[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]
“Habis
Gelap Terbitlah Terang”, Benarkah?
Tinta sejarah belum
lagi kering menulis namanya,
namun kaum perempuan di negerinya
sudah terbata-bata membaca
cita-citanya. Ya, RA Kartini adalah seorang
tokoh suku Jawa yang juga dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan
Indonesia. RA Kartini dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 (tokopupukonline, 10/04/2012).
Presiden Soekarno
mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, tanggal
02 Mei 1964, yang menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional
sekaligus menetapkan hari lahirnya, 21 April, diperingati setiap tahun sebagai
hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini (tokopupukonline, 10/04/2012).
Kartini sudah identik dengan apa yang tersirat dalam kumpulan suratnya; “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT”, yang terlanjur diartikan oleh
Armijn Pane sebagai, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sedangkan Prof. Dr. Haryati Soebadio, Dirjen
Kebudayaan Depdikbud, yang
notabene cucu RA Kartini mengartikannya sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya”, yang jika dilihat dalam Al Qur’an akan tertulis sebagai, “Minadzhdzhulumati ilaan Nuur”. Ini merupakan inti ajaran
Islam yg membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya (iman), sebagaimana terjemahan ayat dalam QS Al-Baqarah ayat
275 (Biografi Tokoh Muslim: RA Kartini,
20/04/2012).
Sayang itu semua sudah mengalami banyak
deviasi sejak diluncurkan dahulu, setelah berlalu tiga generasi konsep Kartini
tentang emansipasi semakin hari semakin hari jauh meninggalkan makna
pencetusnya. Sekarang dgn mengatasnamakan Kartini para feminis justru berjalan
dibawah bayang-bayang alam pemikiran Barat, suatu hal yang sejatinya ditentang oleh Kartini (Biografi Tokoh
Muslim: RA Kartini, 20/04/2012).
Pemikiran
RA Kartini
Kartini ada dalam proses kegelapan menuju
cahaya, tapi cahaya itu belum sempurna menyinari karena terhalang oleh usaha westernisasi.
Kartini yang
dikungkung oleh adat dan dituntun
oleh Barat telah mencoba meretas jalan menuju ke tempat yang terang. Hal ini tercetus dalam suratnya kepada sahabat penanya
yang seorang Belanda, Stella (tertanggal 18 Agustus 1899):
“Sesungguhnya
adat sopan santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak, bila hendak
berlalu dihadapanku. Kalau adikku
duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah ia turun duduk di tanah
dengan menundukkan kepala sampai aku tak terlihat lagi. Mereka hanya boleh
menegurku dengan bahasa kromo inggil. Tiap
kalimat haruslah diakhiri dgn ‘sembah’. Berdiri bulu kuduk, bila
kita berada dalam lingkungan keluarga
Bumiputera yang
ningrat. Bercakap-cakap dengan orang lain yang lebih tinggi derajatnya
haruslah perlahan-lahan, jalannya langkah-langkah pendek-pendek, gerakannya
lambat-lambat seperti siput. Bila berjalan cepat
dicaci orang, disebut sebagai kuda liar. Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Segala peraturan itu buatan
manusia dan menyiksa diriku saja. Kamu tidak dapat membayangkan
bagaimana rumitnya etiket keningratan di dunia Jawa itu. Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan
Kardinah) tidak ada tatacara itu lagi.
Perasaan kami sendirilah yang
akan menunjukkan atau menentukan sampai batas mana cara Liberal itu boleh
dijalankan.
Bagi
saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan pikiran (fikroh), dan
keningratan budi (akhlaq). Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh
menurut persepsi saya daripada melihat org membanggakan asal keturunannya.
Apakah berarti sudah beramal sholeh orang yang bergelar macam Graaf atau
Baron? Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yg picik ini.”
Ironisnya, tidak
banyak yang tahu bahwa pemikiran Kartini yang cerdas itu telah dimanfaatkan
oleh sejumlah pihak dari bangsa kolonial atas nama sejumlah kepentingan untuk
menghancurkan kaum muslimin di Jawa. Sebutlah diantaranya Mr.
J.H Abendanon dan Stella.
Mr. J.H Abendanon datang
ke Hindia Belanda tahun
1900. Ia diutus oleh pemerintah Belanda
untuk melaksanakan politik Ethis, sebagai Direktur Departemen
Pendidikan, Agama dan Kerajinan. Abendanon
adalah teman sehaluan politik Snouck Hurgronje. Snouck sendiri memiliki konsepsi politik asosiasi. Yaitu tentang cara paling ampuh untuk memasukkan
peradaban Barat
dalam masyarakat pribumi untuk membendung dan mengatasi
Islam di Hindia Belanda. Yang mana politik
ini tidak mungkin mempengaruhi
rakyat sebelum kaum ningratnya dibaratkan akan semakin mudah membaratkan rakyat
Bumiputera. Untuk itu maka langkah pertama yang
harus diambil adalah mencari
orang-orang ningrat yang
Islamnya tidak teguh lalu dibaratkan. Dan
pilihan pertama adalah Kartini.
Selanjutnya, Stella
(lengkapnya Estalle Zeehandelaar). Sewaktu dalam masa pingitan (+ 4 tahun) Kartini banyak
membaca untuk menghabiskan waktunya. Tetapi Kartini tidak puas mengikuti
perkembangan pergerakan wanita di Eropa hanya melalui majalah dan buku-buku. Karena ingin mengetahui keadaan
sesungguhnya, maka
Kartini memasang iklan di sebuah
majalah negeri Belanda, yaitu Hollandsche
Lelie. Dengan segera iklan itu disambut
oleh Stella, perempuan Yahudi
anggota pergerakan Feminis di Belanda (Biografi Tokoh Muslim: RA Kartini,
20/04/2012).
RA
Kartini dan Islam
Jika banyak yang
telah mengungkap dan mengetahui bahwa Kartini memiliki sejumlah sahabat pena
berkebangsaan Belanda, maka nyatanya banyak yang belum pernah mengetahui
pertemuan Kartini dengan Kyai Sholeh bin Umar dari
Darat, Semarang (lebih
dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat).
Adalah Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, yang menuliskan kisah
ini. Takdir mempertemukan Kartini dengan
Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati
Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga paman Kartini.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah
tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini
seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya
menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena
selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna
ayat-ayat itu. Setelah
pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh
Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti
anak kecil.
Berikut dialog Kartini dengan Kyai Sholeh. “Kyai, perkenankan saya
bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog. Kyai Sholeh tertegun, tapi
tak lama. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh balik
bertanya. “Kyai,
selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah,
surat pertama dan induk Al-Quran.
Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini. Kyai Sholeh tertegun. Beliau seolah tak punya kata untuk
menyela. Kartini melanjutkan, “Bukan buatan rasa syukur
hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang
keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran
ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan
sejahtera bagi manusia?” Kyai
Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali ‘subhanallah’. Kartini telah menggugah
kesadaran Kyai Sholeh untuk menerjemahkan
Alquran ke dalam Bahasa Jawa, hingga 13 juz
yang kemudian diberikan sebagai hadiah pernikahan Kartini. Kartini menyebutnya
sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia. Kyai Sholeh membawa Kartini
ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca:
Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny. Abendanon:
“Sudah lewat masanya, semula
kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan
kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu
menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal
yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami
sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.” Juga dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli
1902, Kartini menulis, “Saya bertekad dan berupaya
memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga
kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai
agama disukai.” Lalu
dalam surat ke Ny. Abendanon,
bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba
Allah.” (republikaonline, 21/04/2012).
Potret
“Kartini” Masa Kini
Berontaknya pemikiran
Kartini dalam menyikapi penindasan kolonialisme yang terjadi di hadapannya
sejak akhir abad ke-19, membuktikan bahwa ia seorang perempuan pemikir. Ia
seorang perempuan yang seringkali dikatakan istimewa. Karena pada masanya,
Kartini mampu melakukan proses berpikir dan memikirkan umat seperti ini. Bahkan
ia telah sampai pada kesimpulan dengan menyatakan bahwa gelar tertinggi bagi
seorang manusia adalah sebagai hamba Allah.
Di masa kini, Kartini
memiliki kongruensi dengan simbol intelektualitas dan emansipasi perempuan.
Memang benar bahwa abad milenium
ini adalah abad modern di mana perempuan berpendidikan
tinggi bukan sesuatu yang langka. Bahkan bukan rahasia lagi jika
kapasitas
berpikir para perempuan telah diperhitungkan dalam peradaban dunia, termasuk Indonesia. Hal ini senada dengan
pernyataan Gubernur
Sulawesi Selatan, Syahrul
Yasin Limpo,
yang menyatakan bahwa tidak ada yang dapat menyangkal bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara sangat
ditentukan pendidikan, karena pendidikan
merupakan
pilar moral dan peradaban
bangsa (antaranews.com, 19/03/2012).
Akan tetapi,
bagaimana kesesuaian fakta saat ini dengan harapan Kartini? Maka, bangsa ini
tidak boleh pura-pura lupa bahwa kehidupan kapitalistik telah merancukan pemikiran
perempuan, bahwa untuk mendapatkan hak-haknya, perempuan harus banyak uang,
cantik dan pintar. Jika mereka ingin setara dengan laki-laki, mereka harus banyak
berkiprah di ranah publik. Terkait dengan kesetaraan
semacam ini, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Any
Rahmawati menyatakan hal yang menarik, “Jangan
pernah merasa tidak setara dengan laki-laki. Jangan pernah merasa demikian.” Wamenkeu juga menegaskan, “Perempuan
harus yakin bahwa mereka lebih tahu dari pria dalam arti atau hal tertentu. Paling tidak, bagaimana
perempuan berbicara, berjalan, menatap, bahasa tubuh. Tetapi itu hanya bisa
diperoleh saat perempuan mempunyai kapasitas, pengetahuan, dan punya data yang
cukup untuk menyampaikan sesuatu hal.” (tribunnews.com, 21/04/2012).
Tidak perlu
dipungkiri, perempuan saat ini telah menjadikan ide-ide kapitalis
sebagai pijakan. Mereka menyatakan bahwa persoalan perempuan akan terselesaikan
dengan membebaskan perempuan berkiprah di mana pun, terutama dalam ranah publik. Dengan
itu suara dan partisipasinya diperhitungkan, baik dalam keluarganya maupun
masyarakat. Standar berpikir ‘modern’ tentang kiprah di ranah publik semacam ini, menjadikan
peran sejati perempuan mudah dikaburkan, disesatkan, dikacaukan bahkan dilenyapkan.
Perempuan tak lagi menjadi istri mulia, ibu tangguh, perempuan pejuang.
Kehidupan perempuan kembali menjadi hina karena sistem yang digunakan bukan
sistem Islam, yang punya cara pandang berbeda 180 derajat dengan cara pandang
Islam terhadap perempuan.
Alih-alih mampu mengangkat nasib
perempuan, gagasan pemberdayaan politik perempuan dalam perspektif demokrasi-kapitalisme ini justru menjadi racun
yang kian mengukuhkan kegagalan menyelesaikan persoalan-persoalan perempuan. Akibatnya, ide-ide kapitalis-sekular
sukses menjerumuskan perempuan ke dalam jurang kejahiliahan dan kegelapan. Kegelapan ini tidak akan
pernah beranjak dari umat secara keseluruhan selama umat Islam mencampakkan
aturan-aturan dari Allah Swt dan
Rasul-Nya. Jika demikian, maka ada di
sebelah mana letak cahaya sebagai hamba Allah seperti cita-cita Kartini?
Khatimah
Secara
imani dan realistik, penyelesaian mendasar dari semua persoalan yang kita
hadapi sekarang ini hanyalah dengan mencampakkan sistem yang rusak dan kembali
ke sistem yang mampu memberi jaminan penyelesaian secara tuntas dan adil, yakni
sistem yang berasal dari Zat Yang Mahasempurna dan Mahaadil. Itulah sistem
Islam yang kemampuannya telah teruji selama berabad-abad membawa umat ini pada
kemuliaan dan martabatnya yang hakiki sebagai khayru ummah. Sistem Islam mampu menjadi
motor peradaban dan membawa rahmat bagi manusia secara keseluruhan. Allah Swt telah mengingatkan kita dalam
firman-Nya: “Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik
daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS al-Maidah [5]: 50).
Dengan demikian, kita
wajib memberikan perhatian yang besar terhadap terlaksananya tugas utama
perempuan sebagai ummun wa robbatul bayt. Sebab, terlaksananya tugas
utama ini sangat menentukan kebahagiaan keluarga dan kualitas generasi yang
dihasilkan. Para
perempuan Muslimah yang berkiprah untuk perubahan dengan tidak menjadikan
penerapan syariah Islam dalam Khilafah sebagai jalan dan target perubahan, maka
mereka akan merasa lelah dan sia-sia karena perubahan hakiki tidak akan pernah terwujud. Hal ini sebagaimana firman
Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.” Kiprah
perempuan Muslimah dalam upaya penegakan Khilafah ini telah disambut oleh Allah
Swt dalam QS Ali ‘Imran [3] ayat 195: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan
amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...” Dengan demikian, umat, khususnya
perempuan, harus dipersiapkan, pada komunitas dan level manapun untuk mendukung
perjuangan penegakan Khilafah. Maka, siapa saja yang meyakini dan
mempunyai kemampuan untuk dalam perjuangan penegakan Khilafah, bersegeralah,
karena segala kemampuan itu akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah
Swt.
Wallaahu a’lam bish showab [].
Makanya perempuan muslimah harus berilmu spy tdk bisa dibohongi, tmsk oleh kelompok2 yg 'katanya' memperjuangkan hak perempuan pdhal ide2nya saja absurd dan semakin menyengsarakan perempuan. Ilmu yg paling penting adl ilmu ttg hidup.
BalasHapusperempuan dalam Islam adalah aset peradaban_bukan komoditas kehidupan sebagaimana ideologi kapitalisme memandang posisi dan potensi perempuan_
BalasHapus