[Upik Elvarelza dan Nindira
Aryudhani]
Isu kenaikan harga BBM awal April nanti
telah menuai protes dari berbagai kalangan. Bagaimanapun, kenaikan harga BBM memang
berpotensi menimbulkan efek domino pada setiap lini kehidupan. Protes kenaikan
BBM antara lain dilakukan oleh para mahasiswa, yang dengan berbagai latar belakangnya
telah satu suara untuk menolak kenaikan harga BBM. Aksinya pun bermacam-macam, mulai
dari mengadakan kajian dan diskusi di kampus, audiensi dengan institusi, hingga
demonstrasi. Demonstrasi memang langkah efektif para mahasiswa untuk mengekspresikan
kekecewaan sekaligus menyampaikan pernyataan sikap mereka terhadap kebijakan
pemerintah yang terbukti menyengsarakan rakyat ini. Hal ini pun menjadi potensi
yang tak diragukan, karena aksi mahasiswa memang pernah mampu membawa perubahan
pada tahun 1998 saat melengserkan Soeharto.
Kini, berbagai aksi yang telah digelar
pada umumnya menyuarakan “BBM naik, SBY turun”. Organisasi mahasiswa pun berusaha melakukan hal konkrit untuk menuju
perubahan, seperti membakar ban, menyegel SPBU, membakar foto presiden dan semacamnya. Aksi unjuk rasa
besar-besaran melibatkan buruh, mahasiswa, dan berbagai unsur elemen masyarakat
telah diberitakan akan digelar pada 27 Maret 2012 di Jakarta, sejak beberapa hari sebelumnya. Aksi demo ini
digelar untuk menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi (tribunnews.com, 24/03/2012).
Mendudukkan Permasalahan
Yang selanjutnya harus berani diakui,
ternyata hal konkrit tersebut telah hampir permanen dianggap oleh para
mahasiswa bahwa dengannya maka kebijakan yang menyengsarakan rakyat dapat
dihentikan. Wajar jika hal ini menuai pro dan kontra dari masyarakat. Mengingat, tak
jarang aksi yang dilakukan memang merugikan masyarakat, seperti kemacetan, rusaknya
fasilitas publik dan keterlambatan pengiriman minyak karena truk pengisi BBM dihadang
oleh mahasiswa. Secara logika, perubahan seperti apakah yang ingin diaruskan
melalui langkah seperti ini? Apakah membakar ban dan penyegelan SPBU bisa
mengubah kebijakan? Apakah mengganti presiden bisa menjamin turunnya harga BBM?
Kiranya,
pernyataan Andi Nurpati, Mantan komisioner Komisi
Pemilihan Umum (KPU) cukup
relevan. Andi Nurpati mengatakan bahwa siapapun presiden yang berkuasa,
pasti akan menaikkan harga BBM pada akhirnya (tribunnews.com, 25/03/2012). Maka jelas, bahwa mindset tentang langkah konkrit
tadi terkategori tidak solutif. Karena disadari atau
tidak, memang tidak masuk akal.
Pergantian presiden yang telah
berkali-kali selama ini tidak mampu membawa revolusi yang sejati. Hal ini
karena akar permasalahannya terletak pada ideologi, bukan pada presiden.
Buktinya, pelengseran Soekarno dan naiknya Soeharto adalah pergantian presiden
sekaligus perubahan ideologi. Maka wajar, jika peraturan yang diterapkan juga
memiliki karakter yang berbeda, tergantung pada ideologinya. Tapi faktanya,
pelengseran Soeharto serta naiknya presiden-presiden setelahnya, hanyalah pergantian presiden,
bukan ideologi. Maka tak heran, jika peraturan yang diterapkan sama-sama membuat
rakyat terpuruk. Demikian pula di
masa Soekarno.
Karena ideologi yang pernah diterapkan, sama-sama tidak shohih.
Ideologi di negeri ini adalah ideologi
yang salah, baik masa Soekarno maupun Soeharto dan setelahnya. Nyatanya,
ideologi orde lama, orde baru dan pascareformasi melahirkan sistem pemerintahan
yang rapuh. Terlebih orde baru dan pascareformasi, di mana muncul fenomena
untuk bisa mengubah undang-undang sesuka hati sesuai dengan “keinginan” siapa saja
yang sedang berkuasa. Contohnya saja UU Migas No.20 tahun 2001 pasal 28 yang sudah dianulir
saat Purnomo Yusgiantoro masih menjabat sebagai Menteri ESDM. Tapi kemudian
dihidupkan lagi saat jabatan tersebut digantikan oleh Jero Wacik, yang justru memberikan
modifikasi pada UU tersebut, sehingga Pertamina tidak menjadi single player (Halqoh Islam dan Peradaban, 21/03/2012).
Jadi, kenaikan
harga BBM ini jelas merupakan dampak penerapan sistem
kapitalisme di negara ini. Kaum kapitalis telah mendikte para penguasa untuk meliberalisasi
sumber daya alam, hingga menindas rakyat kita. Jadi, layakkah untuk masih
percaya pada sistem berstandar ganda dan berasas manfaat ini? Jawabannya tidak.
Paradigma Perubahan
Uraian di atas jelas tidak bisa
dibiarkan, sehingga harus menjadi motivasi untuk melakukan perubahan.
Perubahannya pun bukan sebatas langkah konkrit secara fisik, melainkan harus
berawal dari konsep yang mendasar. Jika permasalahan yang timbul berupa
liberalisasi, maka perkara yang harus diganti adalah pihak yang telah
melahirkan masalah tersebut, yaitu ideologi kapitalisme. Perubahan konsepnya
pun harus dimulai dari penggantian ideologi yang memiliki kekuatan sebanding
dengan ideologi kapitalisme, yaitu ideologi Islam, bukan yang lain.
Islam merupakan seperangkat aturan yang
datang dari Allah Swt, Sang Pencipta manusia dan seluruh alam semesta, maka
sudah pasti aturan tersebut sesuai untuk mengatur ciptaan-Nya. Dengan demikian,
pengaturan kehidupan manusia yang meliputi pengelolaan sumberdaya energi,
termasuk BBM, hanya akan mensejahterakan mereka jika diatur dengan sistem
Islam. Rasulullaah saw bersabda: “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga perkara. (Yaitu) air, padang
gembalaan dan api. Menjualnya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2463). Menurut madzhab Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali, yang dimaksud
dengan api adalah berbagai sumber alam yang biasa digunakan untuk menghasilkan
panas dan energi, seperti kayu, batu bara, gas alam dan minyak bumi (Buku “60 Hadits Sulthaniyah”). Dan BBM termasuk
dalam kategori minyak bumi.
Oleh karena itu, negara tidak boleh
mengadopsi pengelolaan BBM dengan model privatisasi liberal, di mana berbagai
komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat justru dijual kepada
perusahaan-perusahaan swasta, sehingga masyarakat tidak bisa mendapatkan haknya
atas komoditas-komoditas tersebut kecuali hanya dengan membelinya. Kondisi seperti
ini akan menciptakan sebuah masyarakat yang timpang. Karena golongan masyarakat
yang memiliki kekayaan menjadi satu-satunya golongan yang tidak mampu mengakses
berbagai layanan pokok (Buku “60 Hadits
Sulthaniyah”).
Kondisi dan Sikap Mahasiswa
Selanjutnya, mahasiswa, sebagai
kalangan intelektual dan pihak yang memiliki kapasitas berpikir lebih tinggi,
tentu harus ambil bagian dalam sebuah arus perubahan pada setiap periode.
Mahasiswa pun harus bergerak dengan landasan yang benar dan memiliki ketergabungan dalam tim yang solid
untuk melaksanakan perubahan yang dicita-citakan.
Maka mari kita kritisi sejumlah
iming-iming untuk mahasiswa seperti kabar bertandangnya sekelompok aktivis mahasiswa
bersama rombongan Presiden SBY ke Beijing, Cina, di tengah berkecamuknya
kondisi sosial-politik dalam negeri akibat isu kenaikan harga BBM. Sejumlah pemuda
Indonesia yang datang ke Beijing itu terdiri atas para pimpinan nasional dan
daerah KNPI serta sejumlah anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) beberapa
universitas. Menurut Yudhoyono, para pemuda
asal Indonesia dan asal Cina adalah aset kedua negara pada masa depan. Presiden menegaskan Indonesia dan Cina akan berubah pada dua
puluh tahun atau tiga puluh tahun mendatang. Pada saat itu, para generasi muda
yang akan memanggul kepemimpinan bangsa. Hubungan
antarnegara seharusnya tidak hanya diisi dengan kerja sama pemerintahan, namun
juga harus diisi dengan kerja sama kepemudaan dan pendidikan. “Ini adalah modal
yang luar biasa bagi hubungan strategis kedua negara,” katanya (antaranews.com,
24/03/2012).
Cina dan
Indonesia sudah menjalin kerja sama di bidang pendidikan. Sejumlah mahasiswa
Indonesia menuntut ilmu di negeri Tirai Bambu itu. Presiden membantah kedatangan para pemuda ke Cina atas
inisiatif pemerintah Indonesia. Menurutnya, kedatangan para pemuda itu atas
undangan pihak Cina, khususnya All
Chinese Youth Federation. Hal yang sama
juga diungkapkan oleh Deputi Menteri Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian
Pemuda dan Olahraga, Alfitra Salam. Menurutnya, keberangkatan para pemuda dan
mahasiswa itu tidak membebani APBN. Khusus untuk BEM, menurut dia, hanya 15 BEM
yang bersedia berangkat ke Cina, sedangkan yang lain menolak untuk berangkat. Sekitar
80 pemuda dan mahasiswa akan berada di Cina selama sembilan hari. Mereka akan
mengunjungi beberapa tempat, antara lain sekolah-sekolah olahraga, dan beberapa
tempat khas di Cina. Menurut Alfitra, para
pemuda Indonesia dan Cina juga menandatangani sejumlah nota kesepahaman (antaranews.com,
24/03/2012).
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi
Mallarangeng juga telah menjelaskan bahwa undangan untuk pemuda dan BEM tidak ada hubungannya dengan kunjungan
Presiden ke Cina meski waktunya bersamaan. Agendanya pun berbeda. Namun, pimpinan BEM
justru mengaku menerima undangan dari Kemenpora dengan ajakan ke Cina bersama
Presiden Yudhoyono (mediaindonesia.com, 22/3/2012). Jika kondisi mahasiswa
mudah menerima rayuan seperti ini, maka siapa yang
kemudian akan berani mengkritisi penyimpangan-penyimpangan akibat kebijakan
kapitalistik Pemerintah sebagaimana kenaikan harga BBM? Mengingat, lawatan ke
Cina itu berpotensi membungkam dan membunuh sikap kritis mahasiswa sebagai the agent of change. Dan ini bukan dongeng.
Terbukti, Kepala Divisi Humas BEM Universitas Indonesia (UI) Adi Pranata mengatakan bahwa Ketua BEM UI Faldo
Maldini mengaku dihubungi seseorang dari Kemenpora yang mengundangnya mengikuti
kunjungan Yudhoyono ke Cina selama lima hari, 20-25 Maret. Namun, Faldo menolak
ajakan itu. “Undangan itu datang di
saat BEM UI bersama masyarakat sedang berjuang agar harga BBM tidak dinaikkan,”
kata mahasiswa Fakultas Ekonomi UI itu. Tanpa sadar, mahasiswa yang memenuhi undangan ke Cina dinilai sebagai pengkhianat
karena rakyat sedang berjuang agar harga BBM tidak naik (mediaindonesia.com,
22/3/2012). Demikian halnya dengan
yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Ketua BEM Universitas
Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Badrul Zaman, Wakil Presiden BEM
Universitas Jayabaya, Tanggon, dan aktivis BEM Universitas Bung Karno (UBK)
Deni. Mereka
berbicara terkait ajakan Kemenpora kepada aktivis BEM untuk berkunjung ke Cina (globalmuslimcommunity, 21/03/2012).
Khatimah
Kita seharusnya
tidak sekedar menolak kenaikan BBM tapi juga mencampakkan
sistem demokrasi dan menggantinya dengan syariah dalam bingkai Khilafah.
penolakan sistem demokrasi adalah bagian dari keimanan.
Demokrasi adalah sistem kufur yang bertentangan dengan akidah dan syariat
Islam. Hal ini terjadi lantaran Demokrasi telah melegitimasi manusia untuk
membuat hukum di atas hukum Allah. Maka siapa pun penguasa dari sistem kufur
tersebut ia adalah penguasa yang zalim, karena penguasa yang mengurus pemerintahan saat
ini tidak berdasarkan Islam.
Perguliran waktu harus menjadikan
mahasiswa senantiasa berorientasi sebagai kaum pemikir dengan mindset sebagai the agent of change atas landasan keyakinan terhadap ridho Allah
Swt. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Serta QS. Ar-Ra’du ayat 11: ”…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya
dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Dengan demikian, arah dan posisi
pergerakan mahasiswa telah menjadi jelas dalam mengkritisi isu kenaikan harga BBM. Ternyata isu
tersebut tidak membutuhkan “langkah konkrit” sebagai solusinya. Tapi lebih jauh
lagi, langkah konkrit yang mampu menggerakkan hanya bisa dilakukan dengan mulai
mengubah arah pemikiran yang akan memandu dan mendeskripsikan target yang ingin
diraih oleh mahasiswa menuju sebuah perubahan sejati.
Wallaahu
a’lam bish showab [].
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus