[Sri Mulyati, S.Hut.]
Sepanjang
sejarah transformasi sosial masyarakat di belahan dunia manapun, maka kita akan
menjumpai bahwa pelaku utama perubahan tersebut adalah mahasiswa. Pada tahun
1997 – 1998 masyarakat Indonesia menganggap mahasiswa telah berhasil mengukir
sejarah karena mampu meruntuhkan orde baru yang sudah bercokol 30 tahun.
Kondisi ini bisa dipahami karena mahasiswa adalah icon intelektual yang
seyogyanya sebagai “agent of change”
di tengah masyarakat mestilah memiliki karakter spesifik seperti energik,
berdaya juang tinggi, terbuka, mudah menerima perubahan dan kritis terhadap
seluruh bentuk kebijaksanaan pemerintah yang bertentangan dengan idealismenya.
Namun
seiring berlalunya waktu, berlalu pula harumnya nama mahasiswa sebagai intelektual
yang kritis dan idealis. Kepedulian terhadap lingkungan sudah sirna, bahkan
terhadap keilmuannya pun cenderung tidak dipahami, yang ada sekedar untuk bisa
menjawab ujian, dapat IPK tinggi dan akhirnya mudah dapat kerja. Pergerakan
mahasiswa saat ini pun sangat pragmatis. Kegiatan mahasiswa lebih banyak
bergerak pada tuntutan kerja. Sehingga banyak kita temui acara-acara mereka
lebih banyak pada seminar atau training tentang entrepreneurship yang memang
menjadi daya tarik kebanyakan mahasiswa atas tuntutan zaman. Atau kegiatan musik dan olah raga yang marak
dan digandrungi mahasiswa sebagai pelampiasan ke-stres-annya akibat beban
kuliah, dan sebagainya. Jarang sekali bahkan mungkin tidak ada kegiatan yang
berupa pengoreksian terhadap kesalahan atau kedzaliman pengauasa negeri ini.
Makin hari mahasiswa makin a-politis. Ketertarikan mahasiswa untuk berorganisasi
tidak lagi karena idealismenya untuk melakukan perubahan yang besar melainkan
karena kepentingan individualis semata, sehingga banyak ditemukan mahasiswa
yang bergabung dalam sebuah lembaga kampus semata-mata hanya karena untuk
menambah daftar pengalaman organisasi dilamaran kerja.
Kepribadian
yang individualis dan gaya hidup yang hedonis pun telah mendominasi gambaran
umum intelektual kita saat ini. Seperti yang tengah marak di bulan trend warna
pink ini, ada semangat baru yang sengaja ‘disembulkan’ generasi muda terkait
dengan romantisme cinta di kalangan muda-mudi. Semangat itu yang katanya berpangkal
dari sebuah sumber kekuatan cinta yang dianggap sangat hebat, penuh inspirasi
dan sangat tulus. Sumber kekuatan cinta itu adalah kisah-kisah yang akhirnya
melahirkan hari yang dipandang amat bersejarah, Valentine’s Day. Hari yang
banyak dipercaya orang sebagai hari untuk mengungkapkan rasa kasih sayang.
Seiring
dengan masuknya beragam gaya hidup barat ini, perayaan hari Valentine pun ikut
mendapatkan sambutan hangat. Romantisme di bulan Februari makin menjadi-jadi. Film-film
bertemakan cinta, gencar diputar di layar kaca. Tempat belanja pun dipenuhi
aksesoris semarak warna pink. Penghuni etalase juga lebih banyak didominasi
oleh cokelat bentuk hati, boneka berbando pink, bantal bertuliskan ‘I Love U’.
Aktivitas bertukar bingkisan valentine, memberi cokelat, mengirim bunga,
jalan-jalan, ungkapan cinta dengan berbagai ekspresinya, menyemarakkan suasana
valentine setiap tahunnya. Dan itu belum seberapa, dibandingkan dengan berbagai
trend lain yang kemudian bermunculan sebagai aplikasi merayakannya. Mulai dari
hura-hura semalaman, hingga make love
bahkan sampai gaul ala KNPI alias Kissing
necking Petting dan Intercourse.
Sebuah
jejak pendapat dari Assumption University telah membuat heboh berbagai kalangan
di Thailand. Hasil jejak pendapat terhadap 1.578 gadis usia belasan menyatakan
bahwa sepertiga dari mereka berencana melakukan hubungan seks di hari Valentine
bila pacar mereka memintanya. Survey lain yang dilakukan oleh Universitas Thai
terhadap 1.222 pemudi menemukan bahwa 11 persen dari mereka berencana
menyerahkan keperawananya pada malam valentine. Di Inggris, 14 Februari malah
dicanangkan sebagai The National
Impotence Day ( hari impoten nasional) dengan tujuan meningkatkan
kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman impotensi 2 juta pria Inggris. Sedang
di AS lebih parah lagi, 14 Februari sebagai The
National Condom Week (pekan kondom nasional). Bahkan di dalam negeri ini
pun tidak kalah hebohnya, baru-baru ini disebuah supermarket di Bandung dijual sebungkus
cokelat yang diikatkan dengan sebuah kondom merk tertentu. Tak heran jika tiap
perayaan valentine day diikuti peningkatan kasus HIV/ AIDS. Padahal tingkat
kegagalan kondom mencapai 33,3 persen.
Walhasil
intelektual telah kehilangan jati dirinya, berpikir, bertindak dan bertingkah
laku sesuai dengan trend yang berkembang. Di kampus, di mal, di pasar, sampai
di jalanan, banyak yang bak layar kaca. Korban iklan, latah ikutan tren yang
dilihat di televisi. Hidupnya seperti tidak ada beban. Jika faktanya seperti
itu, masih adakah intelektual antilebay
dan anticemen yang siap mendongkrak perilaku hedonis dan mengembalikan
idealismenya sebagai “agent of change”
di tengah masyarakat???
Idealisme
ibarat “nyawa” dalam kehidupan. Bisa dibayangkan, bahwa dengan adanya idealisme
maka hidupnya akan termotivasi untuk mewujudkan sebuah tujuan, memiliki target
yang jelas. Dan pasti punya strategi dalam mewujudkannya. Hal itu berarti
adalah sebuah perjuangan. Rintangan seberat apapun akan dianggap sebuah
tantangan yang harus ditaklukkan. Dengan begitu, intelektual akan bertambah
kreatif untuk memecahkan berbagai persoalan. Imam asy-Syafii mengatakan bahwa:
“Sesungguhnya kehidupan pemuda itu, demi
Allah hanya dengan ilmu dan takwa (berilmu dan bertakwa), karena apabila yang
dua hal itu tidak ada, tidak dianggap hadir (dalam kehidupan).” Sabda
Rasulullah saw: “Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu
agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar.” (HR. Bulhari)
Sebagaimana
diketahui sejarah asal usul valentine day erat hubungannya dengan budaya
penyembahan terhadap berhala. Perayaannya juga telah sukses menghanyutkan
jutaan orang untuk memuja cinta. Waktu hidupnya habis untuk mengejar hawa
nafsu. Inilah salah satu potret keberhasilan serangan budaya barat untuk
melemahkan mental generasi muda Islam. Dalam konferensi misionaris di kota Quds
(1935), Samuel Zweimer, seorang Yahudi yang menjabat direktur organisasi misi
Kristen menyatakan: “Misi utama kita
bukan menghancurkan kaum Muslim sebagai seorang Kristen. Tujuan kalian adalah
mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai dengan
kehendak kaum penjajah, generasi malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsu.”
Sebagai
intelektual muda, untuk membangkitkan dirinya tentu saja dimulai dari mengubah
pola pikir lama menuju pola pikir baru yang berlanjut pada pola sikap (tingkah
laku). Seperti perkataan George Bernard Shaw, “Kemajuan mustahil terjadi tanpa perubahan. Dan mereka yang tak bisa
mengubah pemikirannya tak bisa mengubah apapun.”
Berpartisipasi
dalam perayaan valentine day atau hanya sekedar ikut-ikutan saja sama dengan
menggadaikan identitasnya sebagai intelektual terlebih sebagai muslim. Rasul
saw bersabda: “Barangsiapa menyerupai
suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” Bahkan seorang ulama sekelas Ibnul Qayyim
mengingatkan, “Memberi selamat atas acara
ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan
tersebut haram. Bagi yang mengucapkannya, berarti ia telah member selamat atas
perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar
dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada member selamat atas
perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama
terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut.
Seperti orang yang member selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat,
bid’ah, atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan
dan kemurkaan Allah.”
Dengan
demikian sebagai intelektual muslim, say
no to Valentine’s Day. Dan idealisme tidak muncul secara otomatis. Namun
butuh proses dan upaya untuk membentuknya. Itulah sebabnya, diperlukan
kekritisan dalam bersikap, mampu menangkap realitas kehidupan yang ada,
menyikapinya, dan memberikan solusi. Ghirah
(semangat) Islam pun perlu ditumbuhkan. Selain itu, perlu memahami
pemikiran-pemikiran Islam melalui berbagai kajian, dan mampu menerjemahkannya
untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan. So, ayo bangkitlah
intelektual!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar