Selasa, 03 Januari 2012

PEMULIAAN PEREMPUAN TANPA LIMIT SATUAN

[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]




Perempuan, makhluk cantik ciptaan Allah Swt ini bukanlah selebriti di antara makhluk-Nya yang lain. Bukan pula makhluk yang Rasulullaah saw ibaratkan layak untuk disembah. Akan tetapi, profilnya selalu menarik untuk disisir laksana mencari mutiara di kedalaman samudra berkarang terjal.


Terbukti, dalam sejumlah peradaban manusia, antara lain Yunani, Romawi, India, Yahudi dan Arab Jahiliah, perempuan hanya dipandang sebagai bakteri yang tidak layak untuk sekedar hidup. Bahkan dalam peradaban Barat yang dikatakan modern, perempuan hanya menjadi komoditas permainan dan kesenangan ketika masih muda, menarik dan cantik. Akan tetapi saat lanjut usia, bukan tidak mungkin jika nasibnya berakhir di tengah lingkungan panti jompo, na’udzubillah. Maka ingatlah bahwa sepanjang sejarah, perempuan tidak pernah mendapatkan kedudukan yang terhormat, kecuali dalam ajaran Islam (Buku Siroh Shohabiyah Jilid 2). Islam telah jelas memuliakan perempuan tanpa limit satuan, karena kemuliaan perempuan tertuang di dalam Al-Qur’an yang kebenarannya dijaga oleh Allah Swt hingga akhir zaman.



Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan


Berkaca dari pemuliaan Islam terhadap perempuan, berikut ini diulas potret perempuan dalam sistem tanpa Islam, hingga kaum perempuan harus mengemis pengakuan melalui sebuah momentum eksistensi. Faktanya, para aktivis perempuan di dunia telah menandai tanggal 25 November sebagai hari untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan sejak tahun 1981. Sejalan dengan itu, tahun 1993, Kongres Feminis lnternasional mencanangkan bahwa setiap tahunnya selama 16 hari mulai 25 November-10 Desember sebagai masa kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Di Indonesia, kampanye ini dilakukan oleh lembaga masyarakat yang bergerak di sektor advokasi bagi perempuan. Pada tanggal 17 Desember 1999, Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 25 November sebagai "Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Resolusi 54/134)" (antaranews.com, 25/11/2011).


Risa Amrikasari, pemerhati masalah sosial dan perempuan, dalam memperingati Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Jumat, 25/11/2011) di Jakarta, menyatakan bahwa pemerintah hendaknya lebih peduli terhadap kasus-kasus kekerasan yang kerap terjadi pada perempuan. Menurut Risa,  saat ini Indonesia memang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination All Form of Against Women (CEDAW). Indonesia sudah sepantasnya serius dan menaruh perhatian lebih pada kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan. Hal ini sebagai bukti komitmen Indonesia terhadap dunia internasional (antaranews.com, 25/11/2011).


Selanjutnya, sosialisasi perundang-undangan yang mengatur anti kekerasan terhadap perempuan harus semakin dipacu. Hal ini karena efektivitas keberadaan undang undang sangat tergantung pada pemahaman bersama antarmasyarakat dan antara masyarakat dengan negara. Kasus-kasus yang terjadi di masyarakat adakalanya tidak terselesaikan secara hukum karena belum dipandang sebagai prioritas oleh lingkungan dan aparatur negara. Jika ada laporan-laporan, maka saat ini masih dipandang sebagai persoalan domestik atau masalah yang tidak menjadi prioritas dan diharapkan diselesaikan secara damai, apalagi menyangkut kekerasan psikis yang tidak berwujud secara fisik.


Keberhasilan kampanye dan sosialisasi oleh pemerintah dianggap masih harus diukur ulang, sementara itu target baru juga harus ditetapkan. Misalnya kekerasan psikis, yang nyatanya lebih rumit, harus diprogramkan agar menjadi kesadaran individu warga negara bahwa itu juga merupakan pelanggaran hukum. Tugas negara adalah membongkar persepsi budaya yang keliru dan akhirnya menjustifikasi pelanggaran hukum atas kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Di sektor kekerasan terhadap perempuan, masyarakat dan lembaga non pemerintah sendiri yang masih memimpin dan memperjuangkannya. Meski negara sudah memberi perhatian, akan tetapi masih banyak hal yang perlu dilakukan dan dipercepat (antaranews.com, 25/11/2011).



Perempuan dan Kekerasan


Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. Seringkali kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan jender.  Ketimpangan jender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki.  “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan (Kesrepro.info, 24/12/2007).


Kekerasan rumah tangga (kekerasan yang terjadi di rumah atau di dalam keluarga) adalah jenis kekerasan jender yang paling umum. Ini terjadi pada perempuan tanpa memandang usia, pendidikan, atau status ekonomi. Korbannya adalah perempuan di negara-negara berkembang dan negara-negara Barat lainnya. Situasi ini telah menyebabkan para ahli kesehatan masyarakat untuk mempertimbangkan kekerasan terhadap perempuan sebagai masalah kesehatan masyarakat global - dimana diperlukan pendekatan kesehatan masyarakat. Sebagaimana halnya kanker, kekerasan adalah salah satu penyebab kematian dan cacat yang umum di kalangan perempuan usia produktif, dan merupakan penyebab yang lebih besar daripada sakit, kecelakaan lalu lintas dan malaria.


Data secara internasional telah membuktikannya. Beberapa studi yang dilakukan di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa setiap tahun sekitar 4 juta perempuan diserang secara fisik oleh suami atau pasangan mereka. Di setiap negara, dimana telah dilakukan penelitian yang dapat diandalkan, statistik menunjukkan bahwa antara 10-50 persen perempuan melaporkan bahwa mereka telah disiksa secara fisik oleh pasangan intim selama masa hidup mereka. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), efek yang paling merusak dari kekerasan jender di seluruh dunia adalah kekerasan terhadap perempuan yang meliputi hampir 1,6 juta jiwa setiap tahun, yaitu sekitar 3 persen dari semua penyebab kematian. Belum lagi dengan fakta bahwa 25 persen pasien perempuan sakit jiwa yang mencoba bunuh diri adalah korban kekerasan rumah tangga.


Kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah yang mengejutkan terjadi di Meksiko. Menurut Kementerian Kesehatan Meksiko, sekitar satu dari tiga wanita menderita kekerasan rumah tangga, dan akibatnya diperkirakan lebih dari 6.000 perempuan meninggal di Meksiko setiap tahun. Menurut studi 2006 tentang perempuan di Meksiko, yang disponsori oleh pemerintah (Encuesta Nacional sobre la DinĂ¡mica de las Relaciones en los Hogares 2006), 43,2 persen perempuan dengan usia lebih dari 15 tahun telah menjadi korban dari beberapa bentuk kekerasan di dalam keluarga selama hubungan terakhir mereka.


Kekerasan dalam rumah tangga juga tersebar luas di banyak negara Afrika. Di Zimbabwe, menurut laporan PBB, jumlahnya menyumbang lebih dari enam dalam sepuluh kasus pembunuhan di pengadilan. Menurut survei, 42 persen perempuan di Kenya dan 41 persen di Uganda melaporkan telah dipukuli oleh pasangan mereka. Meskipun beberapa negara, seperti Afrika Selatan, telah lulus undang-undang hak-hak perempuan, namun untuk mengimplementasikan secara penuh masih merupakan sebuah tes besar masih belum lulus.


Di China, menurut survei nasional, kekerasan rumah tangga terjadi pada 1/3 dari negara dengan 270 juta rumah tangga. Sebuah survei yang dilakukan oleh China Law Institute di Gansu, Hunan, dan provinsi Zhejiang menemukan bahwa 1/3 dari keluarga yang disurvei telah menyaksikan kekerasan dalam keluarga, dan bahwa 85 persen korban adalah perempuan.


Di Rusia, diperkirakan kematian akibat kekerasan rumah tangga tahunan adalah lebih dari 14.000 perempuan.  Natalya Abubikirova, Direktur Eksekutif Russian Association of Crisis Center, dalam sebuah pernyataan untuk Amnesti International, menarik sebuah garis paralel yang dramatis untuk mencakup ruang lingkup masalah. Ia menyatakan bahwa jumlah kematian perempuan setiap tahun di tangan suami dan mitra mereka di Federasi Rusia kurang lebih sama dengan jumlah total prajurit Soviet yang tewas dalam 10 tahun perang di Afghanistan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dewan Perempuan di Moscow State University, 70 persen perempuan yang disurvei mengatakan bahwa mereka telah mengalami beberapa bentuk kekerasan fisik, psikologis, seksual, atau ekonomi oleh suami mereka. Sekitar 90 persen responden mengatakan bahwa mereka juga menyaksikan adegan-adegan kekerasan fisik antara orang tua mereka ketika mereka masih anak-anak atau pernah mengalami kekerasan semacam ini dalam pernikahan mereka sendiri.


Penelitian yang dilakukan di beberapa negara-negara Arab menunjukkan bahwa setidaknya satu dari tiga perempuan dipukuli oleh suaminya. Meskipun ada konsekuensi serius terhadap kekerasan rumah tangga, akan tetapi peningkatan frekuensi kekerasan terhadap perempuan tidak cukup sebagai bukti bagi pemerintah Arab dan negeri-negeri Arab lainnya untuk mengatasi masalah ini. Dana Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UNIFEM) menyatakan bahwa hingga saat ini tidak ada mekanisme komprehensif dan sistematis untuk mengumpulkan data yang dapat diandalkan tentang kekerasan terhadap perempuan di negeri-negeri Arab. Di banyak negeri Islam atau negara-negara dengan mayoritas Muslim, ayat-ayat Al Qur'an  terkadang digunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap perempuan (termasuk pembunuhan) lebih didasarkan pada budaya daripada alasan keagamaan dan dibenarkan oleh kebutuhan untuk melindungi kehormatan keluarga (Cesar Chelala di dalam erabaru.net, 25/03/2010).


Khatimah


Ulasan di atas telah memperjelas bahwa sejatinya peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan seolah tidak dapat berperan lebih sebagai momentum eksistensi perempuan, selain hanya sebatas formalitas. Pencanangannya sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu nampak tiada guna. Terlebih dengan kampanye yang akan berakhir tanggal 10 Desember, seolah kemuliaan perempuan hanya layak didengungkan selama 16 hari. Ternyata hanya sampai di situ kemampuan sistem kapitalistik-sekular menghargai perempuan. Padahal di sisi lain, kaum feminis seringkali menuduh Islam sebagai agama yang sarat ketidakadilan pada perempuan. Jika faktanya telah nampak di atas, maka sebenarnya siapa yang tidak adil.


Dalam Islam terdapat penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia, yaitu kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah) dan naluri (ghorizah). Penyimpangan humanistik berupa kekerasan terhadap perempuan tidak cukup diselesaikan sebatas landasan eksistensi, perasaan dan standar manusia. Akan tetapi harus dikembalikan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang harus memiliki kesadaran hubungan dengan Allah Swt, sehingga segala perbuatannya harus terikat dengan hukum Islam baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Hal ini sebagaimana dari Usamah bin Syarik, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Apa-apa yang tidak disukai Allah darimu, maka janganlah engkau kerjakan, (meskipun) sedang sendirian.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya). Jadi jelas, standarnya adalah halal dan haram.


Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena pelakunya tidak mengerti sama sekali tentang cara memuliakan perempuan. Jika di banyak negeri Islam atau negara-negara dengan mayoritas Muslim, dimana ayat-ayat Al Qur'an  terkadang digunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap perempuan, maka sejatinya mereka tidak memiliki pemahaman terhadap Al-Qur’an itu sendiri. Ayat berikut seringkali menjadi kambing hitam atas pembenaran bahwa Islam memerintahkan kekerasan terhadap perempuan:


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (TQS. An-Nisaa [4]: 34).


(Keterangan: [289]. Maksudnya: Tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya; [290]. Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik; [291]. Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya; [292]. Maksudnya: untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya).


Berdasarkan hal ini maka jelas bahwa tudingan dan pandangan sempit mengenai posisi perempuan dalam Islam adalah kesalahan penafsiran terhadap ayat di atas.


Lebih dari itu, Islam adalah aqidah aqliyyah yang terpancar darinya aturan. Islam telah dengan sangat jeli mengatur kemuliaan perempuan sebagai bagian dari perintah Allah Swt. Kemuliaan perempuan tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalistik-sekular meski negara yang menganutnya berpenduduk mayoritas muslim. Formalisasi pemuliaan perempuan memerlukan peran negara sebagai penegak aturan. Negara ini adalah negara Islam yang menegakkan aturan Allah Swt dalam pemeliharaan urusan rakyatnya dengan kebijakan yang sesuai syariat Islam secara paripurna dalam bingkai Khilafah. Kaum perempuan tidak perlu meragukan kemuliaan yang dapat diraih dalam kehidupan di bawah naungan Islam. Kaum perempuan juga tidak harus mengemis sebuah eksistensi, karena dalam Khilafah Islam, kemuliaan itu bukan fiksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar