Jumat, 20 Januari 2012

Demokrasi, Paradoks Atau Absurd?

[Emilda, S.Pi., M.Si.]

 
Demokrasi, sebuah sistem pemerintahan yang lahir dari Eropa/Yunani kuno hingga hari ini diklaim sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang paling ideal di dunia. Idealnya demokrasi karena dianggap sebagai pemerintahan dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Dalam sejarah keberjalanan kehidupan bernegara kuno hingga modern banyak orang hari ini memandang demokrasi adalah konsep bernegara yang paling baik jika dibandingkan monarki ataupun diktatorisme.  Keidealannya hingga demokrasi dianggap tak perlu diperdebatkan lagi keabsahannya apalagi akan menggantinya dengan sistem lain. Bahkan Fukuyama (1992) menyebut demokrasi liberal adalah ”akhir sejarah” . Yang harapannya kalimat ini bukan hanya simbol kemenangannya dari ideologi dan sistem lain melainkan kemenangan demi sebuah prinsip untuk hidup yang lebih beradab.

Namun, sebagus apapun demokrasi digaungkan dan hampir saja ‘disakralkan’,  kritik terus menerus terhadap demokrasi tak bisa ditutupi. Bahkan kritik tersebut seperti tak ada habisnya karena senantiasa pula demokrasi tak bisa sejalan dengan apa yang digembar gemborkannya itu. Baru-baru ini Kompas.com tanggal  9 Januari menurunkan tulisan berjudul Demokrasi Dibajak Uang.  Tulisan ini ungkapan keprihatinan penulisnya terhadap praktik para penguasa di negeri ini yang katanya negara demokratis. Penulis menyebutkan bahwa praktik berdemokrasi di Indonesia sedang dibajak kekuatan uang dan kekuasaan. Uang dan kekuasaan yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat justru dipakai untuk merusak nilai moral, ‘etika berdemokrasi’, dan menginjak-injak hak warga. Namun, uang yang digunakan untuk merusak moral bangsa itu bersumber dari uang rakyat. Kekuasaan dan jabatan tak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, tetapi semua hanya berorietansi pada uang. Kondisi ini menjadi bukti paradoksnya demokrasi dengan akuntabilitas pemerintahan yang selalu digembar gemborkan akan berhasil diwujudkan.  



Belum lagi dengan kasus ketidakadilan hukum antara orang lemah dan pejabat.  Bagi orang lemah, hukum begitu perkasanya diterapkan. Pencurian sandal di Palu oleh AAL yang akhirnya dijatuhi vonis 5 tahun penjara atau hukuman penjara bagi seorang nenek yang mengambil 3 buah kakao selama 1 bulan 15 hari adalah sedikit contoh. Sementara bagi para koruptor kelas kakap, hukum seakan-akan tak berdaya untuk sekedar menghadirkan ke meja peradilan apalagi menjatuhkan hukuman setimpal.  Inikah keadilan hukum yang direalisasikan demokrasi? Bukankah fakta ini paradoks demokrasi yang kesekian dan telah gagal mewujudkan keadilan hakiki yang dielu-elukan masyarakat?

Bagaimana dengan janji demokrasi mewujudkan kesejahteraan? Inipun tidak tampak buktinya. Data  terakhir dari BPS menyebutkan kemiskinan di Indonesia mencapai 29,89 juta jiwa dan penduduk hampir miskin sebanyak 27,83 juta jiwa. Sedangkan dengan standar Bank Dunia hampir 50% penduduk Indonesia terkategori miskin. Sementara 40 orang diantara penduduk Indonesia memiliki kekayaan dengan  akumulasi US$ 85,1 miliar. Menurut Amich Alhumami, bahwa kaitan demokrasi dan kesejahteraan sudah sejak lama menjadi perdebatan di kalangan ilmu politik dan ekonomi. Apakah demokrasi dapat mengantar ke kesejahteraan? Apakah demokrasi merupakan jalan tunggal menuju kemakmuran?

Begitu pula pada aspek non materi, seperti  intelektualitas, kepemimpinan, moralitas, kepekaan sosial, apalagi ketinggian spiritualitas.  Demokrasi tak berperan apa-apa untuk mewujudkan seluruh hal ini. Yang terjadi justru sebaliknya. Penerapan demokrasi berkontribusi besar terhadap semakin menipis (lambat laun hilang) keseluruhan nilai tersebut.  Saat ini (seiring demokratisasi) kita dihadapkan pada masyarakat yang miskin moral dan kepekaan sosial, cara berpikir instan/pragmatis, para pemimpin yang miskin kepemimpinan.

Ada sebagian pakar dan pengamat politik yang ‘beralasan’  bahwa implementasi demokrasi di Indonesia memang belum ideal, baru sebatas prosedural.  Yang baru tersedia adalah berbagai institusi demokrasi seperti partai, parlemen, eksekutif yang berfungsi sesuai dengan aturan hukum yang ada, tapi praktiknya memang belum merepresentasikan idealnya sebuah negara demokrasi.  Padahal pada saat yang sama Indonesia sudah disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Jika negara dengan penerapan demokrasi yang masih jauh dari ideal ini saja sudah diberi peringkat ketiga, yang menjadi pertanyaan bagaimana idealnya demokrasi tersebut?

Jika Amerika Serikat yang dijadikan patokan, ternyata utang negara ini bahkan sudah mencapai 66% dari pendapat domestik brutonya. Ditambah lagi dengan ketimpangan ekonomi yang sangat tajam seperti pernyataan Joseph Stiglitz dalam sebuah artikelnya dengan “ dari 1%, oleh 1%, untuk 1%”. Kekayaan dan kekuasaan hanyalah milik dan untuk 1% orang saja.  Padahal tahun 2010 dilaporkan penduduk Amerika yang miskin mencapai 15%.  Apalagi tentang moral dan spiritual, Amerika Serikat sering dijadikan contoh yang buruk yang tak layak ditiru.

Pada tataran global, seperti yang ditulis Pakar Politik Boni Hargens di Kompas 12 Januari 2012, kritik pelaksanaan demokrasi juga hadir.  Tulisan yang disampaikan berkenaan pidato Sekjen PBB Ban Ki-moon yang menyatakan tahun 2012 ini dikukuhkan sebagai tahun kerja sama.Dinyatakannya ”Kerja sama adalah sebuah peringatan kepada masyarakat internasional bahwa adalah mungkin mengembangkan sekaligus kelangsungan ekonomi dan tanggung jawab sosial.  Fakta global menunjukkan dari tujuh miliar penduduk dunia tahun 2011, 925 juta mengalami kelaparan (13,1 persen). Ada 7,6 juta bayi mati (mayoritas akibat nutrisi buruk); 129 juta anak di negara berkembang underweight alias berat badan di bawah normal; dan satu dari setiap 15 bayi meninggal di bawah lima tahun. Jumlah pengangguran dunia 8,7 persen atau sekitar 690 juta orang dan ada 18 persen buta aksara atau 1,3 miliar orang.  Dari seluruh masalah tersebut, porsi terbanyak ada di negara berkembang. Padahal, negara berkembang adalah pangsa pasar terluas dan lahan pengerukan sumber alam terbesar. Paradoks keadaan ini menyisakan tanda tanya apa sajakah hasil dari  agenda demokratisasi global?

Jika kondisi ‘paradoks' demokrasi yang sedemikian banyak dan belum ada bukti keberhasilannya baik di negara maju apalagi di negara berkembang, pertanyaannya adalah apakah fakta-fakta ini memang sebuah kondisi paradoks? Apakah ketidakmampuan demokrasi merealisasikan janji-janjinya hanyalah karena kekeliruan penerapannya atau memang sistem demokrasi ini adalah sistem yang absurd alias mustahil mewujudkan kehidupan yang baik bagi masyarakat?  Para penganut demokrasipun mengakui kelemahan demokrasi. Benjamin Constan berkata : ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.” Atau Barchmi berkata : “Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan…”

Oleh karena itu bagi umat Islam yang memiliki tata kehidupan sendiri yang sudah sempurna yang diturunkan Allah SWT sangat tidak layak menerapkan demokrasi. Bukan hanya karena demokrasi ini paradoks tapi sudah jelas absurditasnya. Dan yang lebih penting prinsip dasarnya bertentangan secara diametral dengan aqidah Islam.  Allah SWT telah menyatakan secara tegas dalam firmanNya QS Al Maaidah ayat 50: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. Sementara dalam demokrasi, hukum yang diterapkan dibuat oleh manusia (rakyat atau wakilnya). Perilaku seperti ini telah dikecam Allah dalam QS At Taubah ayat 31: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Pada dua sisi yang saling bertolak belakang, yaitu antara haq dan batil, antara yang pasti dan absurd tidak ada kompromi. Sehingga konsep demokrasi Islampun sesuatu yang tak layak diperjuangkan karena konsep inipun sesuatu yang absurd. Jika absurditas demokrasi sudah pasti, pilihannya hanya satu yaitu Islam saja.  Dan untuk mau mengambil dan menerapkan Islam sebagai pengganti bagi sistem kehidupan, kita membutuhkan kejernihan berpikir untuk melihat fakta secara jelas dan kerendahan hati untuk mau tunduk secara totalitas kepada syariah Allah Yang Maha Sempurna.

2 komentar:

  1. demokrasi ciptaan manusia pasti usang ditelan masa, karena Sang Penguasa masa telah menjanjikan tegaknya Khilafah Rosyidah tsaniyyah 'ala minhajin nubuwwah...aamiin...

    BalasHapus
  2. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus