[Sri Mulyati, S.Hut.]
Intelektual muda
merupakan aset Negara, penentu arah masa depan kehidupan yang lebih baik. Intelektual
muda pengganti generasi tua nan usang, pemimpin Negara masa akan datang. Intelektual
muda diidealkan sebagai sosok penuh energi, semangat, dan kreatif untuk
menciptakan pembaruan. Keberadaan mereka menjadi pembaru dan kritis terhadap
kemapanan yang menyimpang dari kebenaran. Kita bisa melihat peran penting
intelektual muda dalam perubahan zaman. Dan penulis pun termasuk bagian dari
pemuda itu...
Terdapat tiga tonggak
penting peran intelektual muda dalam sejarah Indonesia. Peran yang diemban
tersebut sebagai pembangkit dan pemersatu pada tahun 1908 dan 1928. sebagai
pejuang pada tahun 1945 – 1948. Sebagai kontrol dan pembaharu efektif tahun
1966, 1974, dan 1998. Lalu dimanakah peran intelektual muda sekarang? Berbicara
tentang peran intelektual muda tak bisa dilepaskan dari masalah-masalah
kekinian yang menimpa negeri kita, dilihat dari sektor kehutanan. (Karena penulis juga kebetulan lulusan
kehutanan..)
Semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam hayati yang berlimpah ruah sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY. Keanekaragaman hayatinya terbanyak di seluruh dunia. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. Yang merasa tinggal di Indonesia, termasuk penulis sebenarnya bangga hidup di negeri ini…. :-)
Semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam hayati yang berlimpah ruah sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY. Keanekaragaman hayatinya terbanyak di seluruh dunia. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. Yang merasa tinggal di Indonesia, termasuk penulis sebenarnya bangga hidup di negeri ini…. :-)
Tapi, semua orang juga tahu, kini Indonesia
terpuruk menjadi negara miskin. GNP perkapita hanya sedikit lebih banyak dari
Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika. Sudahlah rakyatnya miskin, utang
negara luar biasa besar. Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang
yang sedemikian besarnya itu? Tidak lain tentu saja adalah rakyat Indonesia
sendiri. Hal ini nampak pada pos penerimaan dalam APBN tahun 2002 yang dari
sektor pajak mencapai sekitar 70%. Itu artinya, rakyat jualah yang harus
menanggung beban keterpurukan ekonomi Indonesia. Jika kondisi seperti ini tidak
segera dibenahi, maka dikhawatirkan akan timbul bencana ekonomi yang lebih
berat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Menelaah Persoalan Indonesia terhadap Kerusakan Hutan
Era "reformasi" setelah
Soeharto jatuh pada tahun 1998 telah mendorong bangkitnya keinginan untuk
melakukan penyidikan secara kritis mengenai urusan pengelolaan negara. Berbagai
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kelompok-kelompok masyarakat sipil berada
di garis depan untuk menekan keterbukaan informasi resmi dan mempublikasikan
hasilnya (FWI, 2005). Keterbukaan ini justru memicu asing yang mengetahui
potensi sumberdaya hutan Indonesia untuk mengeksploitasinya. Kemudian rakyat
yang merasa berhak – dengan diprovokasi oleh LSM komprador – akan meminta hak
mereka atas hutan, sehingga illegal
logging dan pembukaan hutan oleh masyarakat (atas nama reformasi)
berlangsung di mana-mana dan mempercepat laju kerusakan hutan.
Terlebih lagi sejak krisis
ekonomi tahun 1997, kondisi Indonesia semakin tidak menentu. Untuk mengatasi
hutang dalam dan luar negeri yang jatuh tempo serta menstabilkan perekonomian,
Indonesia menandatangani Letter of Intens
dengan Interrnasional Monetary Fund (IMF).
Menurut Rizal Ramli, waktu itu sebenarnya Indonesia bisa mengatasi instabilitas
ekonomi jika pemerintah mengambil langkah bijak. Sayangnya tim ekonomi
Indonesia yang saat itu dipimpin Wijoyo Nitisastro malah membiarkan kondisi
berlarut-larut bahkan menjerumuskan pada kebijakan kontraproduktif. Tim ekonomi
yang mayoritas intelektual muda Mafia
Berkeley mendorong pemerintah untuk meminta bantuan IMF beserta berbagai
‘resep’ pemulihan ekonomi, yang salah satu syarat hutang kepada pemerintah
Indonesia berupa pembaharuan kebijakan ekonomi kehutanan. Kebijakan itu
menekankan pada pengurangan besar-besaran peran pemerintah, deregulasi,
liberalisasi, tax reform (perombakan
pajak), dan privatisasi secara cepat.
Pembakaran hutan dan pencurian kayu merupakan
bentuk ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatasi korupsi di bidang kehutanan.
Kebakaran hutan telah terjadi selama tujuh tahun dan pencurian kayu terus
berlangsung, tetapi tidak ada solusinya. Sudah jelas kayu itu dikirim melewati
berbagai aparat kehutanan, tetapi tidak
ditangkap. Pemerintah juga tidak berdaya memberantas korupsi, kolusi,
dan nepotisme pada sektor kehutanan.
Eksploitasi besar-besaran pada
kekayaan hutan akan berdampak pada gagalnya pembangunan berkelanjutan bagi
negara Indonesia. Hancurnya Yugoslavia akibat dari gagalnya pembangunan
berkelanjutan di bidang sosial. Kongo, Angola, Sudan, dan Ethiopia sekarang ini
juga terancam hancur akibat kegagalan pembangunan berkelanjutan di bidang
ekonomi. Untuk mengamankan aset negara yang cukup besar itu, siapa pun yang
memanfaatkan kekayaan hutan harus mendapatkan sertifikat dari Lembaga Ekolabel
Indonesia (LEI) bagi setiap produknya. Saat ini Uni Eropa dan Inggris telah
menolak masuknya kayu dari Indonesia tanpa dilengkapi sertifikasi. Hal ini
disengaja untuk membuat harga kayu-kayu dari Indonesia jatuh.
Kawasan
hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya
diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi
proyek PT Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio
Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh
PT Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap
kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan
tambang, seperti ; Taman Nasional Lore Lindu - Sulawesi tengah oleh PT. Mandar
Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan
Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam
Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung
Meratus - Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome;
Taman Nasional Wanggameti oleh PT.BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT.Gorontalo
Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu olah PT.Antam,Tbk.
Terjadi
perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara
besar-besaran, dipacu dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor menanamkan modalnya
di Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan
para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat hutan untuk
membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan,
PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan peraturan lainnya yang
secara nyata tidak berpihak kepada masyarakat.
Struktur
penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh
pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan
hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar
luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang
hidupnya mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum
negara berdiri, nasibnya justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi
penguasaan sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial yang riil terjadi
dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru
terjadi pada sub sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH
atau sekarang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu / IUPHHK) dengan rakyat.
Selama
beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan
mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat yang berkelanjutan.
Sikap ini tidak lepas dari dukungan pemerintah negara-negara Utara, program
bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan asing. Atas nama pembangunan hutan dirusak dan laut,
sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus mengalah kepada HPH/ IUPHHK, HTI, pertambangan, pembangkit listrik dan proyek
berskala besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati
oleh segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal internasional.
Akibatnya,
dalam 12 tahun (1991 – 2003) Indonesia telah kehilangan 68 juta hektar hutan
atau sekitar 10 hektar per menit. Bayangkan, hutan seluas 15 kali lapangan bola lenyap setiap menit! Bila dalam satu
hektar terdapat 2000 pohon, maka 2000 pohon per menit sama dengan 2,88 juta pohon
per hari hilang!
Sesungguhnya semua
permasalahan yang menimpa Indonesia bermula dari intelektual muda dalam
mendorong kebijakan pemerintah. Intelektual bak dua mata pisau, bisa menusuk
mematikan atau membedah dan menyembuhkan. Lalu apa peran kita sebagai
intelektual?
Tak lain dan tak bukan adalah
membangkitkan Indonesia dari keterpurukan semua sektor. Seperti filosofi Aa’
Gym, perbaikan besar dimulai dari hal kecil yakni mulai dari diri sendiri,
mulai dari yang kecil dan mulai dari sekarang. Tepat sekali kebangkitan negeri
ini berawal dari kebangkitan diri kita sendiri sebagai intelektual.
Sebagian orang
mengatakan, kebangkitan adalah berubahnya kondisi suatu umat, bangsa, atau
seorang individu dari suatu keadaan menuju keadaan yang lebih baik. Berubah lebih
baik seperti apakah? Apakah benar apa yang dikatakan orang-orang bahwa
kebangkitan itu adalah makin tingginya tingkat pendidikan, bertambahnya tingkat
kekayaan, makin baiknya moralitas? Karena itu banyak orang yang mengira jalan
keluar dari permasalahan di sektor kehutanan dengan cara menghilangkan penyebab
rusaknya hutan di permukaan yaitu, illegal
logging, korupsi, sengketa pembagian wilayah hutan, UU yang tidak tegas,
konsep hutan negara, mengejar kemajuan teknologi dan berbagai penyakit
masyarakat. Apakah banyaknya lembaga pendidikan, perguruan tinggi serta
banyaknya sarjana dan lulusan pascasarjana di sektor kehutanan merupakan tanda
kebangkitan sebuah negeri atau menuju proses kebangkitan? Tentu semua itu
merupakan efek dari sebuah
kebangkitan namun bukan standar kebangkitan itu sendiri.
Fakta menunjukkan,
sebagian besar negeri-negeri berkembang (Indonesia berada di dalamnya) tidak
mampu melakukan apa-apa, walaupun banyak memiliki sarjana dan lulusan pascasarjana. Banyak
dari mereka bahkan menjadi beban bagi negeri mereka dan tidak tersalurkan di
lapangan kerja yang cocok dengan bidangnya. Ambil contoh negeri Mesir, Pakistan,
Yordania, Lebanon, Suriah, Turki, Sudan, dan Afrika. Kita akan menemukan
ratusan ribu putra-putrinya lulusan pascasarjana diberbagai bidang, seperti
kedokteran, fisika, teknik, kimia, nuklir dan teknologi. Mereka telah
meninggalkan negeri mereka dan menyebar ke berbagai penjuru dunia dalam rangka
mencari penghidupan. Miskinkah negeri-negeri berkembang tersebut? Tidak sama
sekali. Bahkan negeri-negeri berkembang adalah negeri yang paling kaya
sumberdaya alam dan manusianya.
Makna Kebangkitan dalam Pengelolaan Hutan
Menurut
Hafidz Shalih dalam buku Falsafah Kebangkitan mengatakan, bangkitnya manusia
karena memiliki pemikiran atau kesadaran yang menyeluruh mengenai keberadaan
dirinya sebagai manusia, alam dan kehidupan serta hubungan penciptaan dari
ketiganya. Kebangkitan manusia ditandai dengan kesadaran atas keberadaan dan
diciptakannya dirinya di dunia. Bahwa ia diciptakan bukan sia-sia, menghabiskan
usianya dengan percuma bak air mengalir, tanpa arah tujuan atau sesuka hatinya.
Seorang
yang bangkit, maka ia hidup memiliki visi dan misi adicita mulia, yakni visi
dan misi mengemban kebenaran dimana pun dan diposisi apapun ia berada. Manusia
bangkit senantiasa memanfaatkan peluang yang ada untuk menciptakan karya
kebenaran dan kebaikan sesuai visi serta misi hidupnya.
Sebagai intelektual,
untuk membangkitkan diri kita tentu saja dimulai dari mengubah pola pikir lama
menuju pola pikir baru yang berlanjut pada pola sikap (tingkah laku). Seperti
perkataan Bernard Shaw, “Kemajuan
mustahil terjadi tanpa perubahan. Dan, mereka yang tak bisa mengubah
pemikirannya tak bisa mengubah apapun”.
Maka sebelum melakukan
perubahan ke tengah masyarakat, yang harus dilakukan oleh para intelektual
adalah merubah pola pikir dan pola sikap dirinya sendiri. Para intelektual
menghayati benar dan sepenuh hati dalam membangun kelestarian hutan.
Kelestarian hutan
berkaitan erat dengan pengelolaan hutan, sehingga diperlukan adanya pembenahan
sistem menyangkut konsep kepemilikan
hutan. Sebenarnya sejumlah permasalahan kehutanan yang mengemuka tanpa
berkesudahan terjadi akibat ketidakjelasan batas-batas kepemilikan hutan ini.
Hutan adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya
harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi
untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.
Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus
dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian
sumber daya (sustainable resources
principle). Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan
tersebut, namun terlarang untuk memilikinya.
Pengelolaan sumberdaya alam adalah perkara yang sangat serius dan
berkesinambungan tentang manajemen dan kebijaksanaan. Atas dasar itu, pengelolaan hutan hanya
boleh dilakukan oleh negara, sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak
mudah dilakukan secara langsung oleh orang-perorang serta membutuhkan keahlian,
sarana, atau dana yang besar. Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan
seoptimal mungkin sumber daya alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah
itu. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumberdaya itu. Sudah saatnya,
misalnya hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola
hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian juga dengan sumberdaya lain.
Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 1973
konon lebih dari Rp 500 triliun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah
mendapatkan pajak dan sebagainya. Tapi pasti angkanya jauh lebih kecil dari
hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang
tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini
adalah penyusunan kebijakan-kebijakan baru untuk mencegah konflik yang lebih
parah dan untuk menjaga keselamatan hutan yang masih tersisa. Setidak-tidaknya
harus dimunculkan paradigma baru tentang manajemen hutan dengan pendekatan terpadu
yang mempertimbangkan posisi peran
pemerintah dan posisi hutan sebagai
kepemilikan umum bagi kemaslahatan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar