[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]
Permusuhan Barat yang merepresentasikan peradaban Yahudi, Nasrani,
komunis dan paganis terhadap Dunia Islam tidak pernah surut. Justru
semakin hari semakin bertambah tebal, kuat dan ganas. Apa yang saat ini
mereka sebut sebagai “Perang Melawan Terorisme Global”, juga invasi
militer ke Afghanistan dan Irak, hanya semakin menguatkan kebenaran dan
kepastian realita ‘benturan antara kebenaran dan kebathilan’ yang telah
ditegaskan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Hal ini sejalan dengan pandangan
Bernard Lewis dan Samuel Huntington , bahwa setelah Komunisme runtuh,
musuh Barat berikutnya adalah Islam. Perbedaan yang mendasar antara
ideologi, sejarah dan karakteristik peradaban Islam dengan Barat,
merupakan penyebab utama ditempatkannya Islam sebagai ‘musuh’ bagi
peradaban Barat. Oleh karena itu, perang melawan Islam dan kaum Muslimin
telah dikemas secara sistematis dan terorganisir, sebagaimana yang
telah dicanangkan oleh AS dan diamini oleh 95% negara anggota PBB, tak
terkecuali sebagian besar negara berpenduduk mayoritas muslim. Sementara
itu, umat Islam yang ingin hidup berdasar Al-Quran dan As-Sunnah,
diberi stempel ‘fundamentalis Islam’ ataupun ‘teroris Islam’ yang harus
diburu dan dimusnahkan (Buku “Menanti Kehancuran Amerika dan Eropa”).
Terkait
isu terkini, negara-negara Barat belum lama ini mengumumkan sanksi baru
terhadap Iran setelah PBB mengeluarkan laporan bahwa Iran melakukan uji
coba pengembangan peralatan nuklir (Liputan 6.com). Berita yang
belakangan berkembang, USS John C. Stennis, salah satu kapal induk
terbesar milik AS, memang bergerak ke timur dari Teluk Oman dan melewati
Selat Hormuz. Departemen Pertahanan AS mengatakan USS John C. Stennis
melewati rute rutin untuk mendukung operasi NATO di Afghanistan.
Perkembangan ini terjadi ketika Barat menambah tekanan kepada Teheran
agar menghentikan program nuklir (Militerania). Barat tengah
mempertimbangkan sanksi dengan sasaran sektor keuangan dan minyak Iran
setelah muncul laporan PBB (Liputan 6.com). Presiden Barack Obama pun
bereaksi dengan menandatangani undang-undang tentang sanksi ekonomi
terhadap Iran. Secara khusus UU ini mengatur sanksi kepada bank sentral
Iran, yang selama ini menangani penjualan minyak ke luar negeri
(Militerania).
Sejumlah Sepak Terjang AS
Dengan
mengangkat isu HAM dan demokrasi, dan terakhir isu perang melawan
terorisme, AS sedemikian gencar melakukan intervensi, ekspansi pengaruh
hingga invasi militer ke negara-negara tak berdaya semisal Afghanistan
dan Irak (Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”), hingga pada faktanya,
Afghanistan dan Irak menjadi korban pertama umat Islam bagi kebrutalan
Barat (Buku “Menanti Kehancuran Amerika dan Eropa”). Imperium AS yang
dibangun di atas kekuasaan imperialisme modern dan kapitalisme tak kenal
batas itu, justru makin menjelaskan bahwa sepak terjangnya telah
menyengsarakan masyarakat internasional. Dunia yang telah dibuatnya
bertekuk lutut, dikiranya aman dari perlawanan. Sejumlah negara kompak
melakukan perlawanan, meski terus ditekan dan diancam oleh AS. Embargo
dan sanksi ekonomi yang dijatuhkan pun tak mematahkan semangat
perlawanan mereka. Hal ini bermula dari kawasan Amerika Latin, hingga
beralih ke Timur Tengah sejak tampilnya presiden Iran, Mahmoud
Ahmadinejad. Perlawanan Ahmadinejad ini pun dilandasi kesadaran luhurnya
penghormatan atas hak dan harga diri Iran sebagai negara berdaulat dan
rasa tanggung jawab untuk menciptakan perdamaian dunia berdasarkan
perikeadilan dan perikemanusiaan yang beradab. Itulah sebabnya, Iran
tampil sangat berani menangkis dan melawan setiap perlakuan yang
sewenang-wenang, termasuk melawan kehendak AS agar Iran menutup
instalasi nuklirnya. AS pun tampak sangat geram sehingga menarik peran
DK-PBB dan mengancam akan melancarkan serbuan militer.
Bersamaan
dengan hal itu, kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya, seperti Uni
Eropa, Cina, Rusia dan Jepang pun semakin tumbuh dan berkembang, yang
percepatan pertumbuhan dan perkembangan ekonominya jauh melampaui yang
bisa dicapai AS. Keempat kekuasaan besar dunia ini tampaknya juga sudah
merasakan betapa gerahnya dunia yang dipenuhi oleh unilateralisme
adidaya tunggal, AS. Sementara itu, Dunia Islam yang kini masih pingsan
sesungguhnya juga telah mulai merasakan bahwa dunia kini membutuhkan
suatu keseimbangan kekuatan untuk mengendalikan perdamaian dan
ketertiban serta memajukan kesejahteraan dunia. Dengan demikian, fron
permusuhan AS mencakup Amerika Latin, Timur Tengah dan belahan dunia
lainnya, serta fron persaingan AS meliputi Uni Eropa, Rusia dan Cina.
Negara-negara
yang dahulu bersedia membantu serangan AS ke Irak kini semakin menjaga
jarak dengan AS. Inggris dan Jepang, misalnya, sekarang telah berubah
sikap dengan tak bersedia diajak AS untuk bersama-sama melibas kegiatan
nuklir Iran atau rencana agresi militer ke Iran. AS kini tampak seperti
‘kedodoran’ atau ‘kewalahan’. Apalagi kondisi dalam negeri AS sendiri
juga sedang menghadapi berbagai persoalan cukup berat, mulai dari
defisit anggaran yang kronis hingga taruhan untuk terus bertahan. Semua
ini membuat hegemoni AS di pentas dunia sangat terancam. Sebagian
pengamat, peneliti dan pakar politik hubungan internasional mengatakan
bahwa AS kini sedang menyongsong masa keruntuhan (Buku “Di Ambang
Keruntuhan Amerika”).
AS versus Iran
Kendati
Iran tak mengembangkan teknologi nuklir untuk pembuatan senjata – dan
ini pun sudah dibuktikan melalui inspeksi IAEA – AS dan dunia Barat
melalui DK-PBB bersikukuh hendak menjatuhkan sanksi kepada Iran.
Sejumlah opsi sanksi itu mencakup sekurang-kurangnya sanksi perdagangan
seperti sebelumnya, atau sanksi perdagangan yang diperluas, atau sanksi
isolasi internasional, atau memberi mandat kepada AS untuk melakukan
tindakan militer. Apakah sanksi-sanksi tersebut ampuh dan mampu mengubah
niat Iran? Menurut Ali Pahlevani Rad (Staf Bagian Pers dan Media,
Kedubes Iran di Indonesia), jelas sekali bahwa sanksi dari Barat ini
tidak akan berpengaruh terhadap Iran karena dua hal. Pertama, teknologi
nuklir Iran sudah dikuasai oleh ilmuwan Iran sendiri maka dengan tidak
ada bantuan dari negara lain pun Iran mampu menjalankan dan melanjutkan
program nuklirnya untuk tujuan damai. Kedua, jika Iran ingin menyerah
akibat tekanan Barat khususnya AS, pasti sudah menyerah dari puluhan
tahun yang lalu. AS dan sekutunya juga harus tahu bahwa ini adalah abad
XXI, ketika sebuah negara tidak bisa lagi mendikte negara-negara lain.
Akan
halnya dengan ancaman serangan militer AS, hal itu lebih merupakan
gertak sambal belaka. Buktinya, selama ini AS sudah kerap kali mengancam
akan melancarkan serangan militer terhadap Korea Utara dan Kuba,
ternyata tak pernah diwujudkan. AS hanya berani menyerang Afghanistan
karena negara itu sedang tercabik-cabik perang saudara yang
berkepanjangan. AS juga menyerang Irak karena Irak adalah negara kalah
perang, yang sudah puluhan tahun diembargo dan angkatan udaranya dikenai
larangan bebas terbang karena wilayah udaranya dikerat tiga. Juga akan
halnya dengan inisiatif AS menggalang dukungan dari kelompok 5+1 (AS,
Inggris, Prancis, Rusia, Cina plus Jerman), hal itu tidak berarti AS
akan mampu memberikan tekanan lebih keras terhadap Iran. Malah boleh
jadi hal itu menunjukkan posisi Iran semakin kuat karena selain dari
Rusia dan Cina, Iran bisa melakukan manuver untuk menarik dukungan dari
Jerman yang selama ini bersahabat dengan Iran. Sedangkan AS hanya
didukung Prancis, karena Inggris secara bertahap dan teratur berencana
untuk menarik diri dari berkoalisi dengan AS dalam kasus nuklir Iran
(Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”).
Karakter Geopolitik Negara Adidaya Kapitalis (Inggris dan AS)
Perjuangan
suatu negara untuk mencapai posisinya tidak mengenal henti. Kompetisi
antarnegara dalam kancah politik internasional pun sudah berlangsung
sejak dulu. Dalam setiap lembaran sejarah, akan selalu ada satu negara
yang dianggap sebagai negara yang memimpin dan mengendalikan dunia.
Kompetisi ini selain dipengaruhi oleh keyakinan yang diemban negara,
penduduknya dan sistem yang dianutnya, juga dipengaruhi oleh kekuatan
geostrategis negara tersebut. Barat telah menggunakan istilah geopolitik
dan menurut Oyvind Osterud (1988), yang telah menjadi penting pascamasa
kolonial. Menurut Osterud, tradisi geopolitik mengindikasikan adanya
kaitan sebab akibat antara kekuatan politik dan wilayah geografis.
Istilah geopolitik dalam istilah yang baku berarti kumpulan pemikiran
yang mendalami strategi yang spesifik, yang diformulasikan berdasarkan
kepentingan relatif kekuatan darat dan laut dalam sejarah dunia. Karena
itu, dalam membangun negara terkemuka di dunia, pentingnya kontrol atas
geopolitik internasional tidak bisa diremehkan. Studi komprehensif
terhadap sejarah Inggris dan AS sebagai contoh negara adidaya global
masa lalu dan sekarang, akan menampilkan beberapa kesimpulan penting
mengenai karakter geopolitik sebuah negara adidaya.
Supremasi
Inggris di dunia adalah karena kemampuannya menjajah Afrika, AS,
Semenanjung India dan Timur Tengah. Sebagai contoh, Laut Mediterania
merupakan lokasi geopolitik terpenting bagi Inggris. Dari tahun 1600-an
hingga sekarang, Laut Mediterania membantu Inggris untuk mengontrol
koloninya di Afrika sebagai sumber bahan baku dunia, memelihara
komunikasi dengan Semenanjung India melalui Terusan Suez dan Teluk
Persia, serta menjaga kekuatan Eropa lainnya tetap di luar Timur Tengah,
Asia dan Afrika. Bahkan, hingga hari ini pun, jalur ini masih merupakan
jalur perdagangan tersibuk untuk perekonomian dunia; menghubungkan AS
dan Eropa, dengan Asia dan Timur Tengah. Dengan demikian, fakta sejarah
menunjukkan bahwa Benua Afrika, Timur Tengah, Laut Mediterania, Teluk
Persia dan Semenanjung India menjadi lokasi terpenting dalam kepentingan
geopolitik Imperium Inggris. Dengan menguasai rute dan lokasi penting
ini, Inggris menikmati pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh visi
politiknya. Lebih jauh lagi, sejarah mencatat bahwa Selat Gibraltar,
Terusan Suez, Selat Hormuz di Teluk Persia, dan Selat Malaka memegang
peranan penting dalam mempertahankan Inggris sebagai kekuatan adidaya
selama 200 tahun.
Sementara itu, AS, memiliki catatan
sejarah sebagai satu negara adidaya penting pada masa 1945-1990, dan
adidaya tunggal dunia sejak 1991 hingga sekarang. AS menguasai minyak
dari Timur Tengah untuk mendukung ekspansi ekonomi dan kebutuhan
militernya. Krisis minyak 1973 menunjukkan rawannya ekonomi AS dan
negara-negara Barat lainnya ketika suplai minyak diputus. Karenanya, AS
membangun pangkalan militer di Teluk Persia, Arab Saudi dan Kuwait pada
tahun 1990-an dan di Irak baru-baru ini. Sumber minyak dari Timur Tengah
dikirim ke AS melalui Terusan Suez, ke Laut Mediterania. Untuk
mengamankan suplai minyak itu, AS memerangi keberadaan Inggris dan Rusia
di kawasan itu sejak Perang Dunia II hingga akhirnya menang pada tahun
1990-an selama Perang Teluk I dan jatuhnya Komunisme 1990. Betapa
strategisnya kawasan ini diungkapkan dalam pidato Presiden Jimmy Carter
tahun 1980 yang dikenal sebagai Doktrin Carter, “Sikap kami sudah jelas,
kekuatan asing manapun yang berusaha mengontrol Teluk Persia akan
dianggap sebagai serangan terhadap kepentingan vital AS dan akan
dihadapi dengan berbagai tindakan, termasuk tindakan militer. ”
Faktanya, 23% impor minyak AS berasal dari Timur Tengah. Kini AS
menghadapi persaingan dari Cina dan Rusia terhadap akses minyak Timur
Tengah. Demikian juga menghadapi kompetisi dari India, Jepang dan Uni
Eropa. Karena itu, kawasan Mediterania dan Teluk Persia menjadi lokasi
paling strategis bagi AS yang sudah mengalami perubahan dari peta
kekuatan unipolar menjadi multipolar (Al-Waie Januari 2011).
AS
pun mencoba memanjangkan garis saluran minyak sepanjang Yordania,
Suriah, dan Libanon untuk Laut Tengah/Mediterania. Lalu, Inggris
berusaha menghambat langkah AS. Sebab, Inggris merasa mempunyai akar
keberadaan yang lama di kawasan Timur Tengah yang mampu mempengaruhi
seluruh penguasanya, mengingat semua penguasa Timur Tengah adalah agen
Inggris. Maka, AS menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mengubah
kondisi kawasan Timur Tengah adalah menerapkan politik dengan mewujudkan
penguasa-penguasa militer dan meletuskan revolusi-revolusi. Seiring
runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an di abad yang lalu, dan
kemenangan AS dalam perang di Irak, serta dominasinya atas Kuwait dan
kawasan Teluk; berubahlah perimbangan kekuatan di dunia. AS mulai
menyusun peta baru bagi Timur Tengah. Berdasarkan rancangan itu, Inggris
hanya akan menjadi pemain cadangan yang tidak kuat lagi menyaingi AS,
sehingga posisi dan kedudukan Inggris menjadi merosot. Inggris terpaksa
melakukan intrik-intrik dan manuver-manuver yang lemah. Inggris pun
terpaksa mengandalkan Uni Eropa untuk melaksanakan strategi-strateginya,
yang pada dasarnya adalah strategi-strategi yang ala kadarnya (Kitab
Mafahim Siyasi).
Pada tahun 1952, berlangsung pemilu di AS
yang dimenangkan oleh Partai Republik, yang mendudukkan Eisenhower
sebagai presiden, yang sudah terkenal lebih mengutamakan kepentingan AS
–khususnya kepentingan militer— daripada tekanan Yahudi dan Inggris.
Maka, konflik antara dua negara –AS dan Inggris— menjadi tajam. Salah
satu gejalanya adalah AS mengambil Mesir dan Suriah dari Inggris. Sejak
saat itu negeri-negeri Arab menjadi lapangan yang luas untuk konflik
Inggris-AS. Berbagai aksi politik yang terjadi membuat Timur Tengah
menjadi seperti bola yang berpindah dari kaki AS ke kaki Inggris, dan
dari kaki Inggris ke kaki AS. Begitulah terjadi berulang-ulang (Kitab
Mafahim Siyasi).
Demikian pula AS mampu menanamkan
pengaruhnya dengan kuat –di samping pengaruh Inggris- pada semua negara
Teluk, Yaman, dan Yordania. AS juga mampu bersaing dengan pengaruh
Inggris dan Prancis di negara-negara Afrika dan Turki. Dengan demikian,
AS adalah hegemoni yang sesungguhnya atas negara-negara kawasan Timur
Tengah yang terdiri dari lebih 24 negara. Sementara Inggris terpaksa
merangkak di belakang AS untuk memperoleh sebagian remah-remah
keuntungan, dan menentang AS secara diam-diam dari balik layar tanpa
berani untuk mengajukan rancangannya sendiri secara terang-terangan
untuk menyaingi rancangan AS di kawasan Timur Tengah. Walhasil, dapat
dikatakan bahwa konflik terbuka antara dua negara ini telah berakhir
pada akhir abad yang lalu hingga saat ini. Konflik itu telah berubah
menjadi pola kerjasama dan kesepakatan dengan menobatkan AS sebagai
pemimpin nomor satu di kawasan Timur Tengah dan pemutus
kesepakatan-kesepakatan besar. Sementara Inggris menjalankan peran
sebagai pelayan agar dia tetap eksis. Jadi kemampuan Inggris saat ini,
bahkan kemampuan seluruh Uni Eropa sangatlah lemah dalam hal rancangan
penyelesaian masalah Timur Tengah. Karena itu, kita melihat Inggris dan
negara-negara Uni Eropa menjalankan rencana AS dan bergerak atas dasar
rencana itu. Inggris dan Uni Eropa tidak mampu mengimplementasikan
rencana sesuatu tanpa pengaruh dari AS (Kitab Mafahim Siyasi).
Selat Hormuz; Penting dan Strategis
Selat
Hormuz merupakan kawasan perairan sempit sebagai bagian dari kawasan
Teluk Persia yang termasuk ke dalam wilayah Iran. Di Selat Hormuz,
terletak pelabuhan utama Iran, yaitu pelabuhan Bandar Abbas. Pelabuhan
ini pun merupakan kawasan penting, karena dihubungkan dengan sistem
jalan raya dan jalan kereta api untuk pengangkutan kargo. Jaringan
kereta api Teheran-Bandar Abbas dibangun pada 1995 yang menghubungkan
Bandar Abbas dengan seluruh Iran dan Asia Tengah melewati Teheran dan
Mashad (Wikipedia).
Di satu sisi, konflik bermula ketika
pasukan AL Iran melakukan latihan perang di sekitar kawasan Selat
Hormuz. Manuver AL Teheran ini menjadi pusat perhatian internasional
lantaran sejumlah pejabat Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz bila
Barat menyerang fasilitas nuklir negara itu atau melakukan embargo
ekspor minyak. Bahkan, untuk memperkuat seluruh lini, pasukan Garda
Revolusi Iran siap mengadakan latihan angkatan laut baru di Selat Hormuz
pada Februari mendatang (republika.co.id). Sementara itu di sisi lain,
PBB dan negara-negara Barat mengatakan program nuklir Iran ditujukan
untuk mengembangkan senjata, padahal pemerintah Iran mengatakan program
ini untuk kepentingan damai. Uni Eropa diperkirakan akan mengikuti jejak
Washington dan mungkin akan mengumumkan sanksi baru pada akhir Januari.
Sebelumnya PBB sendiri telah mengeluarkan empat sanksi kepada
pemerintah di Teheran (Militerania). Langkah ini membuat Teheran marah
dan para pejabat tinggi Iran mengancam akan mengganggu jalur minyak di
Hormuz (Liputan 6.com). Menanggapi ancaman ini, Wakil Juru Bicara
Departemen Luar Negeri AS Mark Toner mengatakan bahwa Teheran berusaha
mengalihkan perhatian dari isu utama. "Persoalan di lapangan adalah Iran
selalu menghindar dari kewajiban-kewajiban yang harus mereka lakukan
terkait dengan program nuklir," kata Toner. Sementara itu, Prancis
mendesak pemerintah Iran menghormati hukum internasional. "Selat Hormuz
adalah selat internasional. Oleh karena itu semua kapal, dari negara
mana saja, punya hak melewati perairan tersebut," kata Juru Bicara
Kementerian Luar Negeri Prancis Bernard Valero (Liputan 6.com).
Iran
pun tak gentar. Sebagaimana diliput oleh Liputan 6.com (diakses
07/01/2012), Iran mengatakan bahwa mereka mungkin akan menutup salah
satu jalur minyak utama jika Barat meningkatkan sanksi terhadap Teheran
terkait dengan program nuklir. Wakil Presiden Mohammad Reza Rahimi
memperingatkan, “Tidak setetes pun minyak bisa melewati Selat Hormuz
bila sanksi terhadap Iran ditambah”. Kepala Staf Angkatan Laut Iran
Laksamana Habibollah Sayari juga mengatakan, "Menutup Selat Hormuz lebih
mudah dibandingkan meminum segelas air. Namun untuk saat ini kami
belum merasa perlu menutup selat. Ada Laut Oman yang berada di bawah
kendali kami dan kami juga mengontrol transit di perairan ini." (Liputan
6.com). Sementara itu, Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria
Nuland, menyatakan bahwa AS telah meng-klaim dirinya tidak mencari
masalah dengan Iran, namun AS menegaskan akan melanjutkan perannya dalam
memastikan "pelayaran bebas di dunia". Pernyataan Nuland merupakan
tanggapan terhadap peringatan terbaru yang Iran tujukan kepada kapal
induk AS di kawasan Teluk Persia (Antaranews.com).
Cina,
sebagai salah satu sekutu Iran, menentang sanksi unilateral terhadap
Iran, setelah Presiden AS Barack Obama menandatangani undang-undang yang
menargetkan bank sentral Republik Islam Iran. Cina berulangkali
menyatakan sanksi tidak akan menyelesaikan masalah ini. Cina dan Iran
sendiri saling bermitra ekonomi dalam beberapa tahun belakangan,
sebagian karena perusahaan-perusahaan Barat menarik dirinya menyusul
sanksi terhadap Teheran. Cina dan Rusia yang merupakan sekutu kunci
Iran, kerap berupaya mengambil langkah yang lebih lembut terhadap Iran
ketimbangan tiga anggota tetap Dewan Keamanan PBB lainnya
(Antaranews.com). Berdasarkan hal ini, maka tak heran jika Barat,
khususnya AS, mau tidak mau menjadi sangat ketar-ketir dengan ancaman
penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Jika itu benar-benar dilakukan Iran,
maka pasokan minyak ke luar Teluk pasti macet dan bisa-bisa mengancam
harga minyak dunia. Ujungnya perekonomian Eropa dan AS akan terganggu.
Ini analisis atau hitung-hitungan versi Barat. Tapi bagi Iran,
ancamannya bukanlah gertakan sambal belaka (Kompasiana.com).
Menimbang Kekuatan Iran dan Gelombang Revolusi Arab (Arab Spring)
Iran
bukanlah negara pembeo. Kita kenal dalam sejarah, Negara Persia (Iran
sekarang) menjadi salah satu kekuatan dunia selain Romawi hingga di
zaman Nabi Muhammad dahulu. Persia dan Romawi ibarat AS Serikat dan
Rusia di era Perang Dingin. Kedua negara ini saling rebut pengaruh dan
kekuasaan. Segala jenis taktik dan persenjataan mereka miliki.
Orang-orang Iran terkenal ulet dan pintar. Lihat saja sekarang dia mampu
mengembangkan teknologi Nuklir di negaranya. Jadi AS tentu saja harus
membuat perhitungan matang sebelum bertindak. Sekalipun AS bisa saja
menyombongkan dirinya karena telah berhasil “menjungkirbalikkan” para
penguasa yang dikehendakinya tumbang seperti Saddam Husein, Moammar
Khadafi, dan lainnya. Atau minimal “bisa dipegang hidungnya”, seperti
Arab Saudi, Mesir, Oman, Kuwait, Afganistan, Indonesia, dan negara
lainnya. Dan sepertinya AS masih penuh perhitungan matang di bawah
kepemimpinan Presiden asal Partai Demokrat Obama. Mungkin akan terjadi
perang secepatnya jika AS dikuasai oleh presiden asal Partai Republik.
Sudah menjadi icon, jika pemimpin dari Partai Demokrat lebih
mengutamakan jalur Diplomasi. Obama tidak jauh berbeda dengan kebijakan
Bill Clinton yang mengedepankan Diplomasi. Sedangkan pemimpin asal
Partai Republik -semacam George Bush dan anaknya, George W. Bush- lebih
senang berperang dengan menghabiskan anggaran negaranya. Para pemimpin
negara Arab pun sudah terkooptasi oleh kepentingan AS. Karena rata-rata
mereka sudah dininabobokkan oleh kekayaan dari hasil minyak mereka.
Sementara berharap kepada Liga Arab atau OKI, sudah tidak bertaring
lagi. Sangat jauh pengaruhnya dibandingkan kekuatan PBB yang sudah
disetir oleh AS (Kompasiana.com).
Tak dipungkiri,
gelombang revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara, pun sedang dalam
proses mengubah arah sejarah dunia. Peta keseimbangan kekuatan dan pola
hubungan antarnegara yang baru akan ditentukan dari perkembangan situasi
di dunia Arab saat ini. Tanda-tanda keterlibatan pihak asing dalam
perkembangan situasi di kawasan itu pun makin jelas. Menteri Luar Negeri
AS Hillary Clinton mengakui di depan Komite Perubahan Anggaran Senat
AS, Rabu (2/3/2011), bahwa Pemerintah AS melakukan kontak dan menawarkan
bantuan kepada kelompok-kelompok oposisi di negara-negara yang sedang
dilanda demonstrasi antipemerintah. Artinya, AS mendukung kejatuhan
rezim di negara-negara itu meski sebagian dari mereka adalah sekutu lama
AS, seperti Presiden Mesir Hosni Mubarak atau Presiden Yaman Ali
Abdullah Saleh. Hillary ”membungkus” intervensi AS itu dengan dalih
membendung langkah Iran yang lebih dulu mengintervensi aksi-aksi
antipemerintah di Timur Tengah demi kepentingannya sendiri. Wajar saja
jika AS turun tangan langsung untuk mengintervensi perkembangan situasi
di Timur Tengah dan sekitarnya. George Friedman, pendiri lembaga kajian
intelijen Strategy for Global Intelligence, menyatakan, AS punya tiga
kepentingan utama di kawasan ini, yakni menjaga perimbangan kekuatan di
wilayah rawan konflik, memastikan pasokan minyak, dan mengalahkan
kelompok-kelompok islamis ekstrem yang berpusat di kawasan itu.
Dari
sisi pasokan minyak saja, perkembangan situasi di Timur Tengah saat ini
memang sangat mengkhawatirkan bagi AS. Krisis di Mesir, misalnya,
mengancam akses transpor minyak melalui Terusan Suez. Sementara itu,
gelombang aksi antipemerintah yang mulai merambah negara-negara di Teluk
Persia, seperti Oman dan Bahrain, mengancam jalur pasokan minyak di
Selat Hormuz. Bahkan, Presiden Ali Abdullah Saleh dari Yaman dan
parlemen Iran secara terbuka membuat pernyataan bahwa ada kamar komando
operasi rahasia di Tel Aviv, Israel, yang dikendalikan Gedung Putih
untuk menggerakkan aksi-aksi tersebut. Kerry Raymond Bolton, seorang
doktor teologi dari Academy of Social and Political Research, Mesir,
menulis di forum Foreign Policy Journal (publikasi online khusus berisi
analisis kritis terhadap kebijakan luar negeri AS) bahwa bukan tidak
mungkin gejolak di Timur Tengah saat ini turut didanai pendiri Open
Society Institute, George Soros. Salah satu tokoh oposisi Mesir yang
paling vokal saat terjadi aksi demonstrasi di Alun-alun Tahrir, Kairo,
Mohamed El-Baradei, juga disebut memiliki kaitan dengan Soros karena ia
pernah menjadi anggota dewan pengurus lembaga advokasi International
Crisis Group (ICG). Soros sendiri menjadi satu dari delapan anggota
komite eksekutif ICG. Sementara itu, Samira Rajab, anggota parlemen
Bahrain, akhir Februari lalu, melontarkan gagasan bahwa semua kerusuhan
dan revolusi di Arab saat ini adalah hasil implementasi proyek AS yang
bernama Proyek Timur Tengah Baru. Proyek tersebut dimulai di Irak
beberapa tahun lalu, kemudian menjalar ke Libanon, lalu negara-negara
lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, setidaknya sampai 10
tahun lagi (Kompas.com 03/2011).
Namun informasi yang
muncul adalah kekhawatiran bagi negara-negara di sekitar Iran. Lalu
berkembang isu yang dihembuskan AS bahwa uji coba rudal Iran berpotensi
mengancam negara di sekitarnya sambil menawarkan mesin perang sebagai
upaya mempertahankan diri. Karena, secara politis uji coba rudal Iran
adalah untuk menakut-nakuti negara di sekitarnya, “show of force”. Dan
jelas, AS di sini memanfaatkan situasi (jika tidak mau disebut sudah
main mata dengan Iran) untuk menyulap provokasi menjadi uang, yakni
berjualan senjata. AS menawarkan senjata yang belum di-launching ke
publik setelah kasak-kusuk dari uji coba rudal Iran dengan cara membuat
negara-negara sekitar Iran tegang. Arab Saudi saja sudah memesan 154
pesawat tempur F-15 dari AS, sudah dikirim 84, sisanya yang 70 buah
menyusul. Sebenarnya Israel juga resah dengan sikap AS yang hendak
menjual senjata ke negara-negara Arab sekitar Iran. Tetapi Israel
kemudian tenang setelah dibujuk oleh AS bahwa senjata yang dijual ke
negara-negara teluk tidak sebanding dengan kualitas senjata untuk
angkatan bersenjata Israel. Di sini, sebenarnya motif AS adalah terus
jualan untuk memulihkan ekonomi mereka. Dan bisa jadi, Iran-AS sudah
kerjasama dalam kasus ini. Walaupun AS sedang krisis tapi ‘otaknya’
jalan. Uni Soviet saja pernah dibohongi AS ketika perang bintang. Jadi
jika sekadar memperdaya pemimpin negara-negara teluk, tentu mudah bagi
AS. AS hanya sekadar memprovokasi negara-negara Arab yang sudah kadung
hidup dalam kemewahan dan mereka takut mati untuk membeli senjata buatan
AS. Menurut seorang jurnalis Iran, Iran-AS itu sekadar perang verbal,
perang dalam kata-kata saja. Tidak pernah diwujudkan dalam tindakan. Hal
ini terbukti bahwa dulu AS ingin mengambil Iran dari Inggris setelah
Perang Dunia II, karena Iran punya cadangan minyak. AS memintanya ke
Inggris dan diberi. Inggris sendiri mendapatkan warisan Iran dari
Jerman. AS dalam hubungannya dengan Iran, selalu menyimpan sesuatu yang
tak pernah dipaparkan secara gamblang, alias ada yang disembunyikan.
Skandal Iran-Contra, Misi Rahasia CIA, Iranian Gate, menunjukkan bahwa
apa yang di permukaan bukanlah yang sebenarnya. Sesumbar embargo senjata
AS, menutupi skandal kesepakatan di baliknya. Jadi hampir pasti memang
tidak pernah ada konflik nyata antara Iran dan AS. Khomenei (yang
memimpin Iran di tahun 1978) sendiri pernah menyebut AS sebagai Setan
Besar makin mengukuhkan bahwa ‘perang’ antara AS dan Iran sekadar perang
verbal saja (MediaIslamNet.com).
Sebuah fakta yang belum
pernah diungkap adalah peran Syiah yang bekerjasama dengan AS dalam
Perang Salib. Di waktu para mujahidin berusaha untuk bergabung dari
seluruh penjuru dunia Islam dan menyatukan barisan mereka dalam
menghadapi pasukan Zionis Salibis, muncullah kelompok pengkhianat dan
dajjal di Irak dan Libanon dengan bantuan dari Iran, untuk menikam umat
Islam dari belakang. Yaitu dengan berkolusi bersama musuh Zionis Salibis
dan para antek mereka, demi untuk memusnahkan ahlus sunnah dan
memecahkan jaringan mereka. Kunjungan Ahmadinejad ke Irak serta
diterimanya di Green Zone di bawah penjagaan dan perlindungan AS adalah
untuk meneguhkan sejauhmana pemahaman antara AS dan Iran dalam menjajah
Irak. DR. Abdullah An Nafisi menjelaskan hubungan AS dengan Iran
berkaitan dengan Irak, bahwa Iran dan AS sangat senang sekali, yang
artinya persekutuan kerjasama antara Iran dan AS di dalam menyerang
Taliban di Afghanistan. Dan Iran membuka zona udara bagi tentara AS
selama dua bulan agar pesawat mereka dapat mengebom Tora Bora, Tandzim
Al Qaeda, dan rakyat Afghanistan selama 2,5 bulan. Ini semua adanya
kerjasama dengan Iran. Sedangkan kerjasama setelahnya adalah untuk
menghapus para pengikut rezim Irak sebelumnya. Mereka banyak sekali
bekerjasama. Pasukan AS yang bertolak dari Kuwait menuju Baghdad
melewati gurun pasir An-Nashiriyah, yang membekingi di belakangnya
adalah Brigade Badar yang segera masuk setelah pasukan itu melintasi
perbatasan Kuwait-Irak. Brigade Badar masuk melalui Kut Al-Amarah dan
Sa’ad Al-Gharbi dan melindungi pasukan AS hingga sampai ke Baghdad dan
sampai menjatuhkan rezim. Brigade Badar melindungi pasukan AS hingga
sampai di Baghdad. Artinya dengan semua ini, bahwa ada kerjasama dan
koordinasi yang menguntungkan antara AS dengan Iran berkaitan dengan
Afghanistan dan juga berkaitan dengan pelengseran rezim Irak. Dengan
begitu-para prajurit-jika bisa dikatakan begitu-Pentagon berkata bahwa
orang-orang Iran adalah orang-orang yang adil dan bijak, mungkin kamu
bisa ajak untuk bisnis.”
Sedangkan Sistani (maksudnya
adalah Ali As Sistani, ulama Syiah yang tinggal di Irak), dia adalah
penolong terbaik bagi AS, dia melarang jihad apapun melawan mereka. Itu
sikap representasi dari skandal sejarah dan lari dari perang dan yang
dilakukan oleh sumber Syiah tertinggi di Irak. Syekh Aiman menjelaskan
pengkhianatan Sistani : “Ketika dia merasa AS menyerang kuburan Imam Ali
r.a., di Najaf, di lari ke Inggris dengan dalih “menjalani operasi.”
Padahal itu bukan untuk “menjalani operasi”, tapi hanya pemeriksaan
kesehatan, yang sebenarnya bisa dilakukan di Irak. Jika begitu, maka
hakikat sebenarnya telah terungkap di hadapan seluruh kaum Muslimin
ketika dia tidak mengeluarkan fatwa dan kewajiban menenteng senjata
melawan penjajah agresor Salibis AS di Irak dan Afghanistan dari sumber
Syiah manapun-baik dari dalam maupun luar Irak. Bahkan tersingkap sikap
ketidakkonsistenan mereka. Jihad yang mereka bolehkan di Libanon dan
Palestina menjadi haram di Irak dan Afghanistan, bahkan lebih buruk dari
itu, bahkan mereka menyebut orang yang melakukan jihad dengan sebutan
takfiriyin, Wahabiyin, dan Saddamiyin. Syekh Aiman menjelaskan :
“Artinya bahwa Iran berkuasa dengan mengesahkan PBB sebagai sumber
selain sumber Islam. Baik sumber itu Dewan Keamanan maupun sumber Majlis
Umum PBB. Dan berjanji-berdasarkan komitmen terhadap piagam perjanjian
PBB-untuk menghormatinya sebagai kekuasaan tertinggi, perdamaian dan
kesatuan Negara Israel sebagai anggota dewan PBB. Bahkan lebih dari itu,
mengakui penjajahan Rusia terhadap Chechnya, penjajahan Spanyol atas
Ceuta dan Mellila, dan negeri kaum Muslimin lainnya.”
Tujuan
utama Iran sebenarnya adalah mencari pengaruh politik di manapun yang
memungkinkan. Syekh Aiman menjelaskan kondisi Libanon setelah terjadi
perang dengan Israel : “Ketika terjadi perang di Libanon yang mampu
meraih eksistensi politik bagi pengikutnya, maka mereka ikut berperang
dan ketika pasukan internasional menyanggupi untuk menjaga keberadaan
politik dan militer mereka maka mereka menyetujui pasukan internasional
menjajah Libanon. Mereka juga setuju menggunakan cara kekerasan bagi
Palestina, dimana Hassan Nashrullah mengaku sudah begitu lama berusaha
untuk membebaskannya, akan tetapi sekarang dia menghindar darinya. Dan
ketika bersepakat dengan AS dan mengakui akan pemerintahan mereka serta
kerjasama dalam pemerintahan dan menghentikan jihad kau Muslimin, serta
berperang dibawah Salib mereka, mewujudkan sikap politik mereka di Irak
dan selalu berusaha mencarinya, mereka berkerjasama dengan AS dan
berperang di bawah Salib mereka.” DR. Abdullah An Nafisi menjelaskan
politik Iran : “Iran bertanggung jawab atas hal itu, karena Iran di
antara dua isu, isu membuka diri yaitu isu Islam dan isu umum yaitu isu
anti AS, anti Israel dan seterusnya. Ini sudah mafhum dan dapat
diterima. Akan tetapi isu berkaitan rakyat Iran sebenarnya memiliki isu
lain : isu kekuasaan, isu kontrol, isu penugasan Syiah di Irak
(arrahmah.com).
AS, Timur Tengah dan Potensi Kebangkitan Khilafah Islamiyyah
Berdasarkan
letak geografisnya di Timur Tengah, Selat Hormuz memang menghubungkan
negara-negara penghasil minyak di Teluk seperti Bahrain, Kuwait, Qatar,
Arab Saudi, Uni Emirat Arab dengan Samudera Hindia. Sekitar 40% kapal
tanker minyak dunia melewai selat tersebut (Liputan 6.com). Selat Hormuz
adalah jalur perdagangan minyak dunia. Cina dan Rusia pun memanfaatkan
jalur tersebut untuk kepentingan perdagangan mereka. Selain itu, Rusia
juga punya andil dalam proyek uji coba senjata rudal Iran dengan memasok
komponen senjata. Artinya jika pun terjadi perang AS dengan Iran, akan
mengajak serta Rusia—termasuk Cina, sehingga sejatinya adalah perang
antara AS dengan Rusia (MediaIslamNet.com). Dan sejatinya pun, masalah
Timur Tengah merupakan masalah yang terkait dengan Islam dan bahayanya
bagi Barat. Terkait dengan letaknya yang strategis dan dominasinya
terhadap transportasi Eropa, Afrika dan Asia. Terkait dengan negara
Yahudi yang menjadi garis pertahanan terdepan dari pertahanan Barat. Dan
terkait pula dengan penjajahan serta hasil-hasil penjajahan, terutama
minyak. Jadi, masalah Timur Tengah adalah masalah yang terkait dengan
Islam, letak strategis, negara Yahudi, penjajahan, dan minyak. Tidak
diragukan lagi masalah ini adalah sangat penting, tidak hanya untuk
penduduk kawasan Timur Tengah dan kaum Muslim saja, melainkan juga untuk
seluruh dunia (Kitab Mafahim Siyasi).
Islam, telah dan
senantiasa menjadi bahaya besar atas AS dan Barat. Kawasan Timur Tengah
dapat dianggap tempat titik tolak yang alamiah untuk dakwah Islam ke
seluruh Dunia. Karena itu, tidak aneh AS menjadikan Islam sebagai musuh
utama satu-satunya bagi AS setelah runtuhnya Sosialisme-Komunisme. AS
menggunakan slogan-slogan terorisme, ekstremitas agama, dan
fundamentalisme agama sebagai kedok untuk menyerang Islam dan kaum
Muslim di kawasan ini. AS berusaha dengan segala kekuatan yang
dimilikinya untuk menjauhkan gerakan-gerakan Islam politis dari
kekuasaan. Hal itu dilakukan melalui cara kekerasan, kebrutalan,
penyiksaan, dan pembendungan yang dijalankan oleh rezim-rezim
pemerintahan yang menjadi pengikut AS di kawasan ini. George W. Bush
telah mendeklarasikan Perang Salib Baru untuk menentang kaum Muslim
secara terangterangan. John Aschroft, Jaksa Agung AS, mengatakan dengan
terus terang, “Sesungguhnya terorisme terdapat dalam Islam itu sendiri,
bukan hanya pada orang-orang yang memeluk Islam.” Ia mengatakan pula
bahwa Allah telah mendorong terorisme dalam al-Quran. Ini klaim dia
(Kitab Mafahim Siyasi).
Adapun letak strategis Timur
Tengah dan dominasinya terhadap transportasi, urgensinya dapat dilihat
dari eksistensi Timur Tengah di kawasan titik temu tiga benua lama,
yaitu Afrika, Eropa, dan Asia, serta penguasaannya terhadap Selat
Gibraltar, Bosphorus, Aden, Hormuz, Terusan Suez, Laut Tengah
(Mediterania), Laut Hitam, Laut Merah, dan Teluk Persia. Ditambah lagi
Timur Tengah merupakan titik temu jalur bahan mentah dan komoditas di
antara tiga benua tersebut. Kepentingan strategis Timur Tengah dahulu
telah menimbulkan satu kesulitan antara blok Barat dan Soviet sebelum
era detente. Hal itu dikarenakan Timur Tengah membentuk sabuk barat
dalam wilayah blok yang terletak di kawasan yang mengancam Uni Soviet.
Sabuk ini merupakan garis pertahanan Barat dalam menghadapi Uni Soviet
dari Timur Tengah dan Afrika. Karena itu, di Timur Tengah, Barat
membangun pangkalan-pangkalan militer yang di antaranya adalah pangkalan
nuklir (Kitab Mafahim Siyasi).
Adapun penguasa
negeri-negeri Arab, mereka terus saja melayani AS sampai-sampai rela
menjadi budaknya. Dengan demikian, mereka kehilangan kredibilitasnya di
mata rakyatnya. Majikan-majikan mereka pun memandang rendah kepada
mereka dan terus-menerus menghinakan mereka dan meminta mereka untuk
semakin memasrahkan diri kepada AS. Dengan begitu, para penguasa negeri
Arab itu telah menjadi alat-alat yang mudah diganti oleh tangan
musuh-musuh mereka, sebagaimana terjadi pada Saddam Husein dan pada agen
lainnya. Walhasil, para penguasa negeri-negeri Arab itu tidak lagi
mendapatkan dukungan rakyatnya dan hanya dapat terus berkuasa berkat
dukungan majikan-majikan mereka dan belas kasihan majikan-majikan itu.
Mereka hidup di antara kemarahan rakyatnya dan belas kasihan majikan
mereka. Karena itu, kawasan Timur Tengah adalah kawasan yang dapat
meledak setiap saat sebagai potensi yang sangat besar untuk lahirnya
sebuah negara Islam yang sesungguhnya, yakni Khilafah Islamiyyah (Kitab
Mafahim Siyasi).
Sementara itu, bagaimana kemampuan AS
mempertahankan kebesarannya sedangkan secara internal kekuatannya makin
keropos? AS memang memiliki kemampuan ekonomi dan militer yang demikian
besar, tetapi di balik itu AS juga menanggung resiko ekonomi dan militer
yang besar pula. Kini AS sudah melampaui tahap yang tidak mungkin lagi
bisa ditarik mundur dalam menanggung beban resiko tersebut. Ekonominya
dalam keadaan sakit dan sulit dipulihkan. Militernya selalu membutuhkan
anggaran besar untuk bersiaga dan memenuhi kebutuhan modernisasi sistem
senjata. Sumber-sumber ekonomi yang menghasilkan uang tidak bertambah.
Sangat meyakinkan, kondisi ini berpotensi memperlemah daya saing dan
bahkan mendorong percepatan momen bagi keolengan dan kemudian keruntuhan
AS. Atas dasar itu, mau tidak mau AS harus mengubah kebijakannya
terhadap negara berkembang, khususnya AS harus menghentikan politik
arogansi dan kekerasan untuk diganti dengan politik kerjasama ekonomi
yang berkeadilan. Jika langkah ini tidak ditempuh, bukan mustahil AS
akan mengalami kegagalan yang lebih besar dalam bidang ekonomi, politik
dan militer, bahkan lebih besar lagi ketimbang kegagalan yang ditemuinya
di Irak dan Afghanistan (Buku “Di Ambang Keruntuhan Amerika”).
Kebangkitan Ideologi Islam di Bawah Naungan Khilafah Islamiyyah
Dengan
menunjukkan realita yang ada sekarang, intelijen AS menganggap bahwa
tuntutan umat Islam untuk menginginkan Islam kembali adalah bentuk
ancaman terhadap keamanan dan kepentingan AS. Perjuangan politik dan
ideologi (bukan kekerasan) yang dilakukan oleh aktivis umat Muslim telah
mencapai titik bahwa tuntutan terhadap Khilafah dan syariah adalah
ancaman ideologis terserius yang AS pernah hadapi. Bekas Wakil Presiden
AS, Dick Cheney pada tanggal 23 Februari 2007 secara jelas menyatakan,
“Mereka memiliki tujuan untuk menegakkan Khilafah yang berkuasa dari
Spanyol, Afrika Utara, melewati Timur Tengah, Asia Selatan hingga
mencapai Indonesia – dan tidak berhenti di sana.” Ancaman tentang
Khilafah sering diulang-ulang oleh Pemerintahan Bush dan merupakan
alasan di balik invasi Irak dan Afghanistan (Al-Waie Januari 2011).
Secara ideologi keagamaan, AS tidak begitu risau menghadapi perkembangan
Uni Eropa yang sama-sama menganut Kristen. Begitu pula dengan Cina
(rakyatnya penganut Kong Hu Cu) yang lebih memilih sikap netral terhadap
negara-negara penganut Islam dan Kristen. Atas dasar itu, satu hal yang
paling krusial dihadapi AS adalah seluruh potensi kekuatan Khilafah
Islam yang kini sedang berinkubasi di setiap negara Muslim (Buku “Di
Ambang Keruntuhan Amerika”).
Penjajahan telah menimbulkan
penderitaan bagi Timur Tengah, telah menghilangkan sifatnya sebagai
negara adidaya dan kekuatan global, dan telah mengubahnya menjadi
negara-negara jajahan Barat tempat negara-negara Barat bersaing untuk
menjajah dan memperluas pengaruhnya (Kitab Mafahim Siyasi). Tak
dipungkiri pula bahwa dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan
pesat aktivitas gerakan Islam dan seruan untuk tegaknya kembali Khilafah
Islamiyyah oleh partai politik Islam non-kekerasan yang populer dan
aktif, yang telah menginspirasi Muslim di strategis Timur Tengah dan
sekitarnya ini. Hizbut Tahrir telah menjadi aktor utamanya. Hingga tahun
2010, lebih dari 10 ribu aktivis dan pendukung Hizbut Tahrir dipenjara
di Uzbekistan, termasuk wanita tua (73 tahun) dan anak-anak (13 tahun),
dengan hukuman antara 7 hingga 20 tahun, hanya karena aktivitas dakwah
mereka, bukan karena aksi kekerasan ataupun kejahatan apa pun. Seorang
pengamat independen dari Inggris di Uzbekistan mengatakan, “Barat hanya
punya satu opsi, yaitu diktator brutal Islam Karimov, karena di luar itu
hanya ada Hizbut Tahrir dengan Khilafah Islamiyyah-nya.” (Al-Waie
Januari 2011).
Ancaman Islam politik di kawasan Samudera
Hindia yang meliputi Pakistan, Bangladesh, India dan Indonesia yang
didiami tidak kurang dari 60% populasi Muslim dunia juga telah
mengkhawatirkan pembuat kebijakan AS. Maka dari itu, dari studi yang
mendalam tentang dua kekuatan adidaya penjajah dunia, Inggris dan AS,
beberapa kawasan diketahui menjadi pusat pengaruh yang sangat penting
bagi bangkitnya negara adidaya baru. Kontrol atas pusat pengaruh yang
sangat penting dalam persaingan peradaban. Menilik sisi ekopolitik dan
kepentingan strategis, ada beberapa pusat kawasan yang menjadi kunci
pengendalian dunia, yaitu:
1. Kawasan Mediterania, Timur Tengah dan Teluk Persia
2. Benua Afrika yang kaya sumberdaya alam
3. Asia Selatan dan Asia Tenggara yang terhubung dengan Selat Malaka
4. Kawasan Laut Kaspia dan Laut Hitam
Dari
potensi geostrategis ini, siapapun yang ingin melukiskan masa depan
dunia, akan mendapatkan kesimpulan yang sangat penting dan mendalam.
Umat Islam yang memiliki kesamaan keyakinan, tradisi dan aspirasi masa
depan dan kelak akan disatukan dalam negara Khilafah Islamiyyah dengan
izin Allah Swt menempati posisi strategis. Keempat kawasan kunci serta
rute perdagangan dan perekonomian paling vital yang disebutkan
sebelumnya berada di wilayah kaum Muslim. Begitu Khilafah Islamiyyah
bangkit, dengan kontrol atas kawasan kunci dan rute vital itu, yang
dikombinasikan dengan potensi demografi, ekonomi, militer dan ideologi,
maka dalam sekejap Khilafah Islamiyyah akan menjelma menjadi adidaya
baru di dunia.
Kembalinya Khilafah dan persatuan umat
Islam akan mengakhiri hegemoni Barat di negeri Muslim. Hal itu berarti
mereka akan kehilangan jaminan untuk merampas sumber-sumber alam umat di
Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika atau negara-negara di anak benua. Hal
itu juga berarti rampasan mereka akan dibekukan dan kependudukan mereka
akan berakhir. Demikian juga jalan hidup mereka –demokrasi sekular
kapitalisme- tidak dapat dielakkan lagi, akan menemui ajalnya. Hizbut
Tahrir telah menyebarkan ide persatuan, Khilafah dan syariah ke lebih
dari 50 negara dari Maroko sampai Indonesia; dari Timur Tengah sampai
Asia Tengah. Dengan izin Allah Swt, perjuangan ini sukses dalam membuka
topeng para penjajah dan agennya. Umat Islam tidak lagi berkumpul di
belakang para penguasa yang berkhianat seperti yang mereka lakukan pada
tahun 1950-an hingga 1980-an (Al-Waie Januari 2011). Dengan perjuangan
yang terus bergulir, Khilafah Islamiyyah hanya masalah waktu, insya
Allah.
Wallaahu a’lam bish showab [].
Khilafah adalah janji Allah...
BalasHapus