Kamis, 05 Januari 2012

Kebangkitan Intelektual untuk Kelestarian Hutan

[Sri Mulyati, S.Hut.]


Intelektual muda merupakan aset Negara, penentu arah masa depan kehidupan yang lebih baik. Intelektual muda pengganti generasi tua nan usang, pemimpin Negara masa akan datang. Intelektual muda diidealkan sebagai sosok penuh energi, semangat, dan kreatif untuk menciptakan pembaruan. Keberadaan mereka menjadi pembaru dan kritis terhadap kemapanan yang menyimpang dari kebenaran. Kita bisa melihat peran penting intelektual muda dalam perubahan zaman. Dan penulis pun termasuk bagian dari pemuda itu...
Terdapat tiga tonggak penting peran intelektual muda dalam sejarah Indonesia. Peran yang diemban tersebut sebagai pembangkit dan pemersatu pada tahun 1908 dan 1928. sebagai pejuang pada tahun 1945 – 1948. Sebagai kontrol dan pembaharu efektif tahun 1966, 1974, dan 1998. Lalu dimanakah peran intelektual muda sekarang? Berbicara tentang peran intelektual muda tak bisa dilepaskan dari masalah-masalah kekinian yang menimpa negeri kita, dilihat dari sektor kehutanan. (Karena penulis juga kebetulan lulusan kehutanan..)
Semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam hayati yang berlimpah ruah sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY. Keanekaragaman hayatinya terbanyak di seluruh dunia. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. Yang merasa tinggal di Indonesia, termasuk penulis sebenarnya bangga hidup di negeri ini…. :-)
Tapi, semua orang juga tahu, kini Indonesia terpuruk menjadi negara miskin. GNP perkapita hanya sedikit lebih banyak dari Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika. Sudahlah rakyatnya miskin, utang negara luar biasa besar. Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang sedemikian besarnya itu? Tidak lain tentu saja adalah rakyat Indonesia sendiri. Hal ini nampak pada pos penerimaan dalam APBN tahun 2002 yang dari sektor pajak mencapai sekitar 70%. Itu artinya, rakyat jualah yang harus menanggung beban keterpurukan ekonomi Indonesia. Jika kondisi seperti ini tidak segera dibenahi, maka dikhawatirkan akan timbul bencana ekonomi yang lebih berat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Menelaah Persoalan Indonesia terhadap Kerusakan Hutan

Era "reformasi" setelah Soeharto jatuh pada tahun 1998 telah mendorong bangkitnya keinginan untuk melakukan penyidikan secara kritis mengenai urusan pengelolaan negara. Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kelompok-kelompok masyarakat sipil berada di garis depan untuk menekan keterbukaan informasi resmi dan mempublikasikan hasilnya (FWI, 2005). Keterbukaan ini justru memicu asing yang mengetahui potensi sumberdaya hutan Indonesia untuk mengeksploitasinya. Kemudian rakyat yang merasa berhak – dengan diprovokasi oleh LSM komprador – akan meminta hak mereka atas hutan, sehingga illegal logging dan pembukaan hutan oleh masyarakat (atas nama reformasi) berlangsung di mana-mana dan mempercepat laju kerusakan hutan.
Terlebih lagi sejak krisis ekonomi tahun 1997, kondisi Indonesia semakin tidak menentu. Untuk mengatasi hutang dalam dan luar negeri yang jatuh tempo serta menstabilkan perekonomian, Indonesia menandatangani Letter of Intens dengan Interrnasional Monetary Fund (IMF). Menurut Rizal Ramli, waktu itu sebenarnya Indonesia bisa mengatasi instabilitas ekonomi jika pemerintah mengambil langkah bijak. Sayangnya tim ekonomi Indonesia yang saat itu dipimpin Wijoyo Nitisastro malah membiarkan kondisi berlarut-larut bahkan menjerumuskan pada kebijakan kontraproduktif. Tim ekonomi yang mayoritas intelektual muda Mafia Berkeley mendorong pemerintah untuk meminta bantuan IMF beserta berbagai ‘resep’ pemulihan ekonomi, yang salah satu syarat hutang kepada pemerintah Indonesia berupa pembaharuan kebijakan ekonomi kehutanan. Kebijakan itu menekankan pada pengurangan besar-besaran peran pemerintah, deregulasi, liberalisasi, tax reform (perombakan pajak), dan privatisasi secara cepat.
Pembakaran hutan dan pencurian kayu merupakan bentuk ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatasi korupsi di bidang kehutanan. Kebakaran hutan telah terjadi selama tujuh tahun dan pencurian kayu terus berlangsung, tetapi tidak ada solusinya. Sudah jelas kayu itu dikirim melewati berbagai aparat kehutanan, tetapi tidak  ditangkap. Pemerintah juga tidak berdaya memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme pada sektor kehutanan.

Eksploitasi besar-besaran pada kekayaan hutan akan berdampak pada gagalnya pembangunan berkelanjutan bagi negara Indonesia. Hancurnya Yugoslavia akibat dari gagalnya pembangunan berkelanjutan di bidang sosial. Kongo, Angola, Sudan, dan Ethiopia sekarang ini juga terancam hancur akibat kegagalan pembangunan berkelanjutan di bidang ekonomi. Untuk mengamankan aset negara yang cukup besar itu, siapa pun yang memanfaatkan kekayaan hutan harus mendapatkan sertifikat dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) bagi setiap produknya. Saat ini Uni Eropa dan Inggris telah menolak masuknya kayu dari Indonesia tanpa dilengkapi sertifikasi. Hal ini disengaja untuk membuat harga kayu-kayu dari Indonesia jatuh.
Kawasan hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti ; Taman Nasional Lore Lindu - Sulawesi tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung Meratus - Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome; Taman Nasional Wanggameti oleh PT.BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT.Gorontalo Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu olah PT.Antam,Tbk.
Terjadi perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara besar-besaran, dipacu dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat hutan untuk membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak kepada masyarakat.
Struktur penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang hidupnya mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum negara berdiri, nasibnya justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial yang riil terjadi dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru terjadi pada sub sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH atau sekarang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu / IUPHHK) dengan rakyat.
Selama beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat yang berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan pemerintah negara-negara Utara, program bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan asing. Atas nama pembangunan hutan dirusak dan laut, sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus mengalah kepada HPH/ IUPHHK, HTI, pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati oleh segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal internasional.
            Akibatnya, dalam 12 tahun (1991 – 2003) Indonesia telah kehilangan 68 juta hektar hutan atau sekitar 10 hektar per menit. Bayangkan, hutan seluas 15 kali lapangan bola lenyap setiap menit! Bila dalam satu hektar terdapat 2000 pohon, maka 2000 pohon per menit sama dengan 2,88 juta pohon per hari hilang!
Sesungguhnya semua permasalahan yang menimpa Indonesia bermula dari intelektual muda dalam mendorong kebijakan pemerintah. Intelektual bak dua mata pisau, bisa menusuk mematikan atau membedah dan menyembuhkan. Lalu apa peran kita sebagai intelektual?
Tak lain dan tak bukan adalah membangkitkan Indonesia dari keterpurukan semua sektor. Seperti filosofi Aa’ Gym, perbaikan besar dimulai dari hal kecil yakni mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil dan mulai dari sekarang. Tepat sekali kebangkitan negeri ini berawal dari kebangkitan diri kita sendiri sebagai intelektual.
Sebagian orang mengatakan, kebangkitan adalah berubahnya kondisi suatu umat, bangsa, atau seorang individu dari suatu keadaan menuju keadaan yang lebih baik. Berubah lebih baik seperti apakah? Apakah benar apa yang dikatakan orang-orang bahwa kebangkitan itu adalah makin tingginya tingkat pendidikan, bertambahnya tingkat kekayaan, makin baiknya moralitas? Karena itu banyak orang yang mengira jalan keluar dari permasalahan di sektor kehutanan dengan cara menghilangkan penyebab rusaknya hutan di permukaan yaitu, illegal logging, korupsi, sengketa pembagian wilayah hutan, UU yang tidak tegas, konsep hutan negara, mengejar kemajuan teknologi dan berbagai penyakit masyarakat. Apakah banyaknya lembaga pendidikan, perguruan tinggi serta banyaknya sarjana dan lulusan pascasarjana di sektor kehutanan merupakan tanda kebangkitan sebuah negeri atau menuju proses kebangkitan? Tentu semua itu merupakan efek dari sebuah kebangkitan namun bukan standar kebangkitan itu sendiri.
Fakta menunjukkan, sebagian besar negeri-negeri berkembang (Indonesia berada di dalamnya) tidak mampu melakukan apa-apa, walaupun banyak memiliki sarjana dan lulusan pascasarjana. Banyak dari mereka bahkan menjadi beban bagi negeri mereka dan tidak tersalurkan di lapangan kerja yang cocok dengan bidangnya. Ambil contoh negeri Mesir, Pakistan, Yordania, Lebanon, Suriah, Turki, Sudan, dan Afrika. Kita akan menemukan ratusan ribu putra-putrinya lulusan pascasarjana diberbagai bidang, seperti kedokteran, fisika, teknik, kimia, nuklir dan teknologi. Mereka telah meninggalkan negeri mereka dan menyebar ke berbagai penjuru dunia dalam rangka mencari penghidupan. Miskinkah negeri-negeri berkembang tersebut? Tidak sama sekali. Bahkan negeri-negeri berkembang adalah negeri yang paling kaya sumberdaya alam dan manusianya.

Makna Kebangkitan dalam Pengelolaan Hutan
           
            Menurut Hafidz Shalih dalam buku Falsafah Kebangkitan mengatakan, bangkitnya manusia karena memiliki pemikiran atau kesadaran yang menyeluruh mengenai keberadaan dirinya sebagai manusia, alam dan kehidupan serta hubungan penciptaan dari ketiganya. Kebangkitan manusia ditandai dengan kesadaran atas keberadaan dan diciptakannya dirinya di dunia. Bahwa ia diciptakan bukan sia-sia, menghabiskan usianya dengan percuma bak air mengalir, tanpa arah tujuan atau sesuka hatinya.
            Seorang yang bangkit, maka ia hidup memiliki visi dan misi adicita mulia, yakni visi dan misi mengemban kebenaran dimana pun dan diposisi apapun ia berada. Manusia bangkit senantiasa memanfaatkan peluang yang ada untuk menciptakan karya kebenaran dan kebaikan sesuai visi serta misi hidupnya.
Sebagai intelektual, untuk membangkitkan diri kita tentu saja dimulai dari mengubah pola pikir lama menuju pola pikir baru yang berlanjut pada pola sikap (tingkah laku). Seperti perkataan Bernard Shaw, “Kemajuan mustahil terjadi tanpa perubahan. Dan, mereka yang tak bisa mengubah pemikirannya tak bisa mengubah apapun”.
Maka sebelum melakukan perubahan ke tengah masyarakat, yang harus dilakukan oleh para intelektual adalah merubah pola pikir dan pola sikap dirinya sendiri. Para intelektual menghayati benar dan sepenuh hati dalam membangun kelestarian hutan.
            Kelestarian hutan berkaitan erat dengan pengelolaan hutan, sehingga diperlukan adanya pembenahan sistem menyangkut konsep kepemilikan hutan. Sebenarnya sejumlah permasalahan kehutanan yang mengemuka tanpa berkesudahan terjadi akibat ketidakjelasan batas-batas kepemilikan hutan ini. Hutan adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang untuk memilikinya.
          Pengelolaan sumberdaya alam adalah perkara yang sangat serius dan berkesinambungan tentang manajemen dan kebijaksanaan. Atas dasar itu, pengelolaan hutan hanya boleh dilakukan oleh negara, sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang-perorang serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar. Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumberdaya itu. Sudah saatnya, misalnya hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian juga dengan sumberdaya lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 1973 konon lebih dari Rp 500 triliun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah mendapatkan pajak dan sebagainya. Tapi pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. 
          Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah penyusunan kebijakan-kebijakan baru untuk mencegah konflik yang lebih parah dan untuk menjaga keselamatan hutan yang masih tersisa. Setidak-tidaknya harus dimunculkan paradigma baru tentang manajemen hutan dengan pendekatan terpadu yang mempertimbangkan posisi peran pemerintah dan posisi hutan sebagai kepemilikan umum bagi kemaslahatan rakyat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar