Kamis, 03 Mei 2012

Balada Buruh Pintar dalam Getar Dawai Ketenagakerjaan


[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]

May Day 2012 di Indonesia

Hari Buruh Internasional atau May Day, yang jatuh pada hari Selasa (01/05), diperingati oleh jutaan buruh di seluruh dunia. Para pekerja atau buruh memanfaatkan momentum peringatan tersebut untuk memperjuangkan hak-hak normatif mereka yang kerap terabaikan oleh nafsu meraup keuntungan yang sebesar-besarnya (republikaonline, 01/05/2012). Tahun ini, setidaknya 50 ribu buruh datang ke Jakarta untuk berunjuk rasa dalam rangka memperingati Mayday (liputan6.com, 27/04/2012). Ratusan buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka pada Selasa (01/05/2012) siang. Mereka menuntut beberapa hal, antara lain penghapusan sistem kerja kontrak dan peningkatan kesejahteraan buruh. Unjuk rasa di depan Istana tidak berlangsung lama. Sekitar 13.00 WIB, massa bergerak menuju ke Stadion Utama Gelora Bung Karno untuk melakukan deklarasi manifesto buruh Indonesia (liputan6.com, 01/05/2012).

Saking mengglobalnya May Day, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kemarin (01/05/2012), meluangkan waktu untuk memantau unjuk rasa buruh di berbagai wilayah Indonesia dari kantor Presiden (tribunnews.com, 01/05/2012). Bahkan beberapa hari yang lalu, Presiden SBY dijadwalkan makan nasi kotak bersama para buruh di Batam usai menunaikan shalat Jumat (27/4) (republikaonline, 26/04/2012). Selanjutnya, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Sparringa, menjelaskan bahwa Presiden SBY selalu menyimak aspirasi semua warga negara, termasuk para buruh. Menurutnya, Presiden telah membangun sistem yang siap bekerja kapan saja untuk menyerap suara masyarakat, sehingga tidak perlu menunggu demo untuk tahu itu (liputan6.com, 01/05/2012). Presiden menyampaikan ucapan selamat hari buruh kepada semua pekerja yang memperingati hari buruh internasional pada 1 Mei. Presiden mengharapkan agar seluruh acara dalam rangka memperingati hari buruh dapat berjalan dengan tertib. Presiden juga mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk berbagi simpati dengan kaum buruh yang merayakan Hari Buruh (antaranews.com, 01/05/2012).

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar pun mengatakan bahwa pihaknya membuka posko guna menangkap aspirasi para pekerja menyambut hari buruh 1 Mei. Ia mengharapkan agar dalam menyambut hari buruh, para pekerja tidak meninggalkan pekerjaannya untuk berdemo. Untuk itu, ia berharap, perusahaan-perusahaan mengadakan kegiatan yang positif menyangkut hari buruh. Ia mencontohkan dengan memberikan penghargaan pengabdian kepada para pekerja pada saat hari buruh nanti. Muhaimin menyatakan bahwa kaum buruh memang belum sejahtera. Menurutnya, hal ini harus dihadapi bersama. Jika membutuhkan peraturan, maka pihaknya siap memberikan. Yang penting buruh dan pemerintah bersatu untuk perbaikan keadaan (antaranews.com, 30/04/2012).



Nasib Buruh

Terkait dengan nasib buruh, sebelumnya Presiden SBY memang telah meminta Muhaimin untuk memfasilitasi upaya-upaya peningkatan kesejahteraan buruh baik yang dilakukan oleh serikat pekerja maupun oleh perusahaan. Hal ini dalam rangka upaya perbaikan pengelolaan kesejahteraan buruh (antaranews.com, 16/04/2012). Dan memang, perayaan May Day tahun ini, terasa berbeda dengan perayaan-perayaan sebelumnya (republikaonline, 30/04/2012). Terbukti, sehari menjelang May Day, Presiden SBY memberikan empat kado khusus kepada para buruh dalam negeri. Muhaimin di kantor Presiden RI Jakarta, Senin (30/04/2012) sore mengatakan, pertama adalah penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp 1,3 juta menjadi Rp 2 juta. Kedua, pengadaan rumah sakit buruh; yang dalam waktu dekat akan dibangun di tiga titik di Bekasi, Tangerang dan mungkin Surabaya. Ketiga, transportasi murah untuk buruh di kawasan industri; yang dalam waktu dekat segera dibeli 200 bus sebagai permulaan, antara lain untuk di Batam, Tangerang, Bekasi dan Jatim. Keempat adalah rumah murah bagi para buruh dengan bantuan uang muka dari pemerintah (tribunnews.com, 30/04/2012). Untuk rumah buruh murah tersebut, nantinya Kemenakerstrans akan bekerja sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat. Muhaimin mengatakan bahwa pembiayaan dari program-program itu akan menggunakan anggaran pemerintah pusat (APBN), anggaran pemerintah daerah (APBD) dan dana tanggung jawab sosial badan usaha milik negara (BUMN) (republikaonline, 30/04/2012). Dengan demikian, yang terpenting adalah semua peraturan menteri (Permen) terkait buruh harus disempurnakan secepat mungkin, dan sistem outsourcing diawasi sehingga buruh tidak dirugikan (tribunnews.com, 30/04/2012).

Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meningkatkan kesejahteraan buruh dan membangun rumah sakit untuk pekerja disambut secara positif. Bahkan, sebagai bagian dari tripartit, pemerintah bisa menyelaraskan kebijakan-kebijakan mengenai perburuhan. Karena selama ini, masalah yang sering terjadi antara buruh dan dunia usaha adalah masalah kesejahteraan, tenaga kontrak dan jaminan kesehatan (antaranews.com, 01/05/2012).



Kalangan Para Penganggur

Ironisnya, di balik sejumlah perhatian Presiden SBY tersebut, ada masalah lain yang seharusnya juga diperhatikan. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai angka pengangguran di Indonesia sudah cukup tinggi akibat kesenjangan antara pertumbuhan angkatan kerja dan lapangan pekerjaan. Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto, mengatakan, “Akibat ketimpangan tersebut diperkirakan setiap tahunnya pengangguran meningkat sebesar 1,3 juta orang. Saat ini, kendala utama pertumbuhan bagi pelaku usaha adalah krisis ekonomi yang sedang melanda Amerika Serikat dan Eropa.” Menurut Suryo, pengangguran di Indonesia mencapai 9 juta orang. Hal ini terjadi karena jumlah pertumbuhan angkatan kerja tidak seimbang dengan pertumbuhan lapangan kerja khususnya di sektor formal.

Suryo pun memaparkan, “Pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun mencapai 2,91 juta orang, sedangkan lapangan pekerjaan hanya 1,6 juta orang. Sehingga ada gap sebesar 1,3 juta orang yang kemungkinan menjadi pengangguran terbuka di Indonesia.” Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa bukan hanya soal kesenjangan, penggangguran di Indonesia juga terjadi akibat tidak bertemunya kualitas pencari kerja dengan kebutuhan yang diinginkan perusahaan. Berdasarkan tingkat pendidikannya, dari 8,14 juta pengangguran terbuka, 20% berpendidikan SD, 22,60% tamatan SMP, 40,07% tamatan SLTA, 4% tamatan diploma, sedangkan 5,7% tamatan sarjana. Suryo menegaskan, para pengangguran yang mencapai 9 juta orang itu jika tidak mendapat kesempatan kerja, jangan harap upaya untuk memakmurkan rakyat akan tercapai. Dan untuk penambahan tenaga kerja dalam jumlah besar di Indonesia, membutuhkan pertumbuhan ekonomi hingga 8% per tahun (antaranews.com, 01/05/2012).



Balada “Buruh Pintar”

Sangat miris, data pengangguran menunjukkan bahwa seolah tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan jumlah orang di setiap segmennya. Apapun tingkat pendidikannya, angka pengangguran tetap ada. Yang lebih menyedihkan lagi adalah para sarjana. Gelarnya yang terlabel sebagai lulusan perguruan tinggi tidak menjamin bahwa mereka pasti mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Padahal, mereka adalah kaum intelektual, yang memiliki kapasitas berpikir yang lebih tinggi  dibandingkan yang lulusan SD, SMP atau SLTA. Kapasitas berpikir inilah yang selayaknya diberi perhatian lebih oleh negara agar dapat berdaya guna bagi masyarakat, yaitu dengan cara menumbuhkan lapangan kerja di dalam negeri. Jika negara cuek saja pada kaum intelektual ini, terlebih dengan proses pendidikan mereka yang sebelumnya sudah pragmatis, maka tak perlu kaget saat mereka lebih senang bekerja di luar negeri meski dengan titel sarkastik sebagai “buruh pintar”.

Masalahnya, penyelenggaraan pendidikan di dalam negeri terutama yang di-manage oleh pemerintah saat ini dapat dikatakan miskin visi. Faktanya, visi yang dicanangkan hanya bersifat normatif. Hal ini karena dunia pendidikan menggunakan standar luaran dan outcome yang tidak relevan dengan potensi, kultur dan budaya bangsa. Disamping itu, target capaian mencerdaskan kehidupan bangsa tidak jelas kualifikasinya. Kriteria bangsa yang cerdas tidak pernah dielaborasi dengan jelas. Akibatnya, setiap penyelenggara proses pendidikan memaknai bangsa yang cerdas menurut standar yang tidak baku. Sebagai contoh visi di salah satu perguruan tinggi (PT) disebutkan menghasilkan lulusan yang unggul, inovatif, mandiri dan mampu bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional sesuai disiplin ilmu yang ditekuninya. Instrumen untuk mengukur keberhasilan PT dalam mencetak para intelektual atau para pakar di bidang ilmunya pun bersifat kuantitatif dan sangat pragmatis. Beberapa indikatornya antara lain jumlah publikasi internasional, level Scopus, jumlah penelitian dan kerjasama internasional, serta jumlah doktor dan profesor (Makalah Catatan Intelektual Muslimah untuk Bangsa 2011: Dr. Isnaeni, Unair).

Sementara dalam skala mikro, indikator kinerja suatu proses pembelajaran dianggap memenuhi standar mutu bila mampu menghasilkan lulusan dengan indeks prestasi tinggi (maksimal 4), waiting time for getting first job nol bulan bahkan bila perlu diinden dengan gaji pertama tinggi. Ini semua merupakan produk sistem pendidikan yang pragmatis. Hal ini dinyatakan oleh Syaukah (2011) sebagai faktor pendorong esensial bagi rusaknya kualitas generasi. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila lahirnya para intelektual berpacu dengan rusaknya kehidupan dan tumbuh kembangnya berbagai permasalahan di masyarakat yang tidak kunjung terselesaikan (Makalah Catatan Intelektual Muslimah untuk Bangsa 2011: Dr. Isnaeni, Unair).

Bukan dongeng, program yang digelar oleh pemerintah melalui comprehensive partnership, misalnya, tidak dilakukan melalui studi kelayakan yang memadai. Bahkan tanpa memperhatikan proyeksi  ke depan terkait output dan outcome secara nasional. Program internasionalisasi tidak diproyeksikan untuk menyelesaikan problematika bangsa. Intelektual dicetak tanpa proses yang benar dan berbasis pada tujuan yang hakiki. Selama berproses dalam pembelajaran, baik formal maupun nonformal, mereka tidak disentuhkan dengan tujuan pendidikan yang tersirat dalam visi pendidikan. Jika demikian, sangatlah tidak mungkin jika kita harapkan mereka mampu menyelesaikan problematika bangsa (Makalah Catatan Intelektual Muslimah untuk Bangsa 2011: Dr. Isnaeni, Unair).

Jadi, sangat mungkin tidak hanya pekerja sektor informal yang lebih senang mencari kerja ke luar negeri. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Jeni Ruslan. Menurut Jeni, para peneliti Indonesia lebih banyak beralih ke luar negeri daripada menjadi peneliti di negaranya sendiri. Dari puluhan ahli peneliti di Indonesia yang sebelumnya menjadi peneliti di Indonesia, kini setengahnya bekerja di beberapa pusat penelitian di luar negeri. Mereka mencari yang terbaik karena ditawari gaji yang mahal. Gaji para peneliti di Indonesia kecil dan minim, bila jabatannya segitu gajinya tetap segitu. Akibatnya banyak ahli peneliti Indonesia berlomba-lomba menjadi peneliti di luar negeri, dan akhirnya kita kehilangan ahli-ahli terbaik Indonesia (kampungtki.com, 01/05/2012). Harus diakui, akibat dari pendidikan pragmatis itulah yang menjadikan mereka hanya berpikir perut sendiri, tidak peduli dengan problematika bangsa.

Jeni menilai produk ciptaan para peneliti Indonesia kurang dihargai oleh pemerintah daripada oleh luar negeri. Padahal mereka telah bekerja dengan maksimal dan dengan baik untuk menciptakan produk alat tersebut. Memang setidaknya, harus ada upaya pemerintah memberikan ruang gerak bagi peneliti untuk lebih mempromosikan hasil penelitian. Para peneliti pastinya sangat bangga jika hasil penelitiannya digunakan masyarakat luas, tapi nyatanya produk para peneliti banyak disampingkan. Jeni juga menilai dana penelitian dari pemerintah kurang dan fasilitas laboratorium yang kurang mendukung penelitian. “Seharusnya produk para peneliti kita harus dihargai, contohnya produk dari Digantara (PT DI) yang berhasil menciptakan pesawat terbang,” kata Jeni. Ia mengatakan, dengan kendala-kendala tersebut, peringkat Indonesia dari hasil penelitian masih jauh di bawah dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan India (kampungtki.com, 01/05/2012).



Khatimah; Berawal dari Character Building

Proses untuk membangun bangsa yang peduli terhadap permasalahan umat sangat erat kaitannya dengan upaya mencetak generasi muda sebagai agent of change. Yaitu mereka yang sadar akan tanggung jawabnya untuk mengusung konsep perubahan dari masyarakat jahiliyah yang professional menuju masyarakat rahmatan lil’alamin. Bukan alasan lagi, hal ini adalah tuntutan dasar dalam mewujudkan bangsa yang besar, bukan bangsa yang pragmatis. Sebagai bekal untuk berkompetisi dengan bangsa lain, generasi suatu negara harus “menguasai” ilmu pengetahuan dan teknologi serta ilmu lain terkait socio-culture secara proporsional dengan tuntutan global. Inilah yang dijadikan satu-satunya standar mutu pendidikan yang mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena pemerintah tidak memperhitungkan modal aqidah fikriyah, proses berfikir berbasis pada kesadaran akan integritas Sang Khaliq, serta sebagai manusia yang harus taat pada semua ketentuan-Nya.

Ada satu aspek penting yang hilang dan menjadi Pekerjaan Rumah kita semua bahwa prosesi pembentukan karakter (character building) selama ini tidak dijadikan unsur yang seharusnya berimbang dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan. Pemahaman akan keseimbangan antara syakhsiyah (kepribadian), tsaqofah dan ilmu kehidupan tidak dikembangkan secara proporsional, baik melalui pendidikan formal maupun informal mulai dari pra sekolah sampai dengan PT. Metode penanaman dan pengkristalan pemahaman serta kesadaran anak didik terhadap pentingnya aqidah yang mendasari seluruh aktivitasnya dalam berproses meningkatkan ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan, saat ini makin langka. Pergeseran paradigma dalam sebuah visi “pencetakan” generasi yang cerdas dan tangguh serta unggul, telah terjadi secara nasional bahkan internasional. Hal ini karena semua ingin pragmatis dan instan, tanpa melalui proses yang benar dan syar’i.

Lantas, siapakah yang berkompeten menyiapkan dan membangun generasi yang cerdas dan berpendidikan? Jawabannya adalah tripartite agent dengan output yang memegang teguh aqidah dan syariat, yaitu keluarga, masyarakat dan lingkungan, serta pemerintah atau negara. Output pendidikan melalu jalur keluarga akan optimal apabila disiapkan mulai orang tua memasuki masa pra-nikah, setelah masa pernikahan dan saat bayi masih di dalam kandungan, serta berlanjut hingga ke jenjang pernikahan si anak. Tahap ini menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Kontribusi masyarakat dalam menyiapkan generasi cerdas diwujudkan dalam bentuk partisipasi menciptakan lingkungan yang kondusif dan suportif. Negara melalui kebijakan pemerintah harus mampu memfasilitasi proses pendidikan dan pembelajaran untuk menghasilkan produk yang pada jenjang tertinggi dikemas sebagai output dan outcome Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dan jelas, misi ketiga agent tersebut hanya dapat terwujud jika diimplementasikan dalam sistem yang menegakkan syariat Islam. Jaminan terhadap solusi problematika bangsa insya Allah dapat terlaksana dengan senjata tegaknya syariat Islam dalam bingkai Khilafah, aamiin.

Wallaahu a’lam bish showab [].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar