[Emilda, S.Pi., M.Si.]
Demokrasi, sebuah sistem pemerintahan yang lahir dari
Eropa/Yunani kuno hingga hari ini diklaim sebagai satu-satunya sistem
pemerintahan yang paling ideal di dunia. Idealnya demokrasi karena dianggap sebagai
pemerintahan dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau
melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Dalam sejarah keberjalanan kehidupan
bernegara kuno hingga modern banyak orang hari ini memandang demokrasi adalah
konsep bernegara yang paling baik jika dibandingkan monarki ataupun
diktatorisme. Keidealannya hingga demokrasi
dianggap tak perlu diperdebatkan lagi keabsahannya apalagi akan menggantinya
dengan sistem lain. Bahkan Fukuyama (1992)
menyebut demokrasi liberal adalah ”akhir sejarah” . Yang harapannya kalimat ini
bukan hanya simbol kemenangannya dari ideologi dan sistem lain melainkan
kemenangan demi sebuah prinsip untuk hidup yang lebih beradab.
Namun, sebagus apapun demokrasi digaungkan dan hampir
saja ‘disakralkan’, kritik terus menerus
terhadap demokrasi tak bisa ditutupi. Bahkan kritik tersebut seperti tak ada
habisnya karena senantiasa pula demokrasi tak bisa sejalan dengan apa yang
digembar gemborkannya itu. Baru-baru ini Kompas.com tanggal 9 Januari menurunkan tulisan berjudul Demokrasi Dibajak Uang. Tulisan ini ungkapan keprihatinan penulisnya
terhadap praktik para penguasa di negeri ini yang katanya negara demokratis.
Penulis menyebutkan bahwa praktik berdemokrasi di Indonesia sedang
dibajak kekuatan uang dan kekuasaan. Uang dan kekuasaan yang seharusnya
dikelola untuk kesejahteraan rakyat justru dipakai untuk merusak nilai moral, ‘etika
berdemokrasi’, dan menginjak-injak hak warga. Namun, uang yang digunakan untuk
merusak moral bangsa itu bersumber dari uang rakyat. Kekuasaan dan jabatan tak
dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, tetapi semua hanya berorietansi pada
uang. Kondisi ini menjadi bukti paradoksnya demokrasi dengan akuntabilitas
pemerintahan yang selalu digembar gemborkan akan berhasil diwujudkan.
Belum lagi dengan kasus ketidakadilan hukum antara orang
lemah dan pejabat. Bagi orang lemah,
hukum begitu perkasanya diterapkan. Pencurian sandal di Palu oleh AAL yang akhirnya
dijatuhi vonis 5 tahun penjara atau hukuman penjara bagi seorang nenek yang mengambil
3 buah kakao selama 1 bulan 15 hari adalah sedikit contoh. Sementara bagi para
koruptor kelas kakap, hukum seakan-akan tak berdaya untuk sekedar menghadirkan
ke meja peradilan apalagi menjatuhkan hukuman setimpal. Inikah keadilan hukum yang direalisasikan
demokrasi? Bukankah fakta ini paradoks demokrasi yang kesekian dan telah gagal
mewujudkan keadilan hakiki yang dielu-elukan masyarakat?
Bagaimana dengan janji demokrasi mewujudkan
kesejahteraan? Inipun tidak tampak buktinya. Data terakhir dari BPS menyebutkan kemiskinan di
Indonesia mencapai 29,89 juta jiwa dan penduduk hampir miskin sebanyak 27,83
juta jiwa. Sedangkan dengan standar Bank Dunia hampir 50% penduduk Indonesia
terkategori miskin. Sementara 40 orang diantara
penduduk Indonesia memiliki kekayaan dengan
akumulasi US$ 85,1 miliar. Menurut Amich Alhumami, bahwa kaitan
demokrasi dan kesejahteraan sudah sejak lama menjadi perdebatan di kalangan
ilmu politik dan ekonomi. Apakah demokrasi dapat mengantar ke kesejahteraan?
Apakah demokrasi merupakan jalan tunggal menuju kemakmuran?
Begitu pula pada aspek non
materi, seperti intelektualitas,
kepemimpinan, moralitas, kepekaan sosial, apalagi ketinggian
spiritualitas. Demokrasi tak berperan
apa-apa untuk mewujudkan seluruh hal ini. Yang terjadi justru sebaliknya.
Penerapan demokrasi berkontribusi besar terhadap semakin menipis (lambat laun
hilang) keseluruhan nilai tersebut. Saat
ini (seiring demokratisasi) kita dihadapkan pada masyarakat yang miskin moral
dan kepekaan sosial, cara berpikir instan/pragmatis, para pemimpin yang miskin
kepemimpinan.
Ada sebagian pakar dan pengamat politik yang
‘beralasan’ bahwa implementasi demokrasi
di Indonesia memang belum ideal, baru sebatas prosedural. Yang baru tersedia adalah berbagai institusi demokrasi seperti partai, parlemen,
eksekutif yang berfungsi sesuai dengan aturan hukum yang ada, tapi praktiknya
memang belum merepresentasikan idealnya sebuah negara demokrasi. Padahal pada saat yang sama Indonesia sudah
disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan
Amerika Serikat. Jika negara dengan penerapan demokrasi yang masih jauh dari
ideal ini saja sudah diberi peringkat ketiga, yang menjadi pertanyaan bagaimana
idealnya demokrasi tersebut?
Jika Amerika Serikat yang
dijadikan patokan, ternyata utang negara ini bahkan sudah mencapai 66% dari
pendapat domestik brutonya. Ditambah lagi dengan ketimpangan ekonomi yang
sangat tajam seperti pernyataan Joseph Stiglitz dalam sebuah artikelnya dengan
“ dari 1%, oleh 1%, untuk 1%”. Kekayaan dan kekuasaan hanyalah milik dan untuk
1% orang saja. Padahal tahun 2010
dilaporkan penduduk Amerika yang miskin mencapai 15%. Apalagi tentang moral dan spiritual, Amerika Serikat
sering dijadikan contoh yang buruk yang tak layak ditiru.
Pada tataran global, seperti yang ditulis Pakar Politik Boni
Hargens di Kompas 12 Januari 2012, kritik pelaksanaan demokrasi juga hadir. Tulisan yang disampaikan berkenaan pidato
Sekjen PBB Ban Ki-moon yang menyatakan tahun 2012 ini dikukuhkan sebagai tahun
kerja sama.Dinyatakannya ”Kerja sama adalah sebuah peringatan kepada masyarakat
internasional bahwa adalah mungkin mengembangkan sekaligus kelangsungan ekonomi
dan tanggung jawab sosial. Fakta global
menunjukkan dari tujuh miliar penduduk dunia tahun 2011, 925 juta mengalami
kelaparan (13,1 persen). Ada 7,6 juta bayi mati (mayoritas akibat nutrisi
buruk); 129 juta anak di negara berkembang underweight alias berat badan
di bawah normal; dan satu dari setiap 15 bayi meninggal di bawah lima tahun.
Jumlah pengangguran dunia 8,7 persen atau sekitar 690 juta orang dan ada 18
persen buta aksara atau 1,3 miliar orang.
Dari seluruh masalah tersebut, porsi terbanyak ada di negara berkembang.
Padahal, negara berkembang adalah pangsa pasar terluas dan lahan pengerukan
sumber alam terbesar. Paradoks keadaan ini menyisakan tanda tanya apa sajakah
hasil dari agenda demokratisasi global?
Jika kondisi ‘paradoks' demokrasi yang sedemikian banyak
dan belum ada bukti keberhasilannya baik di negara maju apalagi di negara berkembang,
pertanyaannya adalah apakah fakta-fakta ini memang sebuah kondisi paradoks? Apakah
ketidakmampuan demokrasi merealisasikan janji-janjinya hanyalah karena
kekeliruan penerapannya atau memang sistem demokrasi ini adalah sistem yang
absurd alias mustahil mewujudkan kehidupan yang baik bagi masyarakat? Para penganut demokrasipun mengakui kelemahan
demokrasi. Benjamin Constan berkata : ”Demokrasi membawa kita menuju jalan
yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.” Atau Barchmi berkata : “Prinsip
kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan
rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan…”
Oleh karena itu bagi umat Islam yang memiliki tata
kehidupan sendiri yang sudah sempurna yang diturunkan Allah SWT sangat tidak
layak menerapkan demokrasi. Bukan hanya karena demokrasi ini paradoks tapi
sudah jelas absurditasnya. Dan yang lebih penting prinsip dasarnya bertentangan
secara diametral dengan aqidah Islam.
Allah SWT telah menyatakan secara tegas dalam firmanNya QS Al Maaidah
ayat 50: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. Sementara
dalam demokrasi, hukum yang diterapkan dibuat oleh manusia (rakyat atau
wakilnya). Perilaku seperti ini telah dikecam Allah dalam QS At Taubah ayat 31:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.”
demokrasi ciptaan manusia pasti usang ditelan masa, karena Sang Penguasa masa telah menjanjikan tegaknya Khilafah Rosyidah tsaniyyah 'ala minhajin nubuwwah...aamiin...
BalasHapusHari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus