Selasa, 15 Mei 2012

ANAK TIRI TAK BOLEH MERATAP LAGI

[Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si.]
 
“Nisaa… Sini, Cantik,” panggil Bunda lembut. Annisaa, gadis kecil yang tengah asyik mengamati kupu-kupu di taman itu, menoleh, tersenyum dan memenuhi panggilan bundanya.
“Iya, Bun,” seru Nisaa sambil berlari-lari kecil menuju Bunda.
“Lihat… Abi sudah datang menjemput kita. Kita pulang sekarang ya, Sayang,” ucap Bunda penuh cinta. Bunda menunjukkan kedatangan Abi pada Nisaa. Abi baru saja pulang dari toko alat-alat listrik di seberang komplek, beli kabel rol. Karena jalan raya sangat ramai di sore hari, maka Abi berpesan pada Nisaa dan Bunda agar menunggunya di taman komplek saja, tak jauh dari pintu gerbang komplek.
“Na’am, Bunda,“ sambut Nisaa dengan salah satu kosakata bahasa Arab yang sedang paling sering ia ucapkan. Nisaa menoleh pada Abi. Abi pun berjalan mendekat.
“Assalamu’alaykum,” Abi mengucapkan salam. Nisaa dan Bunda menyambutnya dengan tersenyum.
“Wa’alaykumussalam,” jawab Nisaa dan Bunda bersamaan. Abi pun balas tersenyum.
“Nisaa habis ngapain sama Bunda? Asyik banget kayaknya. Abi jadi pengen tahu,” tanya Abi sambil menggendong Nisaa. Meski sudah 7 tahun, Abi masih suka menggendong Nisaa. Sebenarnya, Bunda sudah sering mengingatkan Abi tentang hal ini. Apalagi, insya Allah Nisaa akan punya adik, karena Bunda sedang mengandung 5 bulan. Bukannya Bunda tidak setuju jika Abi sesekali memanjakan Nisaa. Hanya saja, maksud Bunda, Nisaa juga harus dijaga agar selalu siap belajar menjadi sosok yang dewasa. Tidak hanya karena akan punya adik, melainkan suatu saat Nisaa juga akan menjadi perempuan dewasa. Jadi menurut Bunda, Nisaa harus dipersiapkan sejak dini untuk menjadi muslimah tangguh. Agar ia menjadi pencetak generasi berkualitas di masa depan nanti, insya Allah. Berhubung Nisaa masih kecil, maka pendewasaannya pun dengan bentuk pembelajaran yang semudah dan sekecil apapun yang sekiranya sudah bisa dijangkau oleh akal dan tingkat berpikirnya.
Bunda yakin, pendidikan berkarakter dan berbasis aqidah Islam harus ditanamkan sejak dini. Bunda terinspirasi dengan salah satu shahabiyah Rasulullaah saw, Nusaibah binti Ka’ab, yang juga dikenal sebagai Ummu Umarah. Ummu Umarah menjadi simbol semua kemuliaan. Beliau ahli ibadah, seorang mujahidah (perempuan yang ikut berperang) dan sabar dalam menghadapi semua cobaan. Beliau telah ikut beberapa besar bersama Rasul, di antaranya Baiat Aqabah kedua, Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah, Perang Khaybar, peristiwa Umroh Qodho, penaklukan kota Makkah dan Perang Hunain. Beliau adalah mujahidah  pertama dalam sejarah Islam. Beliau juga seorang ibu dari para mujahid yang menjadi syahid di medan jihad (Al-Misri 2006).
 “Ehmm… Bunda tadi cerita tentang berubahnya ulat jadi kupu-kupu, Bi. Makanya kan tadi Nisaa lagi ngejar kupu-kupu. Kata Bunda, saat masih jadi ulat, dia masih jelek. Nggak punya sayap. Tapi setelah jadi kupu-kupu, ulatnya jadi cantik, punya sayap, terus bisa terbang deh. Bunda juga cerita kalau itu semua adalah ciptaan Allah. Kita harus syukuri dan pelajari. Terus, kalau kita sudah tahu ceritanya, nanti bisa dikasihtahu ke temen-temen Nisaa, Bi. Pokoknya cerita dari Bunda keren banget deh. Kapan-kapan kita minta didongengin bareng sama Bunda yuk, Bi,” papar Nisaa panjang lebar. Nisaa memandang Bunda, penuh harap. Nisaa senang mendengar segala cerita dari Bunda. Karena cerita dari Bunda selalu menarik untuk didengar. Bunda juga pandai membahasakan segala ceritanya dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh Nisaa. Jadilah Nisaa makin banyak menyerap informasi dari Bunda, idolanya itu.
“Iyakah? Subhanallaah… Padahal Abi cuma pergi sebentar, tapi Bunda bisa sebanyak itu cerita ke Nisaa? Wah, Bunda memang keren deh, ckckck,” puji Abi terkekeh. Abi menoleh pada Bunda, Bunda jadi tersipu. Ayah dan anak ini memang kompak.
“Abi ini bisaan deh. Iya, boleh kok Nisaa Sayang. Sekarang pulang dulu ya, sudah menjelang maghrib niy. Abi kan harus segera sholat berjama’ah di masjid,” Bunda pun menenangkan, tanpa meninggalkan senyum menawannya. Mereka berjalan pulang.
***
Hari Sabtu, Bunda lebih sibuk menyiapkan perlengkapan Nisaa sejak pagi. Perlengkapan untuk bekal makanan di sekolah dan untuk menginap. Hari Sabtu sampai dengan Selasa, kadang-kadang hingga Rabu sore, adalah jadwal Nisaa untuk tinggal di rumah Umi. Ya, Bunda memang bukan ibu kandung Nisaa. Abi dan Umi bercerai saat Nisaa berusia 3 tahun. Kemudian, Abi menikah dengan Bunda saat Nisaa berusia 5 tahun.
Hak asuh Nisaa diberikan kepada Umi. Tapi Abi juga masih berhak untuk mengasuh Nisaa. Maka, dibuatlah pembagian jadwal menginap dalam seminggu. Selasa atau Rabu sore, Nisaa akan tinggal di rumah Abi dan Bunda hingga Sabtu pagi. Sabtu, langsung setelah pulang sekolah, Abi atau Bunda akan mengantar Nisaa ke rumah Umi. Kadang-kadang Umi juga menjemput Nisaa di sekolah, sehingga Abi atau Bunda tidak harus mengantar Nisaa ke rumah Umi. Sesekali Umi juga mengantar Nisaa ke rumah Abi dan Bunda.
Meski Bunda bukan ibu kandung Nisaa, tapi saat menikah dengan Abi, Bunda sudah berkomitmen untuk menyayangi Nisaa seperti anaknya sendiri. Tak heran, jika Bunda menjadi ibu baru yang sangat baik untuk Nisaa. Sebagaimana hasil sholat istikhorohnya, insya Allah Abi tidak salah saat memilih Bunda, terlebih demi Nisaa. Abi sendiri bukan dengan mudah dapat menaklukkan hati Bunda. Bunda memang bukan muslimah pinggiran. Bunda adalah muslimah hebat. Sebelum menikah, Bunda bahkan memastikan setiap langkah persiapan Abi dengan rinci, khususnya tentang Nisaa. Bunda tidak ingin Nisaa menjadi korban saat Abi menikahinya. Bunda ingin Nisaa tetap merasakan kebahagiaan hidup bersama orang tua kandungnya, walau keduanya telah berpisah. Bunda justru ingin Nisaa tetap merasa beruntung dengan punya dua ibu dan adik-adik baru. Bukankah keluarganya akan makin banyak? Maka, menurut Bunda, hak asuh dan jadwal menginap untuk Nisaa, harus dikelola dengan baik dan benar.
Bunda sedemikian perhatian pada Nisaa. Bagaimanapun, perceraian tetap berpotensi untuk mempengaruhi psikis Nisaa sebagai anak. Terlebih dalam sistem kapitalisme seperti sekarang ini, bukan tidak mungkin, anak menjadi bahan rebutan saat sidang cerai maupun pembacaan putusan hak asuh. Tidak seharusnya anak menjadi korban. Oleh karena itu, segala urusannya harus dibicarakan secara komunikatif.
***
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, yang darinya akan dilahirkan anak keturunan mereka sebagai sendi utama bagi pembentukan bangsa dan negara. Namun demikian, dalam pembentukan keluarga adakalanya timbul permasalahan antara suami dan istri. Ini bukan suatu yang aneh karena suami-istri merupakan perpaduan dari dua orang yang mempunyai kepribadian yang berlainan. Permasalahan dalam suatu keluarga yang tidak kunjung usai dapat berujung pada perceraian. Banyaknya kasus perceraian yang terjadi di kalangan artis, seakan mengesahkan perceraian sebagai suatu hal yang biasa. Mereka menganggap kesakralan perkawinan sudah tidak lagi bermakna (Priyana 2011).
Imam At-Tirmizi rahimahullah berkata (1863): Katsir bin ‘Ubaid telah menceritakan kepada kami (dia berkata): Muhammad bin Khalid telah menceritakan kepada kami dari Mu’arrif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar dari Nabi saw, beliau bersabda:
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

“Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.”

Perceraian dapat berdampak psikologis pada anak, seperti perubahan sikap dan perilaku anak. Anak jadi sering marah, malu, minder dan lain sebagainya. Bisa jadi, kebutuhan hidup anak juga mengalami kesulitan. Karena biaya hidup yang biasanya ditanggung dua orang sekarang beralih menjadi satu orang saja. Dalam hal pendidikan anak, permasalahan juga bisa muncul. Anak yang saat belajar selalu diberi dorongan, diarahkan, disemangati oleh kedua orang tuanya, setelah perceraian, tidak ada yang menyemangati sebab orang tuanya sibuk bekerja. Akibatnya anak menjadi malas belajar (Priyana 2011).
Dengan adanya perceraian maka akan terjadinya perubahan status dan peran antara suami-istri. Bagi suami akan mendapatkan status berupa duda, sedangkan bagi istri akan mendapatkan status janda. Namun, bagi ayah atau ibu, seharusnya mereka tetap memperhatikan anak. Sering berkomunikasi, bercengkrama dan menanyakan kesulitan belajar kepada anak, baik di sekolah maupun di rumah, adalah langkah-langkah agar anak tidak terlalu terbebani dengan perceraian orang tuanya. Hal ini penting agar anak bisa menerima perpisahan ayah dan ibunya. Disamping itu, anak dapat menyesuaikan diri secara positif terhadap perceraian tersebut, sehingga tidak mengganggu tumbuh kembangnya. Bagi mantan suami, tetap ikut bertanggung jawab terhadap biaya anak, antara lain biaya pendidikan, perawatan, kesehatan dan kebutuhan hidup (Priyana 2011).
***
Tanpa perlu dirahasiakan, Bunda berlatar belakang seperti Nisaa, punya ibu tiri. Nasib Bunda justru lebih tidak enak. Karena ibu tiri Bunda bukan orang yang mau menerima Bunda sebagai anak kandung. Padahal orang tua Bunda berpisah karena ibu Bunda meninggal saat Bunda masih bayi. Sejak itu, Bunda diasuh oleh nenek dan kakek dari ibunya. Bisa dikatakan bahwa Bunda tidak pernah hidup bersama bapaknya setelah beliau menikah lagi. Ironisnya, Bunda sampai harus sembunyi-sembunyi jika akan bertemu Bapak. Karena ibu tirinya tidak terlalu suka jika Bunda bertemu dengan bapaknya.
Saat bapaknya menikah lagi, usia Bunda 6 tahun. Darinya, Bunda mendapatkan dua orang adik perempuan. Adik pertamanya lahir saat usia Bunda 7,5 tahun. Untuk pernikahan ini, nampaknya bapak Bunda memiliki alasan lain yang diprioritaskan, entah apa. Yang pasti, alasan itu bukan diri Bunda. Kisah masa kecil ini membuat Bunda trauma dengan posisi ibu tiri. Saat SMP, Bunda sempat berpikir untuk membalas dendam kepada ibu tirinya. Alhamdulillaah Bunda masih dijaga oleh Allah, sehingga Bunda tidak melaksanakan rencana itu. Bunda percaya bahwa Allah tidak akan membebani seorang hamba melebihi kemampuannya.
Makin bertambah usia, Bunda makin sadar. Bunda harus terjaga untuk selalu berprasangka baik kepada Allah. Barangkali ibu tirinya itu adalah letak kebahagiaan yang Allah karuniakan pada bapaknya. Bukankah seharusnya kita juga turut bahagia jika orang kita sayangi juga bahagia?
Akhirnya, Bunda menerima qodho Allah. Bunda percaya sepenuhnya pada ke-Maha-Adil-an Allah. Jadi Bunda tidak boleh membenci Bapak. Bunda tak ingin durhaka pada orang tua, apalagi satu-satunya, insya Allah. Bunda teringat firman Allah Swt yang memerintahkan kepada manusia untuk selalu berbuat baik kepada orang tuanya dalam surat Al Israa’ ayat 23, yang artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (TQS Al Israa’ [17]:23).
Dari ayat tersebut sudah jelas, seorang anak yang tidak berbuat baik kepada ibu-bapaknya sudah termasuk sebagai anak yang durhaka. Karena secara nyata dia telah mengingkari perintah Allah, walaupun boleh jadi kedua orang tuanya memaklumi dan memaafkan dia, dan tidak pernah menganggap anaknya tersebut berbuat durhaka dengan apa yang dilakukannya. Sementara di sisi lain, Bunda juga ingin menjadi anak yang sholihah bagi ibunya, agar doa-doa Bunda untuk ibu dapat diterima oleh Allah. Karena Bunda faham bahwa doa anak sholih atau sholihah itu bagian dari amal yang tidak akan terputus meski seorang muslim itu telah meninggal.
Maka, saat menghadapi Nisaa, Bunda mengimplementasikan keyakinannya itu. Mantan istri atau suami memang ada, tapi tidak akan pernah ada yang namanya mantan anak. Meski Bunda adalah ibu tiri Nisaa, tapi Bunda ingin dekat dengan Nisaa seperti ibu kepada anaknya, sebagaimana Nisaa dekat dengan Uminya. Bunda tidak ingin membuat Nisaa merasa asing padanya.
***
Sabtu siang, Umi menjemput Nisaa di sekolah. Tadi pagi, Umi sudah menghubungi Bunda, agar Nisaa tidak perlu Bunda antar ke rumah Umi. Hari itu Umi sedang ada jam kerja ekstra. Maka setelah menjemputnya, Umi mengajak Nisaa ke tempat kerjanya terlebih dulu. Umi bekerja di sebuah pusat penelitian ilmiah.
“Assalamu’alaykum, Sayang,” sapa Umi kepada Nisaa dari depan pintu gerbang sekolah. Nisaa berlari menghampiri Umi.
“Wa’alaykumussalam, Umi.” Nisaa menjawab salam Umi. Umi mencium Nisaa, pipi kanan dan kiri. Demikian pula Nisaa.
“’Pa kabar Nisaa minggu ini?” tanya Umi.
“Alhamdulillaah Nisaa sehat, Mi. Umi ‘pa kabar juga?” tanya Nisaa.
“Alhamdulillaah Umi juga sehat, Sayang. Umi kangen sekali sama Nisaa,” jawab Umi.
“Nisaa juga kangen sama Umi, kangen sekali…” balas Nisaa. Umi pun menggandeng Nisaa, berjalan ke tempat Umi memarkir mobil. Lalu, mereka masuk ke mobil.
“Gimana kabar Bunda dan Abi, Nisaa?” tanya Umi sambil bersiap menyetir mobil.
“Alhamdulillaah semua sehat, Mi,” jawab Nisaa.
“Alhamdulillaah kalau begitu,” balas Umi. “Eh kita ke kantor Umi dulu baru kita pulang ya, Sayang. Umi masih ada sedikit pekerjaan yang mau diselesaikan,” jelas Umi.
“Na’am, Mi,” jawab Nisaa.
“Eh, pakai bahasa Arab ya? Subhanallaah, anak gadis Umi makin pandai niy,” puji Umi.
“Hehe… Nisaa lagi seneng pakai kata itu, Mi, ‘na’am’,” jawab Nisaa malu-malu. “Soalnya, baru bisa itu aja, hehe…” lanjut Nisaa kocak.
Umi tersenyum. “Ya nggak apa-apa, sedikit-sedikit insya Allah lama-lama bisa jadi bukit. Sambil jalan, sambil belajar, Sayang. Bahasa Arab kan bahasa Al-Quran, bahasa Islam, jadi sudah selayaknya kita bisa menggunakannya,” jelas Umi bijak.
“Insya Allah, Mi. Nisaa suka dengan bahasa Arab. Jadi saat tilawah, sambil membaca tulisan Arabnya, juga bisa mengerti artinya,” tambah Nisaa.
Sekitar 30 menit kemudian, Umi dan Nisaa tiba di kantor Umi. Umi pun menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Nisaa menunggu sambil makan bekal yang disiapkan Bunda tadi pagi. Pekerjaan Umi selesai menjelang ashar.
“Kita sholat ashar dulu baru pulang ya, Sayang. Malam minggu begini biasanya macet sejak sore. Takutnya mepet banget di akhir waktu kalau sholat di rumah,” kata Umi.
“Okay, Mi,” sahut Nisaa.
Sesaat, Nisaa bertanya dalam hati, “Apa ya yang membuat Abi dan Umi bercerai? Umi dan Bunda sama-sama baiknya kok. Umi dan Bunda sama-sama harus disayang. Tapi mengapa Abi tidak ingin lagi bersama Umi, seperti saat Nisaa kecil dulu ya?”
“Entahlah. Yang penting, kehadiran Umi dan Bunda adalah pencerah yang sama hebatnya di sisi Nisaa,” gumam Nisaa, masih dalam hati.
***
Betapa malang nasibku
Semenjak ditinggal ibu
Walau kini dapat ganti
Seorang ibu... ibu tiri
Tiada sama rasanya
Ibu kandung yang tercinta
Menyayang sepenuh jiwa
Penuh kasih lagi mesra
Ibu tiri hanya cinta
Kepada ayah ku saja
Selagi ayah di sampingku
Ku dipuja dan dimanja
Tapi bila ayah pergi
Ku dinesta dan dicaci
Bagai anak tak berbakti
Tiada menghirau ku lagi
Aduhai ibu tiriku
Kasihanilah pada ku
Bagai anak mu sendiri
Agar dapat ku berbakti                                                                                                                                 (lirik lagu Ratapan Anak Tiri)
***
Malam itu, Bunda gelisah memikirkan Nisaa. Abi pun menangkap kegelisahan Bunda. Suara penyiar berita malam di televisi mengiringi pembicaraan mereka.
“Ada apa, Bun? Kayaknya ada yang bikin galau?” tanya Abi, menghampiri Bunda di ruang tengah. Abi duduk di sebelah Bunda.
Bunda tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Bi. Bunda cuma lagi mikirin Nisaa.”
“Memang kenapa dengan Nisaa, Bun? Cerita deh,” tanya Abi lagi.
“Iya niy, Bi. Nisaa kan sekarang lagi sama Uminya. Entah kenapa Bunda jadi kepikiran. Gimana ya kira-kira perasaan Nisaa ke Bunda kalau Nisaa lagi sama Uminya kayak sekarang ini? Bunda khawatir kalau Bunda belum bisa memberikan yang terbaik seperti yang Nisaa peroleh dari Uminya, Bi. Bunda khawatir kalau Nisaa masih punya keraguan sama Bunda. Gimanapun, Bunda kan cuma ibu ketemu gede bagi Nisaa,” jelas Bunda. Ekspresi wajahnya kental dengan kegalauan.
Abi tersenyum. “Bunda kenapa jadi lemes gitu? Kan biasanya Bunda selalu tegar. Tapi kalau sudah giliran ngomongin Nisaa, Bunda selalu merasa masih punya banyak kekurangan. Bunda tahu nggak, you are the best for her, for me, for us, insya Allah. Abi memilih Bunda karena Abi yakin Bunda bisa menjadi teladan yang tepat untuk Nisaa dan adik-adiknya nanti. Jadi Bunda nggak perlu selalu khawatir begitu. Bunda harus khusnudzdzon. Bunda adalah idola baru Nisaa, percaya deh sama Abi. Perkara bagaimana perasaan Nisaa antara ke Bunda dan ke Uminya, itu terserah Nisaa. Biarkan dia. Bunda tentu ingat bahwa manusia tidak akan sanggup berlaku adil dalam perkara cinta dan kasih sayang. Demikian halnya dengan Nisaa, karena itu adalah fitrah manusia. Bunda tak perlu gundah dengan hal itu. Yang penting, kita sebagai orang tuanya, selalu berusaha menjaganya untuk tetap dalam koridor syariat Islam.” Abi mengingatkan Bunda. Bunda mendengarkan dengan seksama.
“Astaghfirullaah… Aduh… Bunda tiba-tiba merasa jadi orang lebay, Bi. Bunda sudah berlebihan dalam kekhawatiran itu. Sampai Bunda lupa, bahwa cinta dan kasih sayang Nisaa pada Bunda adalah hak prerogatif Nisaa. Nggak seharusnya Bunda repot mikirin sampai ke sana. Yang bisa Bunda lakukan adalah mengusahakan yang terbaik untuk Nisaa, karena Allah juga akan menilai itu. Insya Allah Bunda mengerti. Jazakallaah khoyr sudah mengingatkan Bunda ya, Bi.” Bunda tersenyum mengerti.   
“Wa iyyaaki, aamiin. Iya, Bun, insya Allah. Yang pasti, Abi pesan, bahwa masa lalu Bunda dengan Bapak jangan sampai terus-menerus menghantui Bunda. Tiap orang punya jalannya sendiri-sendiri, Bun. Jadi tidak bisa digeneralisasi. Kasusnya beda-beda. Bunda kan orang yang sangat cinta Allah. Jadi Abi yakin Bunda pun akan senantiasa dijaga oleh Allah. Demikian halnya dengan keluarga yang Bunda jaga. Yang terdekat, ya Abi dan Nisaa. Iya kan, Bun?” tambah Abi.
“Insya Allah, Bi,” sahut Bunda.
***
Posisi Bunda bagi Nisaa memang berpotensi dianggap sebagai kasus rumit di masa kini. Parahnya, televisi justru seringkali menayangkan keserakahan ibu tiri, yang kehadirannya selalu dicurigai oleh keluarga suami, seakan-akan ingin menguasai harta si suami. Tayangan keserakahan ibu tiri di televisi kiranya tidak dapat dijadikan ukuran terhadap citra ibu tiri pada umumnya. Boleh jadi masih banyak ibu tiri yang berperilaku baik yang mencerminkan perilaku istri yang sholihah, yang menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandungnya dan menjalin hubungan baik dengan keluarga suaminya. Demikian pula keluarga suami, sudah semestinya menjalin sikap yang bersahabat dengannya.
Sayangnya, perilaku ibu tiri yang baik, nyaris tidak pernah ditayangkan di televisi. Namun, kita harus optimis, jika ada atau bahkan sering ditayangkan perilaku ibu tiri yang baik, demikian pula keluarga suaminya yang sangat bersahabat itu, maka akan menjadi sebagian dari upaya pendidikan kepada masyarakat, yakni menjadi teladan bagi istri yang kebetulan menjadi ibu tiri dan keluarga suaminya serta masyarakat pada umumnya. Pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi citra serakah seorang ibu tiri dan sikap curiga keluarga suaminya.
Sejatinya, ibu tiri yang masih terikat pernikahan dari suaminya pada hakikatnya adalah istri dari suaminya dan kedudukannya sama dengan kedudukan seorang istri. Hal ini berarti bahwa hak dan kewajibannya sama dengan hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya. Hak dan kewajiban suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga diatur sedemikian rupa oleh ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullaah saw. Dengan demikian, seandainya suatu rumah tangga Muslim mengikuti ajaran agama Islam yang berhubungan rumah tangga dengan benar sesuai dengan petunjuk Allah Swt dan Rasul-Nya, niscaya apa yang ditayangkan pada televisi itu tidak akan terjadi.
Pesan-pesan yang tersirat pada firman Allah Swt yang mengatur hubungan anak tiri dengan bapak tiri dan ibu tiri, yaitu:
1.       Dengan terjadinya akad nikah yang sah antara seorang laki-laki yang mempunyai putra dengan seorang perempuan, maka putra dari laki-laki itu menjadi mahram (tidak boleh kawin) untuk selama-lamanya dari perempuan itu (ibu tiri), walaupun si ibu tiri telah bercerai dengan laki-laki itu (bapak si anak). Allah SWT berfirman:

وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلاً. [النسآء (4): 22].

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [QS. an-Nisa’ (4): 22].
2.      Jika terjadi akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang janda yang mempunyai anak perempuan, maka anak perempuan dari janda itu menjadi mahram untuk selama-lamanya dari laki-laki itu, setelah terjadi hubungan seksual antara laki-laki (suami) dengan janda yang telah menjadi istrinya itu(ba‘da dukhul), walaupun laki-laki itu telah bercerai dengan janda itu. Allah SWT berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ... ... ... وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ... [النسآء (4): 23].

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; … … … anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; …” [QS. an-Nisa’ (4): 23].

Dari ayat-ayat di atas dapat difahami bahwa dengan terjadinya akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah seorang atau keduanya telah mempunyai anak, maka pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa hukum yang berlaku bagi kedua pasangan yang telah melakukan akad nikah dan anak-anak mereka. Peristiwa hukum itu ialah telah terjadi tahrim mu‘abbad (larangan atau halangan perkawinan untuk selama-lamanya) antara bapak dengan anak tirinya yang perempuan jika bapak dengan istrinya (ibu anak tiri) ba‘da dukhul (telah berhubungan seksual) dan antara ibu dengan anak laki-laki dari suaminya. Larangan atau halangan perkawinan ini adalah larangan atau halangan yang tetap untuk selama-lamanya walaupun nanti pada suatu saat terjadi perceraian antara si bapak tiri (suami) dan ibu anak tiri (istri).
Dalam hal ini tersirat suatu pesan kepada semua anggota keluarga bahwa telah terjadi perubahan status hukum pada keluarga mereka, yaitu masing-masing mereka telah menjadi anggota keluarga dari bapak dan ibu mereka. Sebagai anggota keluarga yang baik mereka harus berusaha untuk menciptakan kerukunan, kebersamaan dengan melakukan musyawarah dalam keluarga sebagaimana petunjuk yang terdapat pada surat ath-Thalaq ayat 6 di atas. Mereka harus yakin bahwa Allah dan Rasul-Nya memberi tuntunan yang lengkap dalam membina hidup berkeluarga. Dengan demikian tidak ada lagi anggota keluarga yang merasa disisihkan oleh anggota keluarga yang lain (www.umy.ac.id 2011, diakses tanggal 14/05/2012).
***
Anak adalah permata hati. Mitos ratapan anak tiri harus diganti. Tak seharusnya label ‘anak tiri’ dan ‘ibu tiri’ membuat keki. Anak tiri pun tak boleh meratap lagi. Tak peduli anak kandung atau anak tiri, kehadirannya merupakan anugerah terindah bagi orang tua. Allah Swt telah berfirman secara khusus untuk menjaga anak-anak kita, yaitu: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan Memberi Rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (TQS Al-Israa [17]: 31). Demikian pula firman Allah Swt yang telah mengabadikan kisah Luqman dalam Al-Qur’an: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ ” (TQS Luqman [31]: 13).
Anak adalah generasi potensial untuk membangun bangsa dan peradaban. Adalah tripartite agent yang berkompeten dalam menyiapkan mereka menjadi generasi yang berpendidikan dan cerdas serta memegang teguh aqidah dan syariat, yaitu keluarga, masyarakat dan lingkungan, serta pemerintah atau negara.
Output pendidikan melalui jalur keluarga akan optimal apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa pra-nikah, setelah masa pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan, serta berlanjut sampai ke jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Namun, pendidikan anak tidak dapat semata-mata dilakukan oleh keluarga. Keyakinan seorang hamba akan hubungannya dengan Allah Swt adalah mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya. Hal ini terkait dengan kontribusi masyarakat dalam menyiapkan generasi cerdas yang diwujudkan dengan partisipasi menciptakan lingkungan yang suportif dan kondusif. Masyarakat sebagai pengontrol hendaknya memiliki perasaan, pemikiran, peraturan yang sama, yaitu atas landasan Islam agar segala bentuk perilaku individu dalam kehidupannya itu senantiasa terjaga dengan benar. Masyarakat pun harus kondusif dengan suasana ‘amar ma’ruf nahyi mungkar. Selanjutnya, negara sebagai penegak aturan adalah negara yang menegakkan aturan Allah dalam pemeliharaan urusan rakyatnya, baik dari sisi kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) maupun naluri (ghorizah). Negara melalui kebijakan pemerintah yang berlandaskan syariat Islam dalam bingkai Khilafah, harus mampu memfasilitasi proses pendidikan dan pembelajaran, sehingga rakyat senantiasa terkondisikan untuk menyempurnakan ketaatannya kepada Allah.
Dengan demikian telah jelas bahwa Islam diturunkan memang untuk menjadi solusi bagi permasalahan kehidupan manusia. Hal ini adalah jaminan dari Allah berdasarkan firman-Nya dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”  Serta dalam QS.Al-Ahzab ayat 36: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Wallaahu a’lam bish showab [].

Daftar Pustaka:
Al-Misri M. 2006. Sirah Shahabiyah Jilid 2. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.

An-Nabhani T. 2001. Sistem Pergaulan dalam Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

Priyana D. 2011. Dampak perceraian terhadap kondisi psikologis dan ekonomis anak (studi pada keluarga yang bercerai di desa Logede kec. Sumber kab. Rembang) [skripsi]. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.

UMY. 2011. Kedudukan Ibu Tiri dalam Islam. www.umy.ac.id [diakses tanggal 14/05/2012].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar