Minggu, 15 Januari 2012

POTENSI KEBANGKITAN IDEOLOGI ISLAM VIA MEMANASNYA KONFLIK DI SELAT HORMUZ

[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]


Permusuhan Barat yang merepresentasikan peradaban Yahudi, Nasrani, komunis dan paganis terhadap Dunia Islam tidak pernah surut. Justru semakin hari semakin bertambah tebal, kuat dan ganas. Apa yang saat ini mereka sebut sebagai “Perang Melawan Terorisme Global”, juga invasi militer ke Afghanistan dan Irak, hanya semakin menguatkan kebenaran dan kepastian realita ‘benturan antara kebenaran dan kebathilan’ yang telah ditegaskan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini sejalan dengan pandangan Bernard Lewis dan Samuel Huntington , bahwa setelah Komunisme runtuh, musuh Barat berikutnya adalah Islam. Perbedaan yang mendasar antara ideologi, sejarah dan karakteristik peradaban Islam dengan Barat, merupakan penyebab utama ditempatkannya Islam sebagai ‘musuh’ bagi peradaban Barat. Oleh karena itu, perang melawan Islam dan kaum Muslimin telah dikemas secara sistematis dan terorganisir, sebagaimana yang telah dicanangkan oleh AS dan diamini oleh 95% negara anggota PBB, tak terkecuali sebagian besar negara berpenduduk mayoritas muslim. Sementara itu, umat Islam yang ingin hidup berdasar Al-Quran dan As-Sunnah, diberi stempel ‘fundamentalis Islam’ ataupun ‘teroris Islam’ yang harus diburu dan dimusnahkan (Buku “Menanti Kehancuran Amerika dan Eropa”).

Terkait isu terkini, negara-negara Barat belum lama ini mengumumkan sanksi baru terhadap Iran setelah PBB mengeluarkan laporan bahwa Iran melakukan uji coba pengembangan peralatan nuklir (Liputan 6.com). Berita yang belakangan berkembang, USS John C. Stennis, salah satu kapal induk terbesar milik AS, memang bergerak ke timur dari Teluk Oman dan melewati Selat Hormuz. Departemen Pertahanan AS mengatakan USS John C. Stennis melewati rute rutin untuk mendukung operasi NATO di Afghanistan. Perkembangan ini terjadi ketika Barat menambah tekanan kepada Teheran agar menghentikan program nuklir (Militerania). Barat tengah mempertimbangkan sanksi dengan sasaran sektor keuangan dan minyak Iran setelah muncul laporan PBB (Liputan 6.com). Presiden Barack Obama pun bereaksi dengan menandatangani undang-undang tentang sanksi ekonomi terhadap Iran. Secara khusus UU ini mengatur sanksi kepada bank sentral Iran, yang selama ini menangani penjualan minyak ke luar negeri (Militerania).

Sejumlah Sepak Terjang AS

Dengan mengangkat isu HAM dan demokrasi, dan terakhir isu perang melawan terorisme, AS sedemikian gencar melakukan intervensi, ekspansi pengaruh hingga invasi militer ke negara-negara tak berdaya semisal Afghanistan dan Irak (Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”), hingga pada faktanya, Afghanistan dan Irak menjadi korban pertama umat Islam bagi kebrutalan Barat (Buku “Menanti Kehancuran Amerika dan Eropa”). Imperium AS yang dibangun di atas kekuasaan imperialisme modern dan kapitalisme tak kenal batas itu, justru makin menjelaskan bahwa sepak terjangnya telah menyengsarakan masyarakat internasional. Dunia yang telah dibuatnya bertekuk lutut, dikiranya aman dari perlawanan. Sejumlah negara kompak melakukan perlawanan, meski terus ditekan dan diancam oleh AS. Embargo dan sanksi ekonomi yang dijatuhkan pun tak mematahkan semangat perlawanan mereka. Hal ini bermula dari kawasan Amerika Latin, hingga beralih ke Timur Tengah sejak tampilnya presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad. Perlawanan Ahmadinejad ini pun dilandasi kesadaran luhurnya penghormatan atas hak dan harga diri Iran sebagai negara berdaulat dan rasa tanggung jawab untuk menciptakan perdamaian dunia berdasarkan perikeadilan dan perikemanusiaan yang beradab. Itulah sebabnya, Iran tampil sangat berani menangkis dan melawan setiap perlakuan yang sewenang-wenang, termasuk melawan kehendak AS agar Iran menutup instalasi nuklirnya. AS pun tampak sangat geram sehingga menarik peran DK-PBB dan mengancam akan melancarkan serbuan militer.

Bersamaan dengan hal itu, kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya, seperti Uni Eropa, Cina, Rusia dan Jepang pun semakin tumbuh dan berkembang, yang percepatan pertumbuhan dan perkembangan ekonominya jauh melampaui yang bisa dicapai AS. Keempat kekuasaan besar dunia ini tampaknya juga sudah merasakan betapa gerahnya dunia yang dipenuhi oleh unilateralisme adidaya tunggal, AS. Sementara itu, Dunia Islam yang kini masih pingsan sesungguhnya juga telah mulai merasakan bahwa dunia kini membutuhkan suatu keseimbangan kekuatan untuk mengendalikan perdamaian dan ketertiban serta memajukan kesejahteraan dunia. Dengan demikian, fron permusuhan AS mencakup Amerika Latin, Timur Tengah dan belahan dunia lainnya, serta fron persaingan AS meliputi Uni Eropa, Rusia dan Cina.

Negara-negara yang dahulu bersedia membantu serangan AS ke Irak kini semakin menjaga jarak dengan AS. Inggris dan Jepang, misalnya, sekarang telah berubah sikap dengan tak bersedia diajak AS untuk bersama-sama melibas kegiatan nuklir Iran atau rencana agresi militer ke Iran. AS kini tampak seperti ‘kedodoran’ atau ‘kewalahan’. Apalagi kondisi dalam negeri AS sendiri juga sedang menghadapi berbagai persoalan cukup berat, mulai dari defisit anggaran yang kronis hingga taruhan untuk terus bertahan. Semua ini membuat hegemoni AS di pentas dunia sangat terancam. Sebagian pengamat, peneliti dan pakar politik hubungan internasional mengatakan bahwa AS kini sedang menyongsong masa keruntuhan (Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”).

AS versus Iran

Kendati Iran tak mengembangkan teknologi nuklir untuk pembuatan senjata – dan ini pun sudah dibuktikan melalui inspeksi IAEA – AS dan dunia Barat melalui DK-PBB bersikukuh hendak menjatuhkan sanksi kepada Iran. Sejumlah opsi sanksi itu mencakup sekurang-kurangnya sanksi perdagangan seperti sebelumnya, atau sanksi perdagangan yang diperluas, atau sanksi isolasi internasional, atau memberi mandat kepada AS untuk melakukan tindakan militer. Apakah sanksi-sanksi tersebut ampuh dan mampu mengubah niat Iran? Menurut Ali Pahlevani Rad (Staf Bagian Pers dan Media, Kedubes Iran di Indonesia), jelas sekali bahwa sanksi dari Barat ini tidak akan berpengaruh terhadap Iran karena dua hal. Pertama, teknologi nuklir Iran sudah dikuasai oleh ilmuwan Iran sendiri maka dengan tidak ada bantuan dari negara lain pun Iran mampu menjalankan dan melanjutkan program nuklirnya untuk tujuan damai. Kedua, jika Iran ingin menyerah akibat tekanan Barat khususnya AS, pasti sudah menyerah dari puluhan tahun yang lalu. AS dan sekutunya juga harus tahu bahwa ini adalah abad XXI, ketika sebuah negara tidak bisa lagi mendikte negara-negara lain.

Akan halnya dengan ancaman serangan militer AS, hal itu lebih merupakan gertak sambal belaka. Buktinya, selama ini AS sudah kerap kali mengancam akan melancarkan serangan militer terhadap Korea Utara dan Kuba, ternyata tak pernah diwujudkan. AS hanya berani menyerang Afghanistan karena negara itu sedang tercabik-cabik perang saudara yang berkepanjangan. AS juga menyerang Irak karena Irak adalah negara kalah perang, yang sudah puluhan tahun diembargo dan angkatan udaranya dikenai larangan bebas terbang karena wilayah udaranya dikerat tiga. Juga akan halnya dengan inisiatif AS menggalang dukungan dari kelompok 5+1 (AS, Inggris, Prancis, Rusia, Cina plus Jerman), hal itu tidak berarti AS akan mampu memberikan tekanan lebih keras terhadap Iran. Malah boleh jadi hal itu menunjukkan posisi Iran semakin kuat karena selain dari Rusia dan Cina, Iran bisa melakukan manuver untuk menarik dukungan dari Jerman yang selama ini bersahabat dengan Iran. Sedangkan AS hanya didukung Prancis, karena Inggris secara bertahap dan teratur berencana untuk menarik diri dari berkoalisi dengan AS dalam kasus nuklir Iran (Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”).

Karakter Geopolitik Negara Adidaya Kapitalis (Inggris dan AS)

Perjuangan suatu negara untuk mencapai posisinya tidak mengenal henti. Kompetisi antarnegara dalam kancah politik internasional pun sudah berlangsung sejak dulu. Dalam setiap lembaran sejarah, akan selalu ada satu negara yang dianggap sebagai negara yang memimpin dan mengendalikan dunia. Kompetisi ini selain dipengaruhi oleh keyakinan yang diemban negara, penduduknya dan sistem yang dianutnya, juga dipengaruhi oleh kekuatan geostrategis negara tersebut. Barat telah menggunakan istilah geopolitik dan menurut Oyvind Osterud (1988), yang telah menjadi penting pascamasa kolonial. Menurut Osterud, tradisi geopolitik mengindikasikan adanya kaitan sebab akibat antara kekuatan politik dan wilayah geografis. Istilah geopolitik dalam istilah yang baku berarti kumpulan pemikiran yang mendalami strategi yang spesifik, yang diformulasikan berdasarkan kepentingan relatif kekuatan darat dan laut dalam sejarah dunia. Karena itu, dalam membangun negara terkemuka di dunia, pentingnya kontrol atas geopolitik internasional tidak bisa diremehkan. Studi komprehensif terhadap sejarah Inggris dan AS sebagai contoh negara adidaya global masa lalu dan sekarang, akan menampilkan beberapa kesimpulan penting mengenai karakter geopolitik sebuah negara adidaya.

Supremasi Inggris di dunia adalah karena kemampuannya menjajah Afrika, AS, Semenanjung India dan Timur Tengah. Sebagai contoh, Laut Mediterania merupakan lokasi geopolitik terpenting bagi Inggris. Dari tahun 1600-an hingga sekarang, Laut Mediterania membantu Inggris untuk mengontrol koloninya di Afrika sebagai sumber bahan baku dunia, memelihara komunikasi dengan Semenanjung India melalui Terusan Suez dan Teluk Persia, serta menjaga kekuatan Eropa lainnya tetap di luar Timur Tengah, Asia dan Afrika. Bahkan, hingga hari ini pun, jalur ini masih merupakan jalur perdagangan tersibuk untuk perekonomian dunia; menghubungkan AS dan Eropa, dengan Asia dan Timur Tengah. Dengan demikian, fakta sejarah menunjukkan bahwa Benua Afrika, Timur Tengah, Laut Mediterania, Teluk Persia dan Semenanjung India menjadi lokasi terpenting dalam kepentingan geopolitik Imperium Inggris. Dengan menguasai rute dan lokasi penting ini, Inggris menikmati pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh visi politiknya. Lebih jauh lagi, sejarah mencatat bahwa Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Hormuz di Teluk Persia, dan Selat Malaka memegang peranan penting dalam mempertahankan Inggris sebagai kekuatan adidaya selama 200 tahun.

Sementara itu, AS, memiliki catatan sejarah sebagai satu negara adidaya penting pada masa 1945-1990, dan adidaya tunggal dunia sejak 1991 hingga sekarang. AS menguasai minyak dari Timur Tengah untuk mendukung ekspansi ekonomi dan kebutuhan militernya. Krisis minyak 1973 menunjukkan rawannya ekonomi AS dan negara-negara Barat lainnya ketika suplai minyak diputus. Karenanya, AS membangun pangkalan militer di Teluk Persia, Arab Saudi dan Kuwait pada tahun 1990-an dan di Irak baru-baru ini. Sumber minyak dari Timur Tengah dikirim ke AS melalui Terusan Suez, ke Laut Mediterania. Untuk mengamankan suplai minyak itu, AS memerangi keberadaan Inggris dan Rusia di kawasan itu sejak Perang Dunia II hingga akhirnya menang pada tahun 1990-an selama Perang Teluk I dan jatuhnya Komunisme 1990. Betapa strategisnya kawasan ini diungkapkan dalam pidato Presiden Jimmy Carter tahun 1980 yang dikenal sebagai Doktrin Carter, “Sikap kami sudah jelas, kekuatan asing manapun yang berusaha mengontrol Teluk Persia akan dianggap sebagai serangan terhadap kepentingan vital AS dan akan dihadapi dengan berbagai tindakan, termasuk tindakan militer. ” Faktanya, 23% impor minyak AS berasal dari Timur Tengah. Kini AS menghadapi persaingan dari Cina dan Rusia terhadap akses minyak Timur Tengah. Demikian juga menghadapi kompetisi dari India, Jepang dan Uni Eropa. Karena itu, kawasan Mediterania dan Teluk Persia menjadi lokasi paling strategis bagi AS yang sudah mengalami perubahan dari peta kekuatan unipolar menjadi multipolar (Al-Waie Januari 2011).  

AS pun mencoba memanjangkan garis saluran minyak sepanjang Yordania, Suriah, dan Libanon untuk Laut Tengah/Mediterania. Lalu, Inggris berusaha menghambat langkah AS. Sebab, Inggris merasa mempunyai akar keberadaan yang lama di kawasan Timur Tengah yang mampu mempengaruhi seluruh penguasanya, mengingat semua penguasa Timur Tengah adalah agen Inggris. Maka, AS menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mengubah kondisi kawasan Timur Tengah adalah menerapkan politik dengan mewujudkan penguasa-penguasa militer dan meletuskan revolusi-revolusi. Seiring runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an di abad yang lalu, dan kemenangan AS dalam perang di Irak, serta dominasinya atas Kuwait dan kawasan Teluk; berubahlah perimbangan kekuatan di dunia. AS mulai menyusun peta baru bagi Timur Tengah. Berdasarkan rancangan itu, Inggris hanya akan menjadi pemain cadangan yang tidak kuat lagi menyaingi AS, sehingga posisi dan kedudukan Inggris menjadi merosot. Inggris terpaksa melakukan intrik-intrik dan manuver-manuver yang lemah. Inggris pun terpaksa mengandalkan Uni Eropa untuk melaksanakan strategi-strateginya, yang pada dasarnya adalah strategi-strategi yang ala kadarnya (Kitab Mafahim Siyasi).

Pada tahun 1952, berlangsung pemilu di AS yang dimenangkan oleh Partai Republik, yang mendudukkan Eisenhower sebagai presiden, yang sudah terkenal lebih mengutamakan kepentingan AS –khususnya kepentingan militer— daripada tekanan Yahudi dan Inggris. Maka, konflik antara dua negara –AS dan Inggris— menjadi tajam. Salah satu gejalanya adalah AS mengambil Mesir dan Suriah dari Inggris. Sejak saat itu negeri-negeri Arab menjadi lapangan yang luas untuk konflik Inggris-AS. Berbagai aksi politik yang terjadi membuat Timur Tengah menjadi seperti bola yang berpindah dari kaki AS ke kaki Inggris, dan dari kaki Inggris ke kaki AS. Begitulah terjadi berulang-ulang (Kitab Mafahim Siyasi).

Demikian pula AS mampu menanamkan pengaruhnya dengan kuat –di samping pengaruh Inggris- pada semua negara Teluk, Yaman, dan Yordania. AS juga mampu bersaing dengan pengaruh Inggris dan Prancis di negara-negara Afrika dan Turki. Dengan demikian, AS adalah hegemoni yang sesungguhnya atas negara-negara kawasan Timur Tengah yang terdiri dari lebih 24 negara. Sementara Inggris terpaksa merangkak di belakang AS untuk memperoleh sebagian remah-remah keuntungan, dan menentang AS secara diam-diam dari balik layar tanpa berani untuk mengajukan rancangannya sendiri secara terang-terangan untuk menyaingi rancangan AS di kawasan Timur Tengah. Walhasil, dapat dikatakan bahwa konflik terbuka antara dua negara ini telah berakhir pada akhir abad yang lalu hingga saat ini. Konflik itu telah berubah menjadi pola kerjasama dan kesepakatan dengan menobatkan AS sebagai pemimpin nomor satu di kawasan Timur Tengah dan pemutus kesepakatan-kesepakatan besar. Sementara Inggris menjalankan peran sebagai pelayan agar dia tetap eksis. Jadi kemampuan Inggris saat ini, bahkan kemampuan seluruh Uni Eropa sangatlah lemah dalam hal rancangan penyelesaian masalah Timur Tengah. Karena itu, kita melihat Inggris dan negara-negara Uni Eropa menjalankan rencana AS dan bergerak atas dasar rencana itu. Inggris dan Uni Eropa tidak mampu mengimplementasikan rencana sesuatu tanpa pengaruh dari AS (Kitab Mafahim Siyasi).

Selat Hormuz; Penting dan Strategis

Selat Hormuz merupakan kawasan perairan sempit sebagai bagian dari kawasan Teluk Persia yang termasuk ke dalam wilayah Iran. Di Selat Hormuz, terletak pelabuhan utama Iran, yaitu pelabuhan Bandar Abbas. Pelabuhan ini pun merupakan kawasan penting, karena dihubungkan dengan sistem jalan raya dan jalan kereta api untuk pengangkutan kargo. Jaringan kereta api Teheran-Bandar Abbas dibangun pada 1995 yang menghubungkan Bandar Abbas dengan seluruh Iran dan Asia Tengah melewati Teheran dan Mashad (Wikipedia).

Di satu sisi, konflik bermula ketika pasukan AL Iran melakukan latihan perang di sekitar kawasan Selat Hormuz. Manuver AL Teheran ini menjadi pusat perhatian internasional lantaran sejumlah pejabat Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz bila Barat menyerang fasilitas nuklir negara itu atau melakukan embargo ekspor minyak. Bahkan, untuk memperkuat seluruh lini, pasukan Garda Revolusi Iran siap mengadakan latihan angkatan laut baru di Selat Hormuz pada Februari mendatang (republika.co.id). Sementara itu di sisi lain, PBB dan negara-negara Barat mengatakan program nuklir Iran ditujukan untuk mengembangkan senjata, padahal pemerintah Iran mengatakan program ini untuk kepentingan damai. Uni Eropa diperkirakan akan mengikuti jejak Washington dan mungkin akan mengumumkan sanksi baru pada akhir Januari. Sebelumnya PBB sendiri telah mengeluarkan empat sanksi kepada pemerintah di Teheran (Militerania). Langkah ini membuat Teheran marah dan para pejabat tinggi Iran mengancam akan mengganggu jalur minyak di Hormuz (Liputan 6.com). Menanggapi ancaman ini, Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Mark Toner mengatakan bahwa Teheran berusaha mengalihkan perhatian dari isu utama. "Persoalan di lapangan adalah Iran selalu menghindar dari kewajiban-kewajiban yang harus mereka lakukan terkait dengan program nuklir," kata Toner. Sementara itu, Prancis mendesak pemerintah Iran menghormati hukum internasional. "Selat Hormuz adalah selat internasional. Oleh karena itu semua kapal, dari negara mana saja, punya hak melewati perairan tersebut," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Prancis Bernard Valero (Liputan 6.com).

Iran pun tak gentar. Sebagaimana diliput oleh Liputan 6.com (diakses 07/01/2012), Iran mengatakan bahwa mereka mungkin akan menutup salah satu jalur minyak utama jika Barat meningkatkan sanksi terhadap Teheran terkait dengan program nuklir. Wakil Presiden Mohammad Reza Rahimi memperingatkan, “Tidak setetes pun minyak bisa melewati Selat Hormuz bila sanksi terhadap Iran ditambah”. Kepala Staf Angkatan Laut Iran Laksamana Habibollah Sayari juga mengatakan, "Menutup Selat Hormuz lebih mudah dibandingkan meminum segelas air.  Namun untuk saat ini kami belum merasa perlu menutup selat. Ada Laut Oman yang berada di bawah kendali kami dan kami juga mengontrol transit di perairan ini." (Liputan 6.com). Sementara itu, Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland, menyatakan bahwa AS telah meng-klaim dirinya tidak mencari masalah dengan Iran, namun AS menegaskan akan melanjutkan perannya dalam memastikan "pelayaran bebas di dunia". Pernyataan Nuland merupakan tanggapan terhadap peringatan terbaru yang Iran tujukan kepada kapal induk AS di kawasan Teluk Persia (Antaranews.com).

Cina, sebagai salah satu sekutu Iran, menentang sanksi unilateral terhadap Iran, setelah Presiden AS Barack Obama menandatangani undang-undang yang menargetkan bank sentral Republik Islam Iran. Cina berulangkali menyatakan sanksi tidak akan menyelesaikan masalah ini. Cina dan Iran sendiri saling bermitra ekonomi dalam beberapa tahun belakangan, sebagian karena perusahaan-perusahaan Barat menarik dirinya menyusul sanksi terhadap Teheran. Cina dan Rusia yang merupakan sekutu kunci Iran, kerap berupaya mengambil langkah yang lebih lembut terhadap Iran ketimbangan tiga anggota tetap Dewan Keamanan PBB lainnya (Antaranews.com). Berdasarkan hal ini, maka tak heran jika Barat, khususnya AS, mau tidak mau menjadi sangat ketar-ketir dengan ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Jika itu benar-benar dilakukan Iran, maka pasokan minyak ke luar Teluk pasti macet dan bisa-bisa mengancam harga minyak dunia. Ujungnya perekonomian Eropa dan AS akan terganggu. Ini analisis atau hitung-hitungan versi Barat. Tapi bagi Iran, ancamannya bukanlah gertakan sambal belaka (Kompasiana.com).

Menimbang Kekuatan Iran dan Gelombang Revolusi Arab (Arab Spring)

Iran bukanlah negara pembeo. Kita kenal dalam sejarah, Negara Persia (Iran sekarang) menjadi salah satu kekuatan dunia selain Romawi hingga di zaman Nabi Muhammad dahulu. Persia dan Romawi ibarat AS Serikat dan Rusia di era Perang Dingin. Kedua negara ini saling rebut pengaruh dan kekuasaan. Segala jenis taktik dan persenjataan mereka miliki. Orang-orang Iran terkenal ulet dan pintar. Lihat saja sekarang dia mampu mengembangkan teknologi Nuklir di negaranya. Jadi AS tentu saja harus membuat perhitungan matang sebelum bertindak. Sekalipun AS bisa saja menyombongkan dirinya karena telah berhasil “menjungkirbalikkan” para penguasa yang dikehendakinya tumbang seperti Saddam Husein, Moammar Khadafi, dan lainnya. Atau minimal “bisa dipegang hidungnya”, seperti Arab Saudi, Mesir, Oman, Kuwait, Afganistan, Indonesia, dan negara lainnya. Dan sepertinya AS masih penuh perhitungan matang di bawah kepemimpinan Presiden asal Partai Demokrat Obama. Mungkin akan terjadi perang secepatnya jika AS dikuasai oleh presiden asal Partai Republik. Sudah menjadi icon, jika pemimpin dari Partai Demokrat lebih mengutamakan jalur Diplomasi. Obama tidak jauh berbeda dengan kebijakan Bill Clinton yang mengedepankan Diplomasi. Sedangkan pemimpin asal Partai Republik -semacam George Bush dan anaknya, George W. Bush- lebih senang berperang dengan menghabiskan anggaran negaranya. Para pemimpin negara Arab pun sudah terkooptasi oleh kepentingan AS. Karena rata-rata mereka sudah dininabobokkan oleh kekayaan dari hasil minyak mereka. Sementara berharap kepada Liga Arab atau OKI, sudah tidak bertaring lagi. Sangat jauh pengaruhnya dibandingkan kekuatan PBB yang sudah disetir oleh AS (Kompasiana.com).

Tak dipungkiri, gelombang revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara, pun sedang dalam proses mengubah arah sejarah dunia. Peta keseimbangan kekuatan dan pola hubungan antarnegara yang baru akan ditentukan dari perkembangan situasi di dunia Arab saat ini. Tanda-tanda keterlibatan pihak asing dalam perkembangan situasi di kawasan itu pun makin jelas. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengakui di depan Komite Perubahan Anggaran Senat AS, Rabu (2/3/2011), bahwa Pemerintah AS melakukan kontak dan menawarkan bantuan kepada kelompok-kelompok oposisi di negara-negara yang sedang dilanda demonstrasi antipemerintah. Artinya, AS mendukung kejatuhan rezim di negara-negara itu meski sebagian dari mereka adalah sekutu lama AS, seperti Presiden Mesir Hosni Mubarak atau Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh. Hillary ”membungkus” intervensi AS itu dengan dalih membendung langkah Iran yang lebih dulu mengintervensi aksi-aksi antipemerintah di Timur Tengah demi kepentingannya sendiri. Wajar saja jika AS turun tangan langsung untuk mengintervensi perkembangan situasi di Timur Tengah dan sekitarnya. George Friedman, pendiri lembaga kajian intelijen Strategy for Global Intelligence, menyatakan, AS punya tiga kepentingan utama di kawasan ini, yakni menjaga perimbangan kekuatan di wilayah rawan konflik, memastikan pasokan minyak, dan mengalahkan kelompok-kelompok islamis ekstrem yang berpusat di kawasan itu.

Dari sisi pasokan minyak saja, perkembangan situasi di Timur Tengah saat ini memang sangat mengkhawatirkan bagi AS. Krisis di Mesir, misalnya, mengancam akses transpor minyak melalui Terusan Suez. Sementara itu, gelombang aksi antipemerintah yang mulai merambah negara-negara di Teluk Persia, seperti Oman dan Bahrain, mengancam jalur pasokan minyak di Selat Hormuz. Bahkan, Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman dan parlemen Iran secara terbuka membuat pernyataan bahwa ada kamar komando operasi rahasia di Tel Aviv, Israel, yang dikendalikan Gedung Putih untuk menggerakkan aksi-aksi tersebut. Kerry Raymond Bolton, seorang doktor teologi dari Academy of Social and Political Research, Mesir, menulis di forum Foreign Policy Journal (publikasi online khusus berisi analisis kritis terhadap kebijakan luar negeri AS) bahwa bukan tidak mungkin gejolak di Timur Tengah saat ini turut didanai pendiri Open Society Institute, George Soros. Salah satu tokoh oposisi Mesir yang paling vokal saat terjadi aksi demonstrasi di Alun-alun Tahrir, Kairo, Mohamed El-Baradei, juga disebut memiliki kaitan dengan Soros karena ia pernah menjadi anggota dewan pengurus lembaga advokasi International Crisis Group (ICG). Soros sendiri menjadi satu dari delapan anggota komite eksekutif ICG. Sementara itu, Samira Rajab, anggota parlemen Bahrain, akhir Februari lalu, melontarkan gagasan bahwa semua kerusuhan dan revolusi di Arab saat ini adalah hasil implementasi proyek AS yang bernama Proyek Timur Tengah Baru. Proyek tersebut dimulai di Irak beberapa tahun lalu, kemudian menjalar ke Libanon, lalu negara-negara lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, setidaknya sampai 10 tahun lagi (Kompas.com 03/2011).

Namun informasi yang muncul adalah kekhawatiran bagi negara-negara di sekitar Iran. Lalu berkembang isu yang dihembuskan AS bahwa uji coba rudal Iran berpotensi mengancam negara di sekitarnya sambil menawarkan mesin perang sebagai upaya mempertahankan diri. Karena, secara politis uji coba rudal Iran adalah untuk menakut-nakuti negara di sekitarnya, “show of force”. Dan jelas, AS di sini memanfaatkan situasi (jika tidak mau disebut sudah main mata dengan Iran) untuk menyulap provokasi menjadi uang, yakni berjualan senjata. AS menawarkan senjata yang belum di-launching ke publik setelah kasak-kusuk dari uji coba rudal Iran dengan cara membuat negara-negara sekitar Iran tegang. Arab Saudi saja sudah memesan 154 pesawat tempur F-15 dari AS, sudah dikirim 84, sisanya yang 70 buah menyusul. Sebenarnya Israel juga resah dengan sikap AS yang hendak menjual senjata ke negara-negara Arab sekitar Iran. Tetapi Israel kemudian tenang setelah dibujuk oleh AS bahwa senjata yang dijual ke negara-negara teluk tidak sebanding dengan kualitas senjata untuk angkatan bersenjata Israel. Di sini, sebenarnya motif AS adalah terus jualan untuk memulihkan ekonomi mereka. Dan bisa jadi, Iran-AS sudah kerjasama dalam kasus ini. Walaupun AS sedang krisis tapi ‘otaknya’ jalan. Uni Soviet saja pernah dibohongi AS ketika perang bintang. Jadi jika sekadar memperdaya pemimpin negara-negara teluk, tentu mudah bagi AS. AS hanya sekadar memprovokasi negara-negara Arab yang sudah kadung hidup dalam kemewahan dan mereka takut mati untuk membeli senjata buatan AS. Menurut  seorang jurnalis Iran, Iran-AS itu sekadar perang verbal, perang dalam kata-kata saja. Tidak pernah diwujudkan dalam tindakan. Hal ini terbukti bahwa dulu AS ingin mengambil Iran dari Inggris setelah Perang Dunia II, karena Iran punya cadangan minyak. AS memintanya ke Inggris dan diberi. Inggris sendiri mendapatkan warisan Iran dari Jerman. AS dalam hubungannya dengan Iran, selalu menyimpan sesuatu yang tak pernah dipaparkan secara gamblang, alias ada yang disembunyikan. Skandal Iran-Contra,  Misi Rahasia CIA, Iranian Gate, menunjukkan bahwa apa yang di permukaan bukanlah yang sebenarnya. Sesumbar embargo senjata AS, menutupi skandal kesepakatan di baliknya. Jadi hampir pasti memang tidak pernah ada konflik nyata antara Iran dan AS. Khomenei (yang memimpin Iran di tahun 1978) sendiri pernah menyebut AS sebagai Setan Besar makin mengukuhkan bahwa ‘perang’ antara AS dan Iran sekadar perang verbal saja (MediaIslamNet.com).

Sebuah fakta yang belum pernah diungkap adalah peran Syiah yang bekerjasama dengan AS dalam Perang Salib. Di waktu para mujahidin berusaha untuk bergabung dari seluruh penjuru dunia Islam dan menyatukan barisan mereka dalam menghadapi pasukan Zionis Salibis, muncullah kelompok pengkhianat dan dajjal di Irak dan Libanon dengan bantuan dari Iran, untuk menikam umat Islam dari belakang. Yaitu dengan berkolusi bersama musuh Zionis Salibis dan para antek mereka, demi untuk memusnahkan ahlus sunnah dan memecahkan jaringan mereka. Kunjungan Ahmadinejad ke Irak serta diterimanya di Green Zone di bawah penjagaan dan perlindungan AS adalah untuk meneguhkan sejauhmana pemahaman antara AS dan Iran dalam menjajah Irak. DR. Abdullah An Nafisi menjelaskan hubungan AS dengan Iran berkaitan dengan Irak, bahwa Iran dan AS sangat senang sekali, yang artinya persekutuan kerjasama antara Iran dan AS di dalam menyerang Taliban di Afghanistan. Dan Iran membuka zona udara bagi tentara AS selama dua bulan agar pesawat mereka dapat mengebom Tora Bora, Tandzim Al Qaeda, dan rakyat Afghanistan selama 2,5 bulan. Ini semua adanya kerjasama dengan Iran. Sedangkan kerjasama setelahnya adalah untuk menghapus para pengikut rezim Irak sebelumnya. Mereka banyak sekali bekerjasama. Pasukan AS yang bertolak dari Kuwait menuju Baghdad melewati gurun pasir An-Nashiriyah, yang membekingi di belakangnya adalah Brigade Badar yang segera masuk setelah pasukan itu melintasi perbatasan Kuwait-Irak. Brigade Badar masuk melalui Kut Al-Amarah dan Sa’ad Al-Gharbi dan melindungi pasukan AS hingga sampai ke Baghdad dan sampai menjatuhkan rezim. Brigade Badar melindungi pasukan AS hingga sampai di Baghdad. Artinya dengan semua ini, bahwa ada kerjasama dan koordinasi yang menguntungkan antara AS dengan Iran berkaitan dengan Afghanistan dan juga berkaitan dengan pelengseran rezim Irak. Dengan begitu-para prajurit-jika bisa dikatakan begitu-Pentagon berkata bahwa orang-orang Iran adalah orang-orang yang adil dan bijak, mungkin kamu bisa ajak untuk bisnis.”

Sedangkan Sistani (maksudnya adalah Ali As Sistani, ulama Syiah yang tinggal di Irak), dia adalah penolong terbaik bagi AS, dia melarang jihad apapun melawan mereka. Itu sikap representasi dari skandal sejarah dan lari dari perang dan yang dilakukan oleh sumber Syiah tertinggi di Irak. Syekh Aiman menjelaskan pengkhianatan Sistani : “Ketika dia merasa AS menyerang kuburan Imam Ali r.a., di Najaf, di lari ke Inggris dengan dalih “menjalani operasi.” Padahal itu bukan untuk “menjalani operasi”, tapi hanya pemeriksaan kesehatan, yang sebenarnya bisa dilakukan di Irak. Jika begitu, maka hakikat sebenarnya telah terungkap di hadapan seluruh kaum Muslimin ketika dia tidak mengeluarkan fatwa dan kewajiban menenteng senjata melawan penjajah agresor Salibis AS di Irak dan Afghanistan dari sumber Syiah manapun-baik dari dalam maupun luar Irak. Bahkan tersingkap sikap ketidakkonsistenan mereka. Jihad yang mereka bolehkan di Libanon dan Palestina menjadi haram di Irak dan Afghanistan, bahkan lebih buruk dari itu, bahkan mereka menyebut orang yang melakukan jihad dengan sebutan takfiriyin, Wahabiyin, dan Saddamiyin. Syekh Aiman menjelaskan : “Artinya bahwa Iran berkuasa dengan mengesahkan PBB sebagai sumber selain sumber Islam. Baik sumber itu Dewan Keamanan maupun sumber Majlis Umum PBB. Dan berjanji-berdasarkan komitmen terhadap piagam perjanjian PBB-untuk menghormatinya sebagai kekuasaan tertinggi, perdamaian dan kesatuan Negara Israel sebagai anggota dewan PBB. Bahkan lebih dari itu, mengakui penjajahan Rusia terhadap Chechnya, penjajahan Spanyol atas Ceuta dan Mellila, dan negeri kaum Muslimin lainnya.”

Tujuan utama Iran sebenarnya adalah mencari pengaruh politik di manapun yang memungkinkan. Syekh Aiman menjelaskan kondisi Libanon setelah terjadi perang dengan Israel : “Ketika terjadi perang di Libanon yang mampu meraih eksistensi politik bagi pengikutnya, maka mereka ikut berperang dan ketika pasukan internasional menyanggupi untuk menjaga keberadaan politik dan militer mereka maka mereka menyetujui pasukan internasional menjajah Libanon. Mereka juga setuju menggunakan cara kekerasan bagi Palestina, dimana Hassan Nashrullah mengaku sudah begitu lama berusaha untuk membebaskannya, akan tetapi sekarang dia menghindar darinya. Dan ketika bersepakat dengan AS dan mengakui akan pemerintahan mereka serta kerjasama dalam pemerintahan dan menghentikan jihad kau Muslimin, serta berperang dibawah Salib mereka, mewujudkan sikap politik mereka di Irak dan selalu berusaha mencarinya, mereka berkerjasama dengan AS dan berperang di bawah Salib mereka.” DR. Abdullah An Nafisi menjelaskan politik Iran : “Iran bertanggung jawab atas hal itu, karena Iran di antara dua isu, isu membuka diri yaitu isu Islam dan isu umum yaitu isu anti AS, anti Israel dan seterusnya. Ini sudah mafhum dan dapat diterima. Akan tetapi isu berkaitan rakyat Iran sebenarnya memiliki isu lain : isu kekuasaan, isu kontrol, isu penugasan Syiah di Irak (arrahmah.com).

AS, Timur Tengah dan Potensi Kebangkitan Khilafah Islamiyyah

Berdasarkan letak geografisnya di Timur Tengah, Selat Hormuz memang menghubungkan negara-negara penghasil minyak di Teluk seperti Bahrain, Kuwait, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dengan Samudera Hindia. Sekitar 40% kapal tanker minyak dunia melewai selat tersebut (Liputan 6.com). Selat Hormuz adalah jalur perdagangan minyak dunia. Cina dan Rusia pun memanfaatkan jalur tersebut untuk kepentingan perdagangan mereka. Selain itu, Rusia juga punya andil dalam proyek uji coba senjata rudal Iran dengan memasok komponen senjata. Artinya jika pun terjadi perang AS dengan Iran, akan mengajak serta Rusia—termasuk Cina, sehingga sejatinya adalah perang antara AS dengan Rusia (MediaIslamNet.com). Dan sejatinya pun, masalah Timur Tengah merupakan masalah yang terkait dengan Islam dan bahayanya bagi Barat. Terkait dengan letaknya yang strategis dan dominasinya terhadap transportasi Eropa, Afrika dan Asia. Terkait dengan negara Yahudi yang menjadi garis pertahanan terdepan dari pertahanan Barat. Dan terkait pula dengan penjajahan serta hasil-hasil penjajahan, terutama minyak. Jadi, masalah Timur Tengah adalah masalah yang terkait dengan Islam, letak strategis, negara Yahudi, penjajahan, dan minyak. Tidak diragukan lagi masalah ini adalah sangat penting, tidak hanya untuk penduduk kawasan Timur Tengah dan kaum Muslim saja, melainkan juga untuk seluruh dunia (Kitab Mafahim Siyasi).

Islam, telah dan senantiasa menjadi bahaya besar atas AS dan Barat. Kawasan Timur Tengah dapat dianggap tempat titik tolak yang alamiah untuk dakwah Islam ke seluruh Dunia. Karena itu, tidak aneh AS menjadikan Islam sebagai musuh utama satu-satunya bagi AS setelah runtuhnya Sosialisme-Komunisme. AS menggunakan slogan-slogan terorisme, ekstremitas agama, dan fundamentalisme agama sebagai kedok untuk menyerang Islam dan kaum Muslim di kawasan ini. AS berusaha dengan segala kekuatan yang dimilikinya untuk menjauhkan gerakan-gerakan Islam politis dari kekuasaan. Hal itu dilakukan melalui cara kekerasan, kebrutalan, penyiksaan, dan pembendungan yang dijalankan oleh rezim-rezim pemerintahan yang menjadi pengikut AS di kawasan ini. George W. Bush telah mendeklarasikan Perang Salib Baru untuk menentang kaum Muslim secara terangterangan. John Aschroft, Jaksa Agung AS, mengatakan dengan terus terang, “Sesungguhnya terorisme terdapat dalam Islam itu sendiri, bukan hanya pada orang-orang yang memeluk Islam.” Ia mengatakan pula bahwa Allah telah mendorong terorisme dalam al-Quran. Ini klaim dia (Kitab Mafahim Siyasi).

Adapun letak strategis Timur Tengah dan dominasinya terhadap transportasi, urgensinya dapat dilihat dari eksistensi Timur Tengah di kawasan titik temu tiga benua lama, yaitu Afrika, Eropa, dan Asia, serta penguasaannya terhadap Selat Gibraltar, Bosphorus, Aden, Hormuz, Terusan Suez, Laut Tengah (Mediterania), Laut Hitam, Laut Merah, dan Teluk Persia. Ditambah lagi Timur Tengah merupakan titik temu jalur bahan mentah dan komoditas di antara tiga benua tersebut. Kepentingan strategis Timur Tengah dahulu telah menimbulkan satu kesulitan antara blok Barat dan Soviet sebelum era detente. Hal itu dikarenakan Timur Tengah membentuk sabuk barat dalam wilayah blok yang terletak di kawasan yang mengancam Uni Soviet. Sabuk ini merupakan garis pertahanan Barat dalam menghadapi Uni Soviet dari Timur Tengah dan Afrika. Karena itu, di Timur Tengah, Barat membangun pangkalan-pangkalan militer yang di antaranya adalah pangkalan nuklir (Kitab Mafahim Siyasi).

Adapun penguasa negeri-negeri Arab, mereka terus saja melayani AS sampai-sampai rela menjadi budaknya. Dengan demikian, mereka kehilangan kredibilitasnya di mata rakyatnya. Majikan-majikan mereka pun memandang rendah kepada mereka dan terus-menerus menghinakan mereka dan meminta mereka untuk semakin memasrahkan diri kepada AS. Dengan begitu, para penguasa negeri Arab itu telah menjadi alat-alat yang mudah diganti oleh tangan musuh-musuh mereka, sebagaimana terjadi pada Saddam Husein dan pada agen lainnya. Walhasil, para penguasa negeri-negeri Arab itu tidak lagi mendapatkan dukungan rakyatnya dan hanya dapat terus berkuasa berkat dukungan majikan-majikan mereka dan belas kasihan majikan-majikan itu. Mereka hidup di antara kemarahan rakyatnya dan belas kasihan majikan mereka. Karena itu, kawasan Timur Tengah adalah kawasan yang dapat meledak setiap saat sebagai potensi yang sangat besar untuk lahirnya sebuah negara Islam yang sesungguhnya, yakni Khilafah Islamiyyah (Kitab Mafahim Siyasi).

Sementara itu, bagaimana kemampuan AS mempertahankan kebesarannya sedangkan secara internal kekuatannya makin keropos? AS memang memiliki kemampuan ekonomi dan militer yang demikian besar, tetapi di balik itu AS juga menanggung resiko ekonomi dan militer yang besar pula. Kini AS sudah melampaui tahap yang tidak mungkin lagi bisa ditarik mundur dalam menanggung beban resiko tersebut. Ekonominya dalam keadaan sakit dan sulit dipulihkan. Militernya selalu membutuhkan anggaran besar untuk bersiaga dan memenuhi kebutuhan modernisasi sistem senjata. Sumber-sumber ekonomi yang menghasilkan uang tidak bertambah. Sangat meyakinkan, kondisi ini berpotensi memperlemah daya saing dan bahkan mendorong percepatan momen bagi keolengan dan kemudian keruntuhan AS. Atas dasar itu, mau tidak mau AS harus mengubah kebijakannya terhadap negara berkembang, khususnya AS harus menghentikan politik arogansi dan kekerasan untuk diganti dengan politik kerjasama ekonomi yang berkeadilan. Jika langkah ini tidak ditempuh, bukan mustahil AS akan mengalami kegagalan yang lebih besar dalam bidang ekonomi, politik dan militer, bahkan lebih besar lagi ketimbang kegagalan yang ditemuinya di Irak dan Afghanistan (Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”).

Kebangkitan Ideologi Islam di Bawah Naungan Khilafah Islamiyyah

Dengan menunjukkan realita yang ada sekarang, intelijen AS menganggap bahwa tuntutan umat Islam untuk menginginkan Islam kembali adalah bentuk ancaman terhadap keamanan dan kepentingan AS. Perjuangan politik dan ideologi (bukan kekerasan) yang dilakukan oleh aktivis umat Muslim telah mencapai titik bahwa tuntutan terhadap Khilafah dan syariah adalah ancaman ideologis terserius yang AS pernah hadapi. Bekas Wakil Presiden AS, Dick Cheney pada tanggal 23 Februari 2007 secara jelas menyatakan, “Mereka memiliki tujuan untuk menegakkan Khilafah yang berkuasa dari Spanyol, Afrika Utara, melewati Timur Tengah, Asia Selatan hingga mencapai Indonesia – dan tidak berhenti di sana.” Ancaman tentang Khilafah sering diulang-ulang oleh Pemerintahan Bush dan merupakan alasan di balik invasi Irak dan Afghanistan (Al-Waie Januari 2011). Secara ideologi keagamaan, AS tidak begitu risau menghadapi perkembangan Uni Eropa yang sama-sama menganut Kristen. Begitu pula dengan Cina (rakyatnya penganut Kong Hu Cu) yang lebih memilih sikap netral terhadap negara-negara penganut Islam dan Kristen. Atas dasar itu, satu hal yang paling krusial dihadapi AS adalah seluruh potensi kekuatan Khilafah Islam yang kini sedang berinkubasi di setiap negara Muslim (Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”).

Penjajahan telah menimbulkan penderitaan bagi Timur Tengah, telah menghilangkan sifatnya sebagai negara adidaya dan kekuatan global, dan telah mengubahnya menjadi negara-negara jajahan Barat tempat negara-negara Barat bersaing untuk menjajah dan memperluas pengaruhnya (Kitab Mafahim Siyasi). Tak dipungkiri pula bahwa dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan pesat aktivitas gerakan Islam dan seruan untuk tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah oleh partai politik Islam non-kekerasan yang populer dan aktif, yang telah menginspirasi Muslim di strategis Timur Tengah dan sekitarnya ini. Hizbut Tahrir telah menjadi aktor utamanya. Hingga tahun 2010, lebih dari 10 ribu aktivis dan pendukung Hizbut Tahrir dipenjara di Uzbekistan, termasuk wanita tua (73 tahun) dan anak-anak (13 tahun), dengan hukuman antara 7 hingga 20 tahun, hanya karena aktivitas dakwah mereka, bukan karena aksi kekerasan ataupun kejahatan apa pun. Seorang pengamat independen dari Inggris di Uzbekistan mengatakan, “Barat hanya punya satu opsi, yaitu diktator brutal Islam Karimov, karena di luar itu hanya ada Hizbut Tahrir dengan Khilafah Islamiyyah-nya.” (Al-Waie Januari 2011).

Ancaman Islam politik di kawasan Samudera Hindia yang meliputi Pakistan, Bangladesh, India dan Indonesia yang didiami tidak kurang dari 60% populasi Muslim dunia juga telah mengkhawatirkan pembuat kebijakan AS. Maka dari itu, dari studi yang mendalam tentang dua kekuatan adidaya penjajah dunia, Inggris dan AS, beberapa kawasan diketahui menjadi pusat pengaruh yang sangat penting bagi bangkitnya negara adidaya baru. Kontrol atas pusat pengaruh yang sangat penting dalam persaingan peradaban. Menilik sisi ekopolitik dan kepentingan strategis, ada beberapa pusat kawasan yang menjadi kunci pengendalian dunia, yaitu:
1.    Kawasan Mediterania, Timur Tengah dan Teluk Persia
2.    Benua Afrika yang kaya sumberdaya alam
3.    Asia Selatan dan Asia Tenggara yang terhubung dengan Selat Malaka
4.    Kawasan Laut Kaspia dan Laut Hitam

Dari potensi geostrategis ini, siapapun yang ingin melukiskan masa depan dunia, akan mendapatkan kesimpulan yang sangat penting dan mendalam. Umat Islam yang memiliki kesamaan keyakinan, tradisi dan aspirasi masa depan dan kelak akan disatukan dalam negara Khilafah Islamiyyah dengan izin Allah Swt menempati posisi strategis. Keempat kawasan kunci serta rute perdagangan dan perekonomian paling vital yang disebutkan sebelumnya berada di wilayah kaum Muslim. Begitu Khilafah Islamiyyah bangkit, dengan kontrol atas kawasan kunci dan rute vital itu, yang dikombinasikan dengan potensi demografi, ekonomi, militer dan ideologi, maka dalam sekejap Khilafah Islamiyyah akan menjelma menjadi adidaya baru di dunia.

Kembalinya Khilafah dan persatuan umat Islam akan mengakhiri hegemoni Barat di negeri Muslim. Hal itu berarti mereka akan kehilangan jaminan untuk merampas sumber-sumber alam umat di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika atau negara-negara di anak benua. Hal itu juga berarti rampasan mereka akan dibekukan dan kependudukan mereka akan berakhir. Demikian juga jalan hidup mereka –demokrasi sekular kapitalisme- tidak dapat dielakkan lagi, akan menemui ajalnya. Hizbut Tahrir telah menyebarkan ide persatuan, Khilafah dan syariah ke lebih dari 50 negara dari Maroko sampai Indonesia; dari Timur Tengah sampai Asia Tengah. Dengan izin Allah Swt, perjuangan ini sukses dalam membuka topeng para penjajah dan agennya. Umat Islam tidak lagi berkumpul di belakang para penguasa yang berkhianat seperti yang mereka lakukan pada tahun 1950-an hingga 1980-an (Al-Waie Januari 2011). Dengan perjuangan yang terus bergulir, Khilafah Islamiyyah hanya masalah waktu, insya Allah.

Wallaahu a’lam bish showab [].

1 komentar: