Sabtu, 14 April 2012

Perempuan Terpelajar Abad 21, Dari Fatamorgana Menuju Visi Mulia

[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]

Intelektual Perempuan Abad 21
Abad milenium adalah abad modern di mana perempuan berpendidikan tinggi bukan sesuatu yang langka. Bukan rahasia bahwa kapasitas berpikir para perempuan telah diperhitungkan dalam peradaban dunia, termasuk Indonesia. Hal ini senada dengan pernyataan Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ananta Kusuma Seta, tentang sumberdaya manusia usia produktif yang berpendidikan tinggi.
Ananta mengatakan bahwa Indonesia akan mendapatkan bonus demografidalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Maksud ‘bonus demografi’ itu adalah mayoritas penduduk Indonesia lebih banyak dipenuhi usia angkatan kerja. Artinya, pada rentang waktu 2010-2025, negara ini akan dipenuhi oleh usia produktif. Jika mereka adalah orang yang berpengetahuan, Indonesia akan menjadi negara maju. Peningkatan akses pendidikan tinggi bagi rentang usia 19-23 tahun dirasakan sangat penting. Karena dari 21 juta penduduk berusia 19-23 tahun tersebut, hanya 5,4 juta orang yang bisa mengakses jenjang pendidikan tinggi (antaranews.com, 07/04/2012). Tak heran jika Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, menyatakan bahwa tidak ada yang dapat menyangkali bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan pendidikan serta ekonomi dan pendidikan menjadi pilar moral dan peradaban bangsa (antaranews.com, 19/03/2012).
Mahasiswi adalah sebutan bagi perempuan terpelajar selepas sekolah menengah. Pada masanya, sejumlah perguruan tinggi akan siap menampung dengan serangkaian program studi yang menjanjikan. Setiap perguruan tinggi memiliki target tertentu dari kurikulum yang dicanangkannya. Pada umumnya, kurikulum tersebut dimaksudkan untuk menjadikan para peserta didik mudah dalam belajar, mampu meraih nilai terbaik dengan wujud IPK tinggi atau tertinggi, dan sejumlah titel sebagai perempuan berprestasi.
Secara otomatis, hal ini mengkondisikan mahasiswi ingin segera lulus dan memperoleh pekerjaan yang layak dengan modal IPK tinggi dan masa studi yang singkat. Pekerjaan yang diinginkan pun tidak jauh dari terminologi posisi bergengsi dan gaji tinggi, yang tentunya akan makin menambah prestige individu dan keluarga. Demikian halnya bagi para orang tua yang telah berjuang membiayai pendidikan anak-anaknya, sehingga setelah lulus sang anak diharapkan dapat membalas budi yang telah ditanam oleh orang tua sebelumnya.
Saat mencari pekerjaan, terkadang lowongan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang telah dimiliki. Hal ini biasanya cukup terbaca oleh dunia kerja sehingga lowongan yang diiklankan bertajuk ‘untuk semua jurusan’. Sebutlah pekerjaan sebagai karyawati di bank, wartawati atau pialang di bursa efek. Pekerjaan tersebut tidak mensyaratkan latar belakang disiplin ilmu tertentu. Disamping itu, tawaran gajinya pun membuat makin semangat untuk meraihnya. Jika demikian, lalu bagaimana nasib dan pemanfaatan ilmu yang telah diperoleh di bangku akademik?
Wajar, jika hal ini menjadi persimpangan bagi kalangan mahasiswi pascakelulusannya. Di satu sisi, dirinya merasa harus mendapatkan pekerjaan demi kompensasi sebagai penyambung hidup. Di sisi lain, ada tanggung jawab moral terhadap disiplin ilmu yang dimiliki. Pada umumnya, sisi individual seringkali dimenangkan, karena mereka merasa tidak akan ada yang bertanggung jawab terhadap kelanjutan hidup selain dirinya sendiri. Pada akhirnya, tanggung jawab moral terhadap disiplin ilmu itu pun dinomorsekiankan.
Sementara itu, ada fenomena yang berbeda bagi mahasiswi sebagai pertanggungjawaban disiplin ilmunya di dalam kampus. Tak sedikit mahasiswi yang direkrut sebagai asisten dosen atau peneliti. Hal ini tentu wajar, karena kampus memang tempat mencetak generasi unggul, di mana keunggulan itu akan terwujud dengan konsep ilmu lil ‘amal.  Hanya saja, dunia kampus mengkondisikan ilmu para alumninya ini terabdikan secara ‘sempurna’, di mana seluruh potensi, energi dan pemikirannya diperas habis hanya untuk memperoleh sejumlah uang lelah.
Tentu sangat disayangkan, jika potensi perempuan terpelajar ini hanya untuk perubahan semu. Punya suara politik tetapi tidak mempunyai peran politik nyata untuk kebaikan umat. Sebabnya, yang mempunyai politik nyata adalah kaum kapitalis borjuis-para liberalis yang telah menyebabkan perempuan lelah bekerja, untuk sebuah fatamorgana. Label the agent of change yang merupakan label umum bagi sosoknya, tidak lagi terintegrasi dengan potensi dan semangatnya sebagai kaum muda.

Kapitalisme, Belenggu Berbagai Lini
Sebagaimana diketahui, kaum perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk di Dunia Islam, sudah lama mengalami ketertindasan di berbagai lini kehidupan. Kapitalisme telah dengan congkaknya menuduh bahwa nasib perempuan dalam Islam tidak akan pernah bahagia karena Islam bersikap tidak adil terhadap perempuan. Sistem kapitalis-liberal ini yang telah sekian lama bercokol, nyatanya tidak pernah mengubah nasib perempuan.
Kehidupan kapitalistik telah merancukan pemikiran perempuan, bahwa untuk mendapatkan hak-haknya, perempuan harus banyak uang, cantik dan pintar. Jika mereka ingin setara dengan laki-laki, mereka harus banyak berkiprah di ranah publik. Peran sejati perempuan dikaburkan, disesatkan, dikacaukan bahkan dilenyapkan. Perempuan tak lagi menjadi istri mulia, ibu tangguh, perempuan pejuang. Kehidupan perempuan kembali menjadi hina karena sistem yang digunakan bukan sistem Islam, yang punya cara pandang berbeda 180 derajat dengan cara pandang Islam terhadap perempuan.
Perempuan saat ini menjadikan ide-ide kapitalis sebagai pijakan. Mereka menyatakan bahwa persoalan perempuan akan terselesaikan dengan membebaskan perempuan berkiprah dimana pun, terutama dalam ranah publik. Dengan itu suara dan partisipasinya diperhitungkan, baik dalam keluarganya maupun masyarakat. Alih-alih mampu mengangkat nasib perempuan, gagasan pemberdayaan politik perempuan dalam perspektif demokrasi kapitalis ini justru menjadi racun yang kian mengukuhkan kegagalan menyelesaikan persoalan-persoalan perempuan. Sebaliknya, ide-ide kapitalis-sekular sukses menjerumuskan perempuan ke dalam jurang kejahiliahan dan kegelapan. Kegelapan ini tidak akan pernah beranjak dari umat secara keseluruhan selama umat Islam mencampakkan aturan-aturan dari Allah Swt dan Rasul-Nya.
Akibatnya, kapitalisme seperti meminta ‘upah’ dengan menjadikan perempuan menjadi barang dagangan, alat promosi berbagai produk untuk menarik pembeli. Perempuan dilacurkan, dijual, dieksploitasi tenaganya dalam industri, bahkan dibunuh karena arogansi penguasa lalim. Perempuan dipaksa bekerja di sektor publik, dijadikan TKW di luar negeri; dijadikan ikon utama di dunia fesyen, hiburan bahkan seluruh komoditas yang bersifat komersial. Sebagian diekploitasi secara seksual dalam bisnis pornografi, pornoaksi, bahkan pelacuran. Sebagian mengalami tindakan kekerasan fisik maupun psikis baik di sektor publik maupun di ranah domestik; ditelantarkan, dilecehkan, diperkosa bahkan dibunuh. Sebagian menderita kemiskinan dan kebodohan yang berkepanjangan. Sebagian lagi harus meregang nyawa atau terancam setiap saat di bawah rezim kejam seperti yang dialami Muslimah di Suriah saat ini. Sebagian lagi sedang dijerat pemikiran keterpelajarannya. Perempuan sebagai kaum terpelajar yang seharusnya bisa berkiprah dan berkontribusi dalam kemashlahatan umat, tanpa sadar nyatanya telah menjadi komprador para pembuat kebijakan imperialistik. Atau jika tidak terkategori komprador, mereka telah masuk jebakan yang lain, yaitu individualisme. Karena keterpelajarannya hanya digunakan secara pribadi, atas nama prestasi dan prestige semata, serta perut sendiri.
Terjebak dalam fakta di depan mata hingga tak mampu berpikir visioner, intelektual perempuan menjadi terbingungkan tentang arah konsep ilmu lil ‘amal tersebut. Kondisi ini menjelaskan bahwa ilmunya tidak untuk kemashlahatan umat sebagai objek yang diurus oleh negara, di mana intelektual sebagai pihak atau staf ahli yang pasti menjadi rujukan. Akan tetapi yang terjadi, pemanfaatan ilmu itu hanya untuk kemashlahatan sejumlah pemilik kapital yang akan menggajinya, antara lain melalui maraknya tawaran proyek penelitian. Bahkan, bukan tidak mungkin jika posisi intelektual ini sebatas menjadi ‘pemanis’ dalam pengguliran sebuah kebijakan/undang-undang negara, agar beralasan untuk dilegalkan meski isinya sangat liberal-imperialistik.
Contohnya dalam RUU Pangan. Rancangan Undang-Undang Pangan yang mulai dibahas di DPR masih menyisakan banyak masalah. Tumpuan pangan nasional masih pada produksi dan konsumsi beras sehingga swasta dibebaskan bermain di pasar dan impor sejalan dengan produksi. Semua itu berpotensi membuat petani semakin tidak sejahtera. RUU Pangan memang menuai kritik karena ditengarai sangat liberal. Swasta yang tidak diatur berpotensi menjadi spekulan dan mematikan petani kecil. Memasukkan peran swasta dalam stok pangan nasional bisa bertentangan dengan kewajiban pemerintah untuk menjaga harga pangan yang baik, tetapi terjangkau rakyat. Masalahnya, pangan seperti beras sudah menjadi komoditas politik untuk kepentingan nasional dalam hal ketersediaan dan keamanannya. Seharusnya peran swasta tidak berdiri bebas seperti dalam pasar yang bersaing sempurna, tetapi berada dalam kendali negara untuk tujuan ketersediaan pangan dan sekaligus kesejahteraan petani. Negara atau pemerintah berperan membuat perencanaan produksi beras untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan pokok dan sekaligus kesejahteraan petani. Selain itu, pemerintah juga perlu terlibat di dalam sistem penyangga pangan. Kondisi inilah yang harus diperhatikan dalam Rancangan Undang-Undang Pangan sehingga ketidaksempurnaan pasar dan fluktuasi pasokan bisa diatasi dengan peran negara. Bukan sebaliknya, diisi oleh swasta besar, yang akan menjadi spekulan dan berpotensi mematikan produsen petani kecil ataupun rakyat konsumen (Didik J. Rachbini, Ketua Majelis Wali Amanat Institut Pertanian Bogor; kompas online Jumat, 02/12/2011).
Belum lagi dengan fakta kehidupan nonakademik di kampus. Acara-acara kemahasiswaan yang lebih sering ‘having fun’ terbukti membuat para mahasiswi timpang dari label asalnya sebagai kaum terpelajar sekaligus the agent of change. Hal ini adalah bukti gerusan trend dan lifestyle yang ternyata menjadikan mereka pragmatis. Kaum muda memang memiliki energi yang besar untuk melakukan perubahan pada masing-masing masanya. Akan tetapi, energi besar itu harus dikendalikan dan dimuat di dalam koridor yang benar dan bertarget, sehingga pengejawantahannya pun tepat.
Alhasil, sejumlah kisah ini pun merangkai kesimpulan bahwa kondisi perempuan sekarang sama persis seperti pada masa sebelum kedatangan Islam.

Perempuan dalam Panggung Kehidupan
Perempuan, khususnya Muslimah, mempunyai peran penting yang berpengaruh besar dalam perubahan kehidupan. Tak ada satu perubahan apa pun dan bagaimana pun yang tidak menyertakan keterlibatan kaum Muslimah di dalamnya. Kaum Muslimah lahir dari umat yang agung, umat yang punya akar sejarah yang baik, yang telah menerangi dunia dengan cahaya Islam dan keadilan hukum-hukumnya. Perjalanan waktu membuktikan bahwa Muslimah berperan nyata dalam kegemilangan peradaban. Mereka menjadi mulia, cerdas, pintar dan bermartabat dengan keadilan hukum Islam.
Ada satu pertanyaan yang patut direnungkan: “Siapa kita, jika tidak dengan Islam?” Mari tengok kondisi perempuan pada masa lalu sebelum Islam datang. Perempuan adalah barang yang diperjual-belikan, diwarisi tapi tidak mewarisi, dimiliki tapi tidak bisa memiliki apapun. Perempuan dijual untuk dilacurkan bahkan tidak diberi hak hidup, dibunuh sesaat setelah lahir. Sampai Islam datang mengubah kondisi mereka, dari posisi rendah menjadi tinggi dan bergengsi. Islam memberi mereka kehormatan sekaligus menjaga kehormatan tersebut. Karena itu, kaum Muslimah wajib bersyukur atas anugerah dan pemberian dari Rabbul ‘Izzati ini.
Gemilangnya cahaya Islam akhirnya mengubah segalanya. Panggung peradaban Islam tak hanya didominasi oleh laki-laki. Perempuan pun muncul untuk memberi kontribusi. Mereka menunjukkan kecemerlangan pemikirannya dalam berbagai bidang. Perempuan menjadi sosok yang memahami kemuliaan cahaya Islam dan tak kenal lelah mendidik umat untuk memahami cahaya petunjuk tersebut. Hal ini telah bermula sejak zaman Nabi Muhammad saw dan para shahabatnya saat merintis masyarakat berperadaban, yaitu peradaban yang menyatukan iman, ilmu, amal dan jihad.
Perempuan adalah pencetak generasi. Mereka hidup di kota-kota Islam yang merupakan butir mutiara sains yang banyak melahirkan cabang ilmu. Berawal dari Madinah, sebagai sebuah kota pendidikan yang lengkap dan suci. Ada Rasul saw yang ma'shum dan cerdas, ada masyarakat shahabat yang militan dan berakhlaq mulia, ada masjid yang makmur dan buka 24 jam, dan yang terpenting ada wahyu Allah Swt yang turun terus-menerus selama 10 tahun. Di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan aqidah-akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, maka kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.

Ibu, Tulang Punggung Peradaban
Islam telah menempatkan perempuan sebagai bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan. Keduanya bertanggung jawab menghantarkan kaum Muslim menjadi umat terbaik di dunia. Karena itu, aktivitas politik dalam pengertian pengaturan urusan umat bukan kewajiban laki-laki saja, melainkan juga merupakan kewajiban kaum perempuan sebagai bagian dari umat.
Tanggung jawab perempuan sebagai makhluk Allah Swt pun secara tegas diungkap dalam beberapa nash yang bersifat umum seperti QS Ali Imran [3] ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.” -- [217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. Kemudian, di dalam hadits penuturan Hudzaifah ra. juga disebutkan bahwa Rasulullaah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, ia tidak termasuk di antara mereka. Barangsiapa bangun pada pagi hari dan tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, ia bukanlah golongan mereka.” (HR ath-Thabari).
Di antara sekian tanggung jawab dan kewajiban perempuan, Allah Swt telah menetapkan bahwa tugas utama perempuan adalah ummun wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). Sebagaimana sabda Rasulullaah saw: “Setiap diri kalian adalah pemimpin. Masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang perempuan (istri) adalah pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya, ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhori dan Muslim).
Sebagai ibu, perempuan wajib merawat, mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah Swt. Sebagai pengatur rumah tangga, dia berperan membina, mengatur dan menyelesaikan urusan rumah tangganya agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain, sekaligus menjadi mitra utama laki-laki sebagai pemimpin rumahtangganya berdasarkan hubungan persahabatan dan kasih sayang. Dengan peran khususnya ini, sesungguhnya perempuan dipandang telah memberikan sumbangan besar kepada umat dan masyarakatnya.
Kegemilangan peradaban sebuah masyarakat, sebagaimana yang pernah dicapai belasan abad oleh umat Islam terdahulu, tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan peran para ibu. Sebab dengan begitu, berarti mereka telah berhasil mendidik dan memelihara generasi umat sehingga tumbuh menjadi individu-individu yang mumpuni, yakni generasi mujtahid dan mujahid yang telah berhasil membangun masyarakat dan peradaban Islam hingga mengalami kegemilangan. Oleh karena itu, jelas menjadi ibu sesungguhnya merupakan peran yang sangat mulia dan memiliki nilai politis dan strategis, karena dari para ibu inilah akan lahir para pemimpin umat yang cerdas dan berkualitas.
Faktanya, Madinah merupakan sebuah kota di mana para ayah dengan tenang meninggalkan istri-istri dan anak-anaknya selama berbulan-bulan, bahkan tahunan, untuk berdakwah, berdagang dan berjihad ke penjuru benua. Para ayah itu yakin, Madinah akan mendidik istri dan anaknya menjadi manusia-manusia unggulan. Coba kita bayangkan, di rumahnya anak-anak itu punya ibu yang hafizhah Qur'an dan hadits serta terjaga kehormatannya oleh syari’ah. Di masjid, anak-anak itu akan bertemu Rasulullaah saw dan para shahabat utama. Subhanallaah.
Menuntut ilmu merupakan bagian dari aktivitas ibadah, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Dan Allah Swt telah menjamin orang-orang yang berilmu dalam Al-Qur’an: “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Oleh karena itu, dalam menilik pentingnya ilmu untuk diamalkan sekaligus peran muslimah sebagai pendidik dan pencetak generasi, layaklah jika mereka melahirkan generasi cerdas taqwa pejuang syariah dan khilafah serta sebagai mitra laki-laki dalam membangun masyarakat Islam.” Salim T S Al Hassani, profesor emiritus di University of Manchester, Inggris, dalam tulisannya, ‘Women’s Contribution to Classical Islamic Civilisation: Science, Medicine and Politics’, menyatakan bahwa selain dalam bidang agama mereka juga berkiprah di bidang ilmu pengetahuan.
Madinah selanjutnya menginspirasi Damaskus, Baghdad, Cordova dan Istambul untuk menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad. Madinah, Damaskus dan Baghdad bersuka cita memetik butir-butir mutiara sains yang diberikan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbagai cabang baru ilmu pengetahuan (new branches of knowledge) di bidang astronomi, fisika, kedokteran, biologi, matematika, ekonomi, sastra, teknologi perang, sampai filsafat dijabarkan terus tanpa henti oleh para ulama. Mereka hafal Al-Qur'an, hafal ribuan hadits, beribadah, berinfaq, dan berjihad seperti para shahabat, pada saat yang sama mereka mengembangkan ilmu-ilmu baru dari semua yang diimani dan diamalkan itu. Inilah yang disebut oleh para ulama, “Orang Barat bisa maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan kaum Muslimin hanya akan maju jika ia mendalami agamanya.”

Muslimah Sejati: Pejuang dan Intelektual
Kita bisa melihat Khadijah ra., wanita Mukmin pertama setelah Rasul yang meyakini Islam dan mendukung beliau sejak masa kerasulan; Sumayyah, syahidah pertama, pengemban dakwah, perempuan paling sabar dalam ketaatan dan paling kuat; Ummu Imarah dan Ummu Muni’ah, perempuan pertama pemberi baiat dan dukungan atas kepemimpinan Rasulullah saw. pada saat Baiat ‘Aqabah ke-2; Aisyah ra., seorang faqihah fi ad-din dan intelektual perempuan. Selain mereka adalah kaum Muslimah yang taat kepada suaminya tetapi juga mampu berkata benar di rumah suaminya sehingga seorang istri mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya. Selain mereka adalah Muslimah yang berani menyampaikan pendapatnya kepada Khalifah Umar ra. sehingga Umar ra., berkata, “ Perempuan ini benar, dan ‘Umar Salah”. Selain mereka adalah Muslimah yang menjadi qadhi (pemberi keputusan perkara) seperti Syifa binti Sulaiman dan perempuan yang dimintai suara pemilihannya oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf saat pemilihan calon khalifah sepeninggal Umar bin al-Khaththab.
Disamping itu, tidak sedikit pula kaum perempuan yang ikut berjihad bersama Rasulullaah saw dan para shahabat. Misalnya, Rufayda binti Sa’ad. Ia dianggap sebagai perawat pertama dalam lintasan sejarah Islam, yang hidup pada zaman Nabi Muhammad saw. Dalam Perang Badar pada 13 Maret 624 Hijriyah, ia bertugas merawat mereka yang terluka dan mengurus personel yang meninggal dunia. Muncul pula nama lain, Al Shifa binti Abdullah al Qurashiyah al’Adawiyah. Kepiawaianya dalam bidang medis ditopang oleh kemampuannya dalam membaca. Sebab, saat itu banyak orang buta huruf dan tentu tak bisa mengakses pengetahuan. Al Shifa tak pelit dengan ilmu yang dimilikinya. Ia menebar ilmu medis yang ia kuasainya, meski dalam hal yang sangat sederhana. Misalnya, pengobatan terhadap gigitan semut. Kemudian, Rasulullah SAW memintanya untuk mengajarkan hal itu kepada perempuan lainnya. Al Shifa pun multitalenta. Ia tak hanya dominan pada bidang medis. Namun, ia pun sangat terampil dalam administrasi publik dan dikenal dengan kebijaksanaannya.
Justru melalui penerapan syariah Islam secara utuh dan konsisten oleh penguasa dan penjagaan/pengawasan yang ketat dari umat inilah yang akan menghantarkan pada tercapainya kemaslahatan hidup yang rahmatan lil ’alamin sebagaimana yang Allah Swt janjikan. Tidak hanya perempuan yang termuliakan, bahkan umat secara keseluruhan akan memperoleh kebahagiaan dan kebangkitan yang hakiki sebagaimana yang pernah dialami sejak masa Rasulullah saw hingga Khilafah diruntuhkan.

Visi Intelektualitas Untuk Memperjuangkan Khilafah
Demikianlah peran perempuan dalam Islam. Mereka diberi hak secara penuh dan segenap potensinya diberdayakan. Mereka diberi hak untuk menjalankan perannya dalam kancah politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan sebagainya. Mereka juga merupakan kehormatan yang dijaga dengan sempurna. Mereka tidak dipaksa untuk menghidupi dirinya, namun yang wajib memberinya nafkah adalah suami, orangtua atau saudara laki-lakinya. Mereka tidak menemui kehinaan, tidak diperlakukan kasar, karena Rasulullaah saw telah berpesan untuk menjaga perempuan dengan sebaik mungkin. Perempuan adalah istri mulia di rumah suaminya, ibu tangguh bagi anak-anaknya, dan pejuang kebenaran di tengah umat.
Secara imani dan realistik, penyelesaian mendasar dari semua persoalan yang kita hadapi sekarang ini hanyalah dengan mencampakkan sistem yang rusak dan kembali ke sistem yang mampu memberi jaminan penyelesaian secara tuntas dan adil, yakni sistem yang berasal dari Zat Yang Mahasempurna dan Mahaadil. Itulah sistem Islam yang kemampuannya telah teruji selama berabad-abad membawa umat ini pada kemuliaan dan martabatnya yang hakiki sebagai khayru ummah. Sistem Islam mampu menjadi motor peradaban dan membawa rahmat bagi manusia secara keseluruhan. Allah Swt telah mengingatkan kita dalam firman-Nya:Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?(QS al-Maidah [5]: 50).
Dengan demikian, kita wajib memberikan perhatian yang besar terhadap terlaksananya tugas utama perempuan sebagai ummun wa robbatul bayt. Sebab, terlaksananya tugas utama ini sangat menentukan kebahagiaan keluarga dan kualitas generasi yang dihasilkan. Tiada cara lain untuk mengembalikan kemuliaan perempuan dan menempatkan mereka pada posisi yang bergengsi selain dengan merebut kembali kekuasaan Islam, menerapkan syariah Islam secara utuh dalam bingkai sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. Dalam hal ini umat, khususnya perempuan, harus dipersiapkan, pada komunitas dan level manapun untuk mendukung perjuangan penegakan Khilafah. Maka, siapa saja yang meyakini dan mempunyai kemampuan untuk dalam perjuangan penegakan Khilafah, bersegeralah, karena segala kemampuan itu akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.
Para perempuan Muslimah yang berkiprah untuk perubahan dengan tidak menjadikan penerapan syariah Islam dalam Khilafah sebagai jalan dan target perubahan, maka mereka akan merasa lelah dan sia-sia karena perubahan hakiki nasib kalian tidak akan pernah terwujud. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.Kiprah perempuan Muslimah dalam upaya penegakan Khilafah ini telah disambut oleh Allah Swt dalam QS Ali ‘Imran [3] ayat 195: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...”
Khilafah, yang akan mengatur dunia dengan syariah Islam, akan memberi hak-hak dan peran perempuan sebagaimana yang diharapkan. Karena itu, perempuan harus berkiprah dan berkontribusi untuk tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah. Khilafah adalah visi politik baru yang diidamkan perempuan secara khusus dan umat manusia secara umum. Khilafah menawarkan suatu sistem pemerintahan yang unik yang memungkinkan perempuan Muslimah untuk memenuhi seluruh kewajiban syariah Islam, sebagaimana Khilafah juga memberikan solusi untuk menghadapi masalah politik, ekonomi, pendidikan, hukum dan persoalan sosial yang begitu menakutkan di tengah masyarakat saat ini. Khilafah akan memberikan bentuk yang benar bagaimana menjaga martabat dan hak-hak perempuan secara global. Inilah sistem yang menawarkan visi politik baru yang radikal bagi dunia Muslim (a radically new political vision) dan bisa membawa perubahan yang nyata dalam kehidupan bagi perempuan dan karenanya berhak mendapat dukungan mereka secara penuh. Bukan mimpi, Khilafah adalah model pemerintahan cemerlang yang memenuhi hak hidup perempuan dan memberi peran strategis dalam kehidupan bangsa, hingga memperoleh kesejahteraan dan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat, insya Allah.
Wallaahu a’lam bish showaab [].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar