[Emilda, S.Si., M.Si.]
Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini
melansir data kemiskinan yang menyebutkan bahwa jumlah orang miskin Indonesia cuma
berkurang 130 ribu atau 0,13%, yaitu dari 30,02 juta orang miskin pada Maret
2011 menjadi 29,89 juta orang miskin pada September 2011, padahal targetnya 1% per tahun. Sementara jumlah penduduk hampir miskin justru
bertambah yakni sebesar 685,9 ribu orang. Tingkat kemiskinan ini berdasarkan
standar pengeluaran Rp 243.729 perkapita per bulan. Jika menggunakan ukuran
yang berbeda, misalnya memakai tolok ukur kemiskinan versi Bank Dunia, jumlah
orang miskin di Indonesia jauh lebih besar, yakni sekitar 40%. Bahkan lebih
menyedihkan lagi seorang pejabat BPS menyatakan bahwa kondisi kemiskinan di
Indonesia sudah pada level kronis dan sulit dihilangkan. Hal ini disebabkan
rendahnya kapasitas masyarakat dan program pengentasan kemiskinan yang tidak
menyentuh masyarakat secara merata. Benarkah demikian?
Ironisnya
disisi lain, sebanyak 40 orang di Indonesia menguasai aset Rp 710 triliun atau
12,95% dari produk domestik bruto (PDB) atau hampir 50% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012. Kondisi ini begitu tragisnya, karena
telah terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir orang, sedangkan mayoritas
masyarakat yang lain, harus berjuang mati-matian hanya untuk sekedar memenuhi
kebutuhan dasar mereka. Hal ini persis seperti kondisi yang terjadi di AS
dimana Joseph Stiglitz menyebut dalam artikelnya dengan “ dari 1%, oleh 1%,
untuk 1%”. Artinya bahwa AS dikendalikan oleh sekelompok kecil orang, yakni 1%
dari orang-orang superkaya, lalu mereka menggunakan pengaruh politiknya untuk
memastikan bahwa ekonomi AS diatur sedemikian rupa sehingga mereka penerima
manfaat yang utama.
Benarkah kemiskinan masyarakat disebabkan rendahnya kapasitas mereka? Atau justru ketidakmampuan mereka meningkatkan kapasitas tersebut adalah juga akibat dari sistem yang diterapkan?
Bagi
orang-orang yang memahami sistem ekonomi sangat bisa mengerti kenapa kondisi kemiskinan
absolut ini terjadi. Sementara ada segelintir orang yang sangat kaya. Kesenjangan
ekonomi yang sangat tajam ditengah masyarakat kita dan di negara manapun yang
menerapkan sistem ekonomi kapitalisme adalah hal yang alami. Dikatakan alami,
karena ia ada menempel pada sistem tersebut. Fakta dimanapun menunjukkan hasil
penerapan sistem ini akan membuat orang kaya semakin kaya dan orang miskin akan
semakin miskin.
Kenapa begitu? Salah satu penyebabnya berasal dari prinsip dasar yang diyakini oleh sistem ini. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, harga atau pasarlah pengendali distribusi. Artinya faktor utama yang menjadikan barang dan jasa sampai kepada konsumen adalah harga. Jika seseorang (konsumen) tidak punya harga (baca uang), maka sampai kapanpun ia tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Atau seandainya ia punya uang, maka ia hanya bisa membeli barang dan jasa seharga kemampuan uang yang ia miliki. Kalau punya keinginan yang lebih dari kemampuannya, maka itu ibarat bermimpi baginya. Bagi masyarakat (apalagi keluarga) yang berpendapatan dibawah Rp 200.000 per bulan jangan pernah bermimpi mendapat makanan enak, layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas. Mereka hanya layak, untuk makanan dan layanan seadanya. Karena makanan yang enak, rumah yang layak, layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas semuanya membutuhkan sejumlah harga untuk memperolehnya.
Dengan asumsi ini bisa kita pahami, kenapa kemiskinan (khususnya kemiskinan absolut) tidak akan pernah sirna dari kehidupan, selama ekonomi dibangun diatas landasan ekonomi kapitalisme. Bagi masyarakat yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu/miskin, cacat, sakit menahun dan kondisi kemiskinan lainnya, besar kemungkinan akan miskin seumur hidup. Karena mereka tidak punya kapasitas (daya beli) yang memadai untuk meningkatkan harkat hidupnya, karena semua dikendalikan oleh harga/uang. Sementara untuk meningkatkan harkat hidup yaitu dengan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas juga memerlukan uang (harus didapatkan dengan sejumlah harga). Inilah benang kusut kemiskinan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme.
Di sisi lain, kebijakan ekonomi yang liberal dan melegalisasi privatisasi semakin membuat jurang yang semakin tajam antara yang kaya dan miskin. Bahkan tak sedikit akibat penerapan liberalisasi dan privatisasi ini mencetak orang miskin baru. Dengan liberalisasi peran pemerintah semakin dikurangi. Sehingga pelaku ekonomi dibiarkan bersaing “sempurna” di pasar yang akibatnya sudah dapat dipastikan yaitu, pelaku ekonomi skala kecil dan menengah ‘pelan-pelan namun pasti’ akan tersungkur dan mati. Akhirnya pelaku ekonomi yang bermodal besar sajalah yang akan menguasai pasar.
Begitu
pula privatisasi sumber daya alam yang berlimpah, semakin membuat orang-orang
bermodal besar itu tambah kaya. Penyerahan SDA yang harusnya milik umum pada
swasta/individu semakin memperkaya segelintir orang yang sudah kaya. Sehingga
ditengah-tengah kemiskinan yang semakin kronis ini, lahirlah orang kaya dengan
harta kekayaan yang semakin berlipat.
Dengan
pengelolaan ekonomi berlandaskan kapitalisme, sampai kapanpun kemiskinan tidak
akan berhasil dihilangkan. Oleh karena itulah perlu adanya sistem pengelolaan ekonomi yang lain. Sistem ekonomi
yang manusiawi dan mampu mewujudkan kesejahteraan sekaligus keadilan ekonomi
bagi seluruh masyarakat. Sistem apakah itu
(bersambung...)
(bersambung...)
Bermanfaat sekali .. Bagi saya pribadi, artikel ini mengajarkan arti kata "bersyukur" juga, ingin rasanya menjadi orang kaya agar dapat berbagi dengan sesama.. :D
BalasHapustidak perlu kaya harta untuk bisa berbagi sih ..
BalasHapuspikiran kita juga kaya :)