangatlah tidak mungkin jika kita harapkan mereka mampu menyelesaikan problematika bangsa (Makalah Catatan
Intelektual Muslimah untuk Bangsa 2011: Dr. Isnaeni, Unair).
Jadi, sangat
mungkin tidak hanya pekerja sektor informal yang lebih
senang mencari kerja ke luar negeri. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Pusat Penelitian
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Jeni Ruslan. Menurut Jeni, para peneliti Indonesia
lebih banyak beralih ke luar negeri daripada menjadi peneliti di negaranya sendiri. Dari puluhan ahli
peneliti di Indonesia yang sebelumnya menjadi peneliti di Indonesia, kini
setengahnya bekerja di beberapa pusat penelitian di luar negeri. Mereka mencari yang
terbaik karena ditawari gaji yang mahal. Gaji para peneliti di Indonesia kecil dan minim,
bila jabatannya segitu gajinya tetap segitu. Akibatnya banyak ahli peneliti
Indonesia berlomba-lomba menjadi peneliti di luar negeri, dan akhirnya kita
kehilangan ahli-ahli terbaik Indonesia (kampungtki.com, 01/05/2012).
Harus diakui, akibat dari pendidikan pragmatis itulah yang menjadikan mereka
hanya berpikir perut sendiri, tidak peduli dengan problematika bangsa.
Jeni menilai produk ciptaan para
peneliti Indonesia kurang dihargai oleh pemerintah daripada oleh luar negeri. Padahal mereka telah
bekerja dengan maksimal dan dengan baik untuk menciptakan produk alat tersebut. Memang setidaknya, harus ada upaya pemerintah memberikan ruang gerak bagi peneliti untuk lebih
mempromosikan hasil penelitian. Para peneliti pastinya sangat bangga jika hasil
penelitiannya digunakan masyarakat luas, tapi nyatanya produk para peneliti
banyak disampingkan. Jeni juga menilai dana penelitian dari pemerintah kurang dan fasilitas
laboratorium yang kurang mendukung penelitian. “Seharusnya produk para peneliti
kita harus dihargai, contohnya produk dari Digantara (PT DI) yang berhasil
menciptakan pesawat terbang,” kata Jeni. Ia mengatakan, dengan kendala-kendala
tersebut, peringkat Indonesia dari hasil penelitian masih jauh di bawah dari negara
tetangga seperti Malaysia, Singapura dan India (kampungtki.com, 01/05/2012).
Khatimah; Berawal dari Character
Building
Proses untuk membangun bangsa yang
peduli terhadap permasalahan umat sangat erat kaitannya
dengan upaya mencetak generasi muda sebagai agent
of change. Yaitu mereka yang sadar akan tanggung jawabnya untuk mengusung konsep perubahan dari
masyarakat jahiliyah yang professional
menuju masyarakat rahmatan lil’alamin.
Bukan alasan lagi, hal ini adalah tuntutan dasar dalam mewujudkan bangsa yang besar, bukan bangsa
yang pragmatis. Sebagai bekal untuk berkompetisi dengan bangsa lain, generasi suatu negara
harus “menguasai” ilmu pengetahuan dan teknologi serta ilmu lain terkait socio-culture secara proporsional dengan
tuntutan global. Inilah yang dijadikan satu-satunya standar mutu pendidikan yang mencerminkan
kegagalan pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena pemerintah tidak memperhitungkan modal
aqidah fikriyah, proses berfikir berbasis pada kesadaran akan integritas Sang
Khaliq, serta sebagai manusia yang harus taat
pada semua ketentuan-Nya.
Ada satu aspek penting yang hilang dan
menjadi “Pekerjaan
Rumah” kita
semua bahwa prosesi pembentukan karakter (character
building) selama ini tidak dijadikan unsur yang seharusnya berimbang dengan
pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan. Pemahaman akan keseimbangan
antara syakhsiyah (kepribadian), tsaqofah dan ilmu
kehidupan tidak dikembangkan
secara proporsional, baik melalui pendidikan formal maupun informal
mulai dari pra sekolah sampai dengan PT. Metode penanaman dan pengkristalan pemahaman serta kesadaran anak didik terhadap pentingnya aqidah
yang mendasari seluruh aktivitasnya dalam berproses meningkatkan ilmu pengetahuan
dan ilmu kehidupan, saat ini makin langka. Pergeseran paradigma dalam sebuah visi “pencetakan”
generasi yang cerdas dan tangguh serta unggul, telah terjadi secara nasional bahkan
internasional. Hal ini karena semua ingin pragmatis dan instan, tanpa melalui proses yang benar dan syar’i.
Lantas, siapakah yang berkompeten menyiapkan dan membangun generasi yang cerdas dan
berpendidikan? Jawabannya adalah tripartite
agent dengan output yang memegang
teguh aqidah dan syariat, yaitu keluarga, masyarakat dan lingkungan, serta pemerintah atau negara. Output pendidikan melalu jalur
keluarga akan optimal apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa
pra-nikah, setelah masa pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan,
serta berlanjut hingga ke jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi tanggung jawab penuh
orang tua. Kontribusi masyarakat dalam menyiapkan generasi cerdas diwujudkan
dalam bentuk partisipasi menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif. Negara melalui
kebijakan pemerintah harus mampu memfasilitasi proses pendidikan dan
pembelajaran untuk menghasilkan produk yang pada jenjang tertinggi dikemas
sebagai output dan outcome Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dan jelas, misi ketiga agent tersebut hanya dapat terwujud jika diimplementasikan
dalam sistem yang menegakkan syariat Islam. Jaminan terhadap solusi
problematika bangsa insya Allah dapat terlaksana
dengan senjata tegaknya syariat Islam dalam bingkai Khilafah, aamiin.
Wallaahu a’lam bish showab [].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar