Kamis, 29 Maret 2012

Film yang Mendidik

[Rina Yunita, S.P.]

Belum lama ini tepatnya tanggal 1 Maret 2012 diadakan launching perdana film yang berjudul “Negeri 5 Menara”. Film yang diangkat dari sebuah novel karya Ahmad Fuadi ini banyak disukai oleh para masyarakat khususnya para pembaca novel karena terkenal dengan mantra saktinya man jadda wa jadaa yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh dia akan sukses. Secara singkat film negeri 5 menara ini mengisahkan tentang 6 pemuda belia yang berasal dari daerah yang berbeda. Mereka bertemu di Pesantren Pondok Madani untuk menuntut ilmu dan berusaha menggapai cita-cita mereka. Film ini berpesan kepada kita agar jangan pernah meremehkan impian atau cita-cita. Setinggi apapun impian itu, Allah akan mendengarnya. 

Keberadaan film-film Indonesia yang sarat akan makna dan pendidikan seperti film negeri 5 menara atau film lainnya seperti laskar pelangi, alangkah lucunya negeri ini, dan emak ingin naik haji masih jarang diproduksi. Kebanyakan film-film yang beredar di bioskop-bioskop lokal di Indonesia tidak lepas dari tema cinta remaja, pergaulan remaja yang bebas dan bumbu-bumbunya yang berbau seks. Ada pula film yang mengangkat tema agama, misalnya saja sang pencerah yang mengangkat sejarah berdirinya suatu organisasi islam, perempuan berkalung surban hingga Film Tanda Tanya yang menuai kontroversi tidak hanya di kalangan ulama, tetapi juga masyarakat lantaran begitu kental dengan aroma pluralisme. Kontroversi ini kiranya dijadikan strategi promosi tersendiri untuk film tersebut. Bahkan lebih parah lagi, perfilman nasional saat ini juga diramaikan dengan berjamurnya film horor bernuansa seks, semisal Tali Pocong Perawan, Suster Keramas, Pocong Ngesot, Hantu Puncak Datang Bulan, Darah Janda  Kolong Wewe dan yang sejenisnya. Produser film ini berusaha menyuguhkan adegan panas kepada masyarakat dan memperlihatkan eksploitasi tubuh perempuan.

 Dari sederet film-film di atas, kita bisa melihat bahwa film-film yang bermutu dan memberikan pelajaran yang baik untuk kehidupan masih sedikit, kebanyakan adalah film-film yang memberikan contoh yang tidak baik bagi masyarakat terutama remaja. Kebebasan, gaya hidup hedonis dan serba boleh, pornoaksi dan pornografi menjadi sesuatu hal yang diselipkan dalam rangkaian ceritanya. Selain gaya hidup yang liberal, produser film mencoba memasukkan ide-ide pluralism, atheism, dan paham-paham yang notabenenya jauh dari islam. Pemerintah yang dalam hal ini memiliki wewenang untuk melakukan penyeleksian atau sensor terhadap film-film yang hendak di putar selama ini terkesan tidak tegas dalam menjalankan tugasnya sehingga banyak film tidak layak putar lolos dan lulus sensor.
Wajar saja bila masyarakat terutama remaja yang sangat menggemari film-film semacam ini akhirnya mencontoh dan mengikuti apa yang coba disampaikan oleh film-film tersebut tanpa memandang apakah sesuai dengan islam ataukah tidak. Dampaknya yang lebih nyata adalah lahirnya masyarakat dan generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap serba bebas, bergaya hidup hedonis, dan membiarkan kemaksiatan terjadi di sekitar mereka tanpa mereka peduli untuk merubahnya serta menjauhkan masyarakat dari islam. Mereka menyandarkan setiap perbuatan yang dilakukan kepada apa kata film bukan apa kata islam. Padahal, seorang muslim sudah selayaknya menyandarkan segala perbuatannya kepada islam. Karena islam bukanlah agama ritual belaka, namun juga sistem kehidupan yang memiliki aturan kehidupan.
Islam sebagai sebuah pandangan hidup (ideologi) memiliki system aturan yang khas dan unik. Bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual saja, namun lebih dari itu mengatur masalah poleksosbudhankam tidak terkecuali masalah perfilman. Islam memandang bahwa hukum seni peran/drama adalah boleh namun dengan syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Menurut Syeikh Ziyad Ghazzal dalam kitabnya Masyru’Qanun Wasa’il Al I’lam (hal 16) menyebutkan ada 5 hal yang harus dipenuhi, yaitu tak ada ikhtilat (campur baur) antara lelaki dan perempuan, tak ada lelaki yang menyerupai perempuan atau sebaliknya, tidak memerankan malaikat, para nabi, para khulafaur rasyidin, istri-istri Rasulullah dan Maryam ibunda nabi Isa, tidak membuat/menggambar makhluk bernyawa, dan yang terakhir adalah tidak menggambarkan kejadian ghaib seperti Hari Kiamat, surga, neraka, dan alam kubur. Dari sisi konten film pun tidak boleh melanggar syariat islam dan haruslah bersifat mendidik.
Khalifah sebagai Kepala Negara akan senantiasa mendorong kaum muslim untuk menghasilkan karya yang berkualitas, baik dari segi performance juga konten cerita. Khalifah akan senantiasa mengawasi produksi film-film dan peredarannya di masyarakat. Khalifah akan mencegah terjadinya peredaran film-film yang bisa merusak akidah, pemikiran dan akhlak kaum muslimin serta memberi sanksi yang tegas kepada pihak yang sengaja memproduksi film dengan tujuan merusak aqidah, pemikiran, dan akhlak kaum muslimin. Wallahu a’lam bishshowwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar