[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]
Perempuan, makhluk
cantik ciptaan Allah Swt ini bukanlah selebriti di antara makhluk-Nya yang
lain. Bukan pula makhluk yang Rasulullaah saw ibaratkan layak untuk disembah.
Akan tetapi, profilnya selalu menarik untuk disisir laksana mencari mutiara di
kedalaman samudra berkarang terjal. Terbukti, dalam sejumlah peradaban manusia,
antara lain Yunani, Romawi, India, Yahudi dan Arab Jahiliah, perempuan hanya
dipandang sebagai bakteri yang tidak layak untuk sekedar hidup. Bahkan dalam
peradaban Barat yang dikatakan modern, perempuan hanya menjadi komoditas
permainan dan kesenangan ketika masih muda, menarik dan cantik. Akan tetapi
saat lanjut usia, bukan tidak mungkin jika nasibnya berakhir di tengah
lingkungan panti jompo, na’udzubillaahi min dzaalik. Maka ingatlah
bahwa sepanjang sejarah, perempuan tidak pernah mendapatkan kedudukan yang
terhormat, kecuali dalam ajaran Islam (Buku Siroh
Shohabiyah Jilid 2). Islam telah jelas memuliakan perempuan tanpa limit
satuan, karena kemuliaan perempuan tertuang di dalam Al-Qur’an yang
kebenarannya dijaga oleh Allah Swt hingga akhir zaman.
Akan tetapi, realita
buruknya kondisi masyarakat termasuk perempuan, merupakan hal yang wajar jika
dikaitkan dengan situasi global yang tengah didominasi sistem kapitalisme.
Sistem yang tegak di atas asas sekularisme-liberalisme ini memang memiliki
watak imperialistik dan eksploitatif. Dan ini tercermin dalam berbagai aturan
hidup bebas yang dilahirkannya. Masih segar dalam ingatan, sejak tahun 2010 yang berpuncak di akhir 2011
hingga awal 2012, kasus pelecehan seksual di kendaraan umum telah menjadi hal
yang wajar. Mulai dari kejadian pelecehan seksual di KRL Jabodetabek dan bus
transjakarta, pemerkosaan di mobil angkutan perkotaan, hingga pelarangan rok
mini bagi staf perempuan di Gedung DPR.
Ambillah contoh kasus di bus transjakarta. Bus yang lebih akrab disebut busway ini telah menjadi transportasi
sehari-hari bagi mayoritas karyawan dan karyawati perkantoran
yang notabene adalah kaum terpelajar. Namun kenyataannya, nafsu tidak mengenal pendidikan dan tempat.
Apa mau dikata, inilah prinsip kebebasan individu
yang menyimpang, bertindak bebas menurut pembenaran pemikiran sendiri tanpa
memperhatikan orang lain. Solusi pemisahan antrean khusus penumpang laki-laki dan perempuan di halte-halte busway terbukti tidak efektif. Penumpang, baik laki-laki maupun perempuan, tak dijamin dapat tertib di
jalur antrean yang disediakan, karena dalam
keadaan terburu-buru. Begitu juga dengan solusi busway khusus
wanita, karena tidak menutup kemungkinan pelecehan oleh
sesama wanita yang mengalami kelainan seksual (kompasiana, 24/08/2011).
Lain Indonesia, lain pula di Barat. Di AS sebagai jantung kapitalisme,
telah dilansir berita tentang Jessica Simpson, seorang aktris dan penyanyi,
yang menjadi model foto tanpa busana dan tengah hamil tua untuk sampul majalah Elle edisi bulan April 2012 nanti. Selebriti
dunia yang pernah berfoto semacam Simpson antara lain Demi Moore, Britney
Spears, Mariah Carey, Claudia Schiffer dan Christina Aguilera (antaranews.com,
08/03/2012). Dan yang sangat menakjubkan, berita ini masuk kategori terpopuler
di setiap laman manapun dan saat mengakses berita apapun di dunia maya. Dengan
kata lain, berita ini juga telah menjadi berita terpopuler di dunia. Tentu
terbayang pula bagaimana komentar-komentar yang beredar seputar kemunculan foto
tersebut. Kata-kata tidak senonoh sudah pasti tidak dapat dihindari. Demikian
kiranya saat anatomi tubuh telah menjadi komoditas ekonomi kapitalistik, na’udzubillaahi min dzaalik…
Maka, perempuan seperti inikah yang layak dilindungi? Mereka tidak
menghargai kehormatannya sendiri. Lebih parahnya, masyarakat dunia menikmati,
negara-negara sekular pun memfasilitasi. Tak heran jika sampai muncul survey
tentang negara yang paling banyak mengakses situs porno, di mana Indonesia
termasuk salah satu dari 10 besarnya (kompas.com, 15/03/2012). Namun, perempuan
semacam ini memang tetap berhak dilindungi, tapi mereka juga harus dibuat
mengerti mengenai sisi kemuliaan yang mereka miliki. Jangan-jangan, mereka
sendiri tidak pernah mengetahui sisi kemuliaan dirinya yang harus terjaga.
Faktanya, mereka menghalalkan segala cara hingga menjual kemolekan tubuhnya pun
karena motivasi ekonomi. Sebagaimana kisah seorang perempuan yang rela menjadi
bintang utama film porno dengan bayaran hanya Rp 250.000,- untuk satu kali shooting film (inilah.com, 12/03/2012).
Betapa murahnya.
Islam adalah aqidah aqliyyah yang terpancar darinya aturan. Syariat Islam
telah memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif warga negara tanpa
membedakan kaya atau miskin. Warga negara
dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan
aman. Islam pun telah dengan sangat jeli mengatur kemuliaan
perempuan sebagai bagian dari perintah Allah Swt. Nabi
saw bersabda sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Umar: “Ingatlah, setiap kalian adalah
pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya....”
(HR. Bukhari, Muslim).
Bicara pemuliaan perempuan, maka harus dikembalikan bahwa sejatinya
setiap muslim memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan
kapasitas yang telah Allah Swt tetapkan. Ketaatan masing-masing individu
terhadap peran dan tanggung jawab tersebut akan menentukan kemuliaan dan
derajat seseorang. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa…”
(QS Al-Hujurat [49]: 13).
Jika sistem
kapitalisme-sekular terbukti gagal mensejahterakan apalagi memuliakan dan melindungi perempuan, maka sekarang
saatnya menguji kemampuan sistem Islam sebagai satu-satunya sistem pengganti
kapitalisme. Sistem Islam yang akan diimplementasikan
secara riil oleh institusi negara, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah. Kesejahteraan
secara umum diartikan sebagai optimalisasi pemenuhan seluruh potensi yang
dimiliki manusia, baik yang terkait dengan kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) seperti sandang,
pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan termasuk agama sebagai
tuntunan hidup, maupun pemenuhan kebutuhan pelengkap (al hajat al kamaliyat) yang berupa kebutuhan sekunder dan tersier.
Terkait dengan
jaminan keamanan sebagai perlindungan atas kehormatan perempuan, maka penerapan
aturan yang tegas dalam bentuk sanksi diberikan kepada siapa saja yang akan
mengganggu keamanan jiwa, darah, harta bahkan kehormatan orang lain, baik
pelakunya berasal dari kalangan pejabat negara, keluarga penguasa maupun rakyat
biasa (perempuan-laki-laki, kaya-miskin, muslim-nonmuslim). Islam memandang perempuan sebagai suatu kehormatan yang
wajib dijaga dan dipelihara. Islam mensyariatkan kerudung dan jilbab adalah
untuk menjaga dan memelihara kehormatan itu. Nabi saw bersabda: “Perempuan itu adalah aurat.” Badan
perempuan harus ditutupi sebagai aurat yang merupakan kehormatan baginya. Jika
aurat itu dilihat orang yang tidak berhak, maka perempuan itu dilecehkan
kehormatannya.
Dalam Islam, perintah
menutup aurat tercantum dalam QS. An-Nuur [24] ayat 31 dan
QS. Al-Ahzab [33] ayat 59 berikut ini:
“Katakanlah kepada perempuan yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung
ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
perempuan-perempuan islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan)
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.” (QS. An-Nuur [24]:
31).
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh
mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Ahzab [33]: 59). -- [1232] Jilbab ialah
sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Peraturan-peraturan Islam merupakan hukum-hukum syara’ yang berkaitan
dengan ibadah, akhlak, makanan, pakaian, mu’amalah dan ‘uqubat. Hukum-hukum
syara’ yang berkaitan dengan ibadat, akhlak, makanan dan pakaian termasuk hukum
yang tidak boleh dicari ‘illat-nya. ‘Illat adalah latar belakang
diberlakukannya suatu hukum. Hal ini berarti, hukum yang seperti ini diambil
sesuai dengan apa yang tercantum dalam nash. Kaidah yang demikian juga berlaku
untuk hikmah yang tersebutkan dalam nash-nash syara’, maka pengertian hikmah
pun terbatas pada apa yang tercantum dalam nash dan diambil hanya dari nash,
tidak boleh dianalogikan dengan hal yang lain (Kitab Mafahim HT). Jika dalam terjemahan QS. Al-Ahzab ayat 59 disebutkan bahwa “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”, maka ini menunjukkan bahwa mengenakan jilbab itu
mengandung hikmah, yaitu supaya perempuan tersebut lebih
mudah untuk dikenal sehingga mereka
tidak diganggu.
Hal ini sebagaimana kisah di zaman Rasulullah saw. Jika orang-orang
fasik melihat seorang perempuan yang mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan
bahwa ini perempuan merdeka dan mereka tidak berani mengganggu perempuan itu. Jika
mereka melihat perempuan itu tidak mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan
bahwa ini budak perempuan, sehingga mereka menggodanya. Perempuan berjilbab itu
menjadi mulia karena diketahui bahwasanya mereka adalah perempuan merdeka
sehingga orang-orang fasik itu tidak mengganggunya. Orang-orang fasik tidak
berani mengganggu muslimah, karena pelecehan terhadap muslimah akan menerima
hukuman besar. Disamping itu, segala gangguan dan pelecehan terhadap muslimah
pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap kehormatan kaum muslimin secara
keseluruhan (Buku “Jilbab, antara Trend
dan Kewajiban”).
Khilafah Islamiyyah
memberikan keamanan yang nyata kepada warganya, termasuk perempuan, dari
gangguan yang merusak kehormatannya. Cukuplah kisah tentang perang Bani Qainuqa’
sebagai bukti. Pada saat itu pasar Bani Qainuqa’ (salah satu komunitas Yahudi
di dalam kota Madinah) sedang dalam suasana yang ramai hingga datang seorang
perempuan Arab dengan membawa perhiasan untuk dijual di pasar tersebut.
Perempuan itu duduk di kedai tukang emas milik salah seorang Yahudi. Tiba-tiba
datang seorang Yahudi lainnya dari arah belakang perempuan itu secara
mengendap-endap dan mengikat baju perempuan itu dengan alat pengait ke
punggungnya. Ketika perempuan itu berdiri, auratnya tersingkap dan orang-orang Yahudi tertawa
terbahak-bahak sambil menghina. Seorang laki-laki Muslim yang kebetulan
melihatnya menjadi marah. Dia menikam tukang emas itu lalu membunuhnya.
Pembunuhan ini mengundang kemarahan kaum Yahudi. Mereka beramai-ramai
mengeroyok orang Islam itu dan membunuhnya. Keluarga Muslim yang terbunuh
tersebut berteriak meminta tolong kepada kaum Muslim untuk menghadapi kaum
Yahudi, lalu mereka datang menyerang kaum Yahudi. Sehingga terjadilah
perselisihan antara kaum Muslim dan orang-orang Yahudi. Sebelum
kerusuhan pecah dan semakin meluas, Rasul saw sebenarnya sudah meminta kaum
Yahudi agar menghentikan gangguan mereka, namun kumpulan manusia terkutuk ini
justru makin menampakkan kemarahan. Rasul saw terpaksa keluar bersama-sama kaum
Muslim dan mengepung Bani Qainuqa’ dengan sangat rapat selama 15 malam.
Perlindungan serupa juga terjadi pada masa
kepemimpinan Khalifah Al-Mu’tashim di mana pernah terjadi pelecehan seorang
Muslimah oleh pejabat Romawi di kota Amuria. Dalam menindaklanjuti pelecehan
ini, Khalifah Al-Mu’tashim pun menurunkan ribuan pasukan hingga akhirnya kota
Amuria ditaklukan hanya gara-gara membela seorang perempuan. Hal ini sangat
berbeda dengan apa yang kita lihat pada hari ini. Ketika ratusan TKI mengalami
pelecehan seksual, penyiksaan fisik hingga pembunuhan, alih-alih pemerintah
bersikap seperti Khalifah Al-Mu’tashim, yang nampak justru mereka lemah dan
tidak berdaya. Sungguh ironis!
Kemuliaan perempuan tidak akan pernah terlindungi dalam sistem kapitalistik-sekular
meski negara yang menganutnya berpenduduk mayoritas muslim. Formalisasi
pemuliaan perempuan memerlukan peran negara sebagai penegak aturan, yaitu
aturan Allah Swt dalam pemeliharaan urusan rakyatnya secara paripurna dalam
bingkai Khilafah. Dengan demikian, jelaslah bahwa Khilafah Islamiyyah
merupakan sistem pemerintahan Islam sebagai kepemimpinan umum kaum muslimin
yang menerapkan Islam secara utuh dan menyeluruh dalam pengaturan urusan dalam
negeri dan luar negeri. Khilafah Islamiyyah telah terbukti secara de facto dan de jure berhasil menaungi manusia dengan kesejahteraan dan kemuliaan. Kaum perempuan tidak perlu meragukan kemuliaan yang
dapat diraih dalam kehidupan di bawah naungan Islam. Kaum perempuan juga tidak
harus mengemis sebuah eksistensi. Karena dalam Khilafah Islam, kemuliaan itu
bukan fiksi.
Meyakini Sistem Islam dan Khilafah dg penerapan aturannya hanya bisa dilakukan dg keimanan. Tanpa itu, org hanya menganggapnya ilusi atau utopi.
BalasHapussadari hubungan kita dengan Allah Swt, maka peran dan tanggung jawab sebagai makhluk-Nya pun insya Allah akan terikut pada sikap dan aktivitas kita_bahwa hanya ridho Allah Swt yg kita kejar sebagai standar kebahagiaan...
BalasHapus