Minggu, 25 Maret 2012

Memuliakan Generasi Permata Hati

[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]

Anak adalah permata hati. Maka sudah pasti jika kehadirannya merupakan anugerah terindah yang pernah dimiliki oleh orang tua. Hingga Allah Swt berfirman secara khusus untuk menjaga anak-anak kita, yaitu: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan Memberi Rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (TQS Al-Israa [17]: 31). Demikian pula firman Allah Swt yang telah mengabadikan kisah Luqman dalam Al-Qur’an: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ ” (TQS Luqman [31]: 13).
Kedua ayat di atas tentu dapat menjadi renungan mendalam. Karena seiring perkembangan zaman, fenomena dunia anak telah diakui jauh dari makna firman Allah Swt tersebut. Bukan sulap bukan sihir, satu di antara segudang fakta masa kini sebagai buah lingkungan sekular-kapitalistik adalah kasus AMN (13 tahun), siswa sekolah dasar yang menusuk temannya sendiri, SM (13 tahun) di Cinere, Depok, pada 17 Februari 2012 lalu (tempo.co, 20/02). Mereka berdua adalah siswa kelas VI SD Negeri I Cinere. Saat ini, AMN telah ditahan di tahanan anak, Polsek Beji, Depok (detiknews, 21/02). Peristiwa ini terjadi hanya karena sehari sebelum penusukan terhadap SM (Kamis, 16 Februari 2012) AMN mendapat ancaman dari SM bahwa dirinya akan dilaporkan ke polisi jika ponsel SM yang dia curi tidak dikembalikan (tempo.co, 18/02).
Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Kak Seto pun angkat bicara, yaitu setelah menemui AMN di tahanan. Menurut Kak Seto,  AMN membuktikan jika tindakan penikaman terhadap SM adalah hasil dari kekerasan yang dapatkan dia sebelumnya. Seperti mengalami kekerasan dari keluarga, yakni ditendang, ditampar dan pukuli berulang kali. Tidak mendapatkan uang jajan dan yang paling menakutkan adalah perceraian kedua orang tua. Jadi untuk mendapatkan perhatian dari keluarga anak itu bertingkah nakal. Kak Seto berharap keluarga pelaku mau mendatangi korban untuk meminta maaf. Ini untuk kebaikan semua. AMN juga belum bisa dipidanakan karena masih dibawah umur. Kak Seto melanjutkan, AMN tidak akan dikeluarkan dari sekolah. Sebab, dalam waktu dekat seluruh pelajar akan menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN). Pihaknya juga sudah meminta Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok dan pihak sekolah untuk memberikan hak kepada tersangka dan korban menyelesaikan ujian. AMN pun tidak bisa dikeluarkan dari sekolah, karena itu tidak ada dalam aturan (detiknews, 21/02).
Sementara itu, Kapolresta Depok, Kombes Pol Mulyadi Kaharni menuturkan, akan tetap melanjutkan proses hukum kepada AMN. Pihaknya juga menjerat AMN dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, pasal 82 Tahun 2002 dengan ancaman 12 tahun penjara. Karena masih dibawah umur, AMN hanya akan menjalani separuhnya. Sejak pemeriksaan awal, siswa kelas VI SD itu telah menyesali segala perbuatan yang dilakukan kepada rekannya tersebut. Upaya selanjutnya adalah melakukan tes psikologi kepada AMN dengan bantuan psikolog dari Universitas Indonesia (UI) sebagai langkah untuk penyelidikan lebih lanjut faktor penyebab kejadian naas tersebut. Masa depan AMN juga harus tetap diperhatikan, sehingga harus ada jalan keluar (detiknews, 21/02).

Tak hanya Kak Seto, kasus ini pun telah mampir dan menjadi perhatian di meja Panja di Komisi III DPR yang sedang membuat RUU Peradilan Pidana Anak. Menurut salah satu anggota Komisi III DPR dari Gerindra, Martin Hutabarat, RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang sedang dibahas Komisi III saat ini mengedepankan diversi sebagai usaha melindungi seorang anak yang terlibat sebagai pelaku dalam suatu tindak pidana. Diversi adalah usaha penyelesaian di luar proses peradilan yang memberikan wewenang kepada penyidik untuk mencari penyelesaian lain dengan persetujuan korban atau keluarganya. Diharapkan dengan mengedepankan usaha-usaha seperti itu akan tercapai keadilan restoratif yang memuaskan semua pihak. Di RUU itu, lanjut Martin, diperlukan peran penyidik memahami UU dan peraturan tentang anak itu sehingga tidak terulang lagi kasus tentang 2 kakak beradik FA (14) dan BR (17) di Sijunjung, Sumatera Barat, yang dilaporkan tewas karena bunuh diri setelah diduga mendapat penganiayaan petugas. FA ditahan seminggu di sel polisi karena dituduh hendak mengambil uang dari kotak amal sebuah masjid. Sejumlah LSM dan orangtua pemerhati anak diundang untuk bertemu dengan Panja RUU Peradilan Pidana anak untuk membahas RUU ini di DPR. Dipastikan kasus penusukan SM oleh AMN, tabrak lari HRR di Makassar dan meninggalnya kakak beradik FR dan BR yang dilaporkan bunuh diri di Sijunjung akan menjadi pembahasan yang memperkaya RUU ini (detiknews, 21/02).
Berawal dari hakikatnya, setiap manusia, tidak terkecuali anak, membutuhkan sahabat dalam hidupnya. Sahabat bisa membuat anak menjadi lebih terbuka karena posisi mereka sejajar, bisa saling mengisi sekalipun sering diselingi pertengkaran. Bersahabat dengan anak, merupakan salah satu bentuk pola pengasuhan yang dapat diterapkan orang tua dalam pendidikan anak. Sebagai sahabat, semestinya orang tua akan menjadi teman yang menyenangkan bagi anak, membantu menyelesaikan masalah, mengingatkan jika anak berbuat salah atau hanya sekedar pihak pendengar bagi anak. Bersahabat dengan anak, akan membuat orang tua lebih mudah memahami sifat dan karakter anak, kekurangan dan kelebihannya serta kebiasaan baik dan buruk anak, sehingga orang tua dapat mengoptimalkan potensi anak sekaligus memperbaiki kekurangan anak (Al-Waie Februari 2012).
Berkaca dari kisah AMN di atas, menunjukkan bahwa generasi yang akrab dengan konflik dan kekerasan di lingkungan tempat ia hidup, kondisinya sangat labil dan mudah goncang. Perilaku AMN adalah wujud respon reaktif dan emosional terhadap masalah yang menimpanya. Sudah semestinya orang tua merupakan pihak pertama yang didatangi jika anak mengalami masalah. Sesibuk apapun orang tua, harus tetap memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak. Komunikasi ini akan menjadi jalan untuk menumbuhkan pengertian dan kepercayaan anak kepada orang tua. Akan tetapi, komunikasi yang baik tidak pernah diperoleh AMN dari keluarganya.
Dilema hukuman pada anak sebenarnya bermuara pada kesalahan orientasi dalam penetapan ukuran anak dan dewasa.  Sanksi pemenjaraan bagi anak pelaku kriminal seperti AMN adalah ekses, akibat yang muncul dari sebab.  Islam menggariskan bahwa anak yang mencapai usia baligh secara bersamaan harus pula sampai pada tingkatan ‘aqil’, berakal, yaitu matang dalam pemikiran.  Fakta saat ini menunjukkan sebaliknya, anak-anak mencapai masa baligh, tapi penalarannya masih jauh dari matang.  Fakta ini muncul dari penetapan definisi anak ala Barat, yang lahir dari suatu yang mereka klaim sebagai ‘hasil penelitian psikologi ‘.
Barat mendefinisikan anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.  Ini karena mereka berangkat dari asumsi, bahwa anak usia 12-18 tahun, masih berada dalam masa transisi dan turbulensi, yang berakibat pada labilnya emosi dan belum matangnya penalaran anak.  Konsekuensinya, anak usia ini belum dapat dihadapkan di muka hukum.  Definisi ini kemudian dibakukan sebagai standar internasional. Dalam kondisi seperti yang terjadi saat ini, menghukum anak-anak pelaku kejahatan sebagaimana menghukum orang dewasa memang terkesan tidak adil.  Ini karena kejahatan anak bukan semata-mata kesalahan anak, tetapi juga pengaruh sekian banyak faktor perusak yang ada di keluarga, masyarakat, dan negara.  Terlebih lagi, ini adalah kesalahan ketika menjadikan masa baligh tidak bersamaan dengan ‘aqil’.
Dalam Islam terdapat penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah). Pendefinisian anak dan sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam hukum Islam.  Ini karena ketika anak sampai di usia baligh, maka ia terbebani dengan taklif, yang membuat amalnya diperhitungkan sebagai pahala dan dosa.  Begitu pula anak yang sudah baligh dianggap layak untuk mampu mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Baligh” diambil dari  bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti “sampai“, maksudnya “telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan“. Menurut Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo dalam bukunya Fiqh Anak, secara etimologis, al-bulugh ialah al-wushul al-idrak (sampai dan mengenal/memahami).  Sedangkan menurut makna  terminologis, al bulugh adalah habisnya masa kanak-kanak. Para ulama berbeda pendapat mengenai tanda-tanda seorang anak  telah mencapai usia baligh.  Menurut Huzaimah T. Yanggo, jumhur ulama berpendapat, tanda-tanda kedewasaan yang terdapat pada masing-masing laki-laki dan perempuan : al-ihtilam atau bermimpi berhubungan suami-isteri.  Disamping itu, ada juga tanda khusus bagi anak-anak wanita, yaitu haid atau menstruasi dan kehamilan.  Dalil bahwa tanda-tanda baligh adalah dengan bermimpi adalah firman Allah: Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh (al hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin“  (TQS.An-Nur[24]:59).
Umumnya anak laki-laki mengalami baligh pada usia 12-15 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia 9-12 tahun. Baligh, tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada kewajiban memenuhi seruan Allah.  Mulai saat itu, seorang anak dikatakan telah dewasa.  Dia berkewajiban terikat dengan hukum syara.  Menurut Huzaimah, dia telah memiliki kelayakan mendapat tugas ( ahliyat al-wujub), dan kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara sempurna (ahliyat al-‘ada).  Jika dia mentaati aturan, maka dia akan memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar aturan syariat, maka akan kena sanksi.  Semua yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan sendiri.  Tidak bisa dilimpahkan atau digantikan oleh orang lain. Begitupun di hadapan hukum pidana, anak ketika mencapai usia baligh dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannya. Dalam Islam, hal itu adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai baligh, ia sekaligus juga mencapai “aqil”, sehingga layak untuk dihadapkan pada konsekuensi hukum.  Yang saat ini menjadi masalah tentu adalah bagaimana agar anak saat baligh ia juga mencapai tahap “aqil”.
Pendidikan anak tidak dapat semata-mata dilakukan oleh keluarga.  Ada banyak tantangan, yang keluarga tidak mampu untuk mengatasinya, seperti lingkungan pergaulan yang buruk, maraknya peredaran miras dan narkoba, derasnya tayangan porno, merebaknya pemikiran yang sesat-menyesatkan. Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kejahatan anak ini secara sempurna.  Ini karena Islam telah menjadikan berbagai hukum yang menjauhkan anak dari tindak kriminal dan mewajibkan negara untuk menerapkan hukum tersebut (www.hizbut-tahrir.or.id).
Keyakinan seorang hamba akan hubungannya dengan Allah Swt adalah mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya. Ketaqwaan ini sendiri merupakan pilar pertama bagi tegaknya suatu negara. Dimana dua pilar yang lain adalah kontrol dari masyarakat dan negara sebagai penegak aturan. Masyarakat sebagai pengontrol harus memiliki perasaan, pemikiran, peraturan yang sama, yaitu atas landasan Islam agar segala bentuk perilaku individu dalam kehidupannya itu senantiasa terjaga dengan benar. Masyarakat pun akan kondusif dengan suasana ‘amar ma’ruf nahyi mungkar. Selanjutnya, negara sebagai penegak aturan adalah negara yang menegakkan aturan Allah dalam pemeliharaan urusan rakyatnya, baik dari sisi kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) maupun naluri (ghorizah). Negara adalah pengambil kebijakan yang berlandaskan syariat Islam dalam bingkai Khilafah, sehingga rakyat senantiasa terkondisikan untuk menyempurnakan ketaatannya kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar