[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]
Anak adalah permata hati. Maka sudah pasti jika
kehadirannya merupakan anugerah terindah yang pernah dimiliki oleh orang tua.
Hingga Allah Swt berfirman secara khusus untuk menjaga anak-anak kita, yaitu: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan Memberi Rezeki kepada mereka dan
juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
(TQS Al-Israa [17]: 31). Demikian pula firman Allah Swt yang telah mengabadikan
kisah Luqman dalam Al-Qur’an: “Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ ” (TQS
Luqman [31]: 13).
Kedua ayat di atas tentu dapat menjadi renungan
mendalam. Karena seiring perkembangan zaman, fenomena dunia anak telah diakui jauh
dari makna firman Allah Swt tersebut. Bukan sulap bukan sihir, satu di antara
segudang fakta masa kini sebagai buah lingkungan sekular-kapitalistik adalah
kasus AMN (13 tahun), siswa sekolah dasar yang
menusuk temannya sendiri, SM (13 tahun) di Cinere, Depok, pada 17 Februari 2012
lalu (tempo.co, 20/02). Mereka berdua adalah siswa kelas VI SD Negeri I Cinere. Saat
ini, AMN telah ditahan di tahanan anak, Polsek Beji, Depok (detiknews, 21/02). Peristiwa
ini terjadi hanya karena sehari
sebelum penusukan terhadap SM (Kamis,
16 Februari 2012) AMN
mendapat ancaman dari SM
bahwa dirinya akan
dilaporkan ke polisi jika ponsel SM
yang dia curi tidak dikembalikan (tempo.co, 18/02).
Ketua
Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Kak Seto pun angkat
bicara, yaitu setelah menemui
AMN di tahanan. Menurut Kak Seto,
AMN
membuktikan jika tindakan penikaman terhadap SM adalah hasil dari kekerasan
yang dapatkan dia sebelumnya. Seperti mengalami kekerasan dari keluarga, yakni
ditendang, ditampar dan pukuli berulang kali. Tidak mendapatkan uang jajan dan yang paling
menakutkan adalah perceraian kedua orang tua. Jadi untuk mendapatkan perhatian
dari keluarga anak itu bertingkah nakal. Kak Seto
berharap
keluarga pelaku mau mendatangi korban untuk meminta maaf. Ini untuk kebaikan
semua. AMN
juga belum bisa dipidanakan karena masih dibawah umur. Kak Seto melanjutkan, AMN
tidak akan dikeluarkan dari sekolah. Sebab, dalam waktu dekat seluruh
pelajar akan menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN). Pihaknya juga sudah meminta
Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok dan pihak sekolah untuk memberikan hak
kepada tersangka dan korban menyelesaikan ujian. AMN pun tidak bisa dikeluarkan
dari sekolah, karena itu tidak ada dalam aturan (detiknews,
21/02).
Sementara
itu, Kapolresta Depok, Kombes Pol Mulyadi Kaharni menuturkan, akan tetap melanjutkan proses
hukum kepada AMN.
Pihaknya juga menjerat AMN
dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, pasal 82 Tahun 2002 dengan ancaman 12
tahun penjara. Karena
masih dibawah umur, AMN hanya
akan menjalani separuhnya. Sejak pemeriksaan awal, siswa kelas VI SD itu telah menyesali segala perbuatan
yang dilakukan kepada rekannya tersebut. Upaya selanjutnya adalah melakukan tes psikologi kepada AMN dengan bantuan psikolog
dari Universitas Indonesia (UI) sebagai
langkah untuk penyelidikan lebih lanjut faktor penyebab kejadian naas tersebut. Masa depan AMN juga
harus tetap diperhatikan,
sehingga harus ada jalan keluar (detiknews, 21/02).
Tak hanya Kak Seto, kasus ini pun telah mampir dan
menjadi perhatian di meja Panja di Komisi III DPR yang sedang
membuat RUU Peradilan Pidana Anak. Menurut
salah satu anggota
Komisi III DPR dari Gerindra, Martin Hutabarat, RUU Sistem Peradilan
Pidana Anak yang sedang dibahas Komisi III saat ini mengedepankan diversi
sebagai usaha melindungi seorang anak yang terlibat sebagai pelaku dalam suatu
tindak pidana. Diversi adalah usaha penyelesaian di luar proses peradilan yang
memberikan wewenang kepada penyidik untuk mencari penyelesaian lain dengan
persetujuan korban atau keluarganya. Diharapkan dengan mengedepankan
usaha-usaha seperti itu akan tercapai keadilan restoratif yang memuaskan semua
pihak. Di
RUU itu, lanjut Martin, diperlukan peran penyidik memahami UU dan peraturan
tentang anak itu sehingga tidak terulang lagi kasus tentang 2 kakak beradik FA
(14) dan BR (17) di Sijunjung, Sumatera Barat, yang dilaporkan tewas karena
bunuh diri setelah diduga mendapat penganiayaan petugas. FA ditahan seminggu di
sel polisi karena dituduh hendak mengambil uang dari kotak amal sebuah masjid. Sejumlah LSM dan orangtua
pemerhati anak diundang untuk bertemu dengan Panja RUU Peradilan Pidana anak untuk
membahas RUU ini di DPR. Dipastikan kasus penusukan SM oleh AMN, tabrak lari HRR di
Makassar dan meninggalnya
kakak beradik FR dan BR yang dilaporkan bunuh diri di Sijunjung akan menjadi
pembahasan yang memperkaya RUU ini (detiknews, 21/02).
Berawal dari hakikatnya, setiap manusia, tidak
terkecuali anak, membutuhkan sahabat dalam hidupnya. Sahabat bisa membuat anak
menjadi lebih terbuka karena posisi mereka sejajar, bisa saling mengisi
sekalipun sering diselingi pertengkaran. Bersahabat dengan anak, merupakan
salah satu bentuk pola pengasuhan yang dapat diterapkan orang tua dalam
pendidikan anak. Sebagai sahabat, semestinya orang tua akan menjadi teman yang
menyenangkan bagi anak, membantu menyelesaikan masalah, mengingatkan jika anak
berbuat salah atau hanya sekedar pihak pendengar bagi anak. Bersahabat dengan
anak, akan membuat orang tua lebih mudah memahami sifat dan karakter anak,
kekurangan dan kelebihannya serta kebiasaan baik dan buruk anak, sehingga orang
tua dapat mengoptimalkan potensi anak sekaligus memperbaiki kekurangan anak
(Al-Waie Februari 2012).
Berkaca dari kisah AMN di atas, menunjukkan bahwa generasi yang akrab dengan konflik dan kekerasan di
lingkungan tempat ia hidup, kondisinya sangat labil dan mudah goncang. Perilaku AMN adalah wujud respon reaktif dan emosional terhadap masalah yang menimpanya. Sudah semestinya orang tua
merupakan pihak pertama yang didatangi jika anak mengalami masalah. Sesibuk
apapun orang tua, harus tetap memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak.
Komunikasi ini akan menjadi jalan untuk menumbuhkan pengertian dan kepercayaan
anak kepada orang tua. Akan tetapi, komunikasi yang baik tidak pernah diperoleh
AMN dari keluarganya.
Dilema hukuman pada anak
sebenarnya bermuara pada kesalahan orientasi dalam penetapan ukuran anak dan
dewasa. Sanksi pemenjaraan bagi anak pelaku kriminal seperti
AMN adalah
ekses, akibat yang muncul dari sebab. Islam menggariskan bahwa anak yang
mencapai usia baligh secara bersamaan harus pula sampai pada tingkatan ‘aqil’,
berakal, yaitu matang dalam pemikiran. Fakta saat ini menunjukkan
sebaliknya, anak-anak mencapai masa baligh, tapi penalarannya masih jauh dari
matang. Fakta ini muncul dari penetapan definisi anak ala Barat, yang
lahir dari suatu yang mereka klaim sebagai ‘hasil penelitian psikologi ‘.
Barat mendefinisikan anak
adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.
Ini karena mereka berangkat dari asumsi, bahwa anak usia 12-18 tahun, masih
berada dalam masa transisi dan turbulensi, yang berakibat pada labilnya emosi
dan belum matangnya penalaran anak. Konsekuensinya, anak usia ini belum
dapat dihadapkan di muka hukum. Definisi ini kemudian dibakukan sebagai
standar internasional. Dalam
kondisi seperti yang terjadi saat ini, menghukum anak-anak pelaku kejahatan
sebagaimana menghukum orang dewasa memang terkesan tidak adil. Ini karena
kejahatan anak bukan semata-mata kesalahan anak, tetapi juga pengaruh sekian
banyak faktor perusak yang ada di keluarga, masyarakat, dan negara.
Terlebih lagi, ini adalah kesalahan ketika menjadikan masa baligh tidak bersamaan
dengan ‘aqil’.
Dalam Islam terdapat
penyelesaian permasalahan kehidupan berdasarkan penanganan potensi manusia,
yaitu kebutuhan jasmani (hajatul
udhowiyah) dan naluri (ghorizah). Pendefinisian anak dan
sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam hukum
Islam. Ini karena ketika anak sampai di usia baligh, maka ia terbebani
dengan taklif, yang membuat amalnya diperhitungkan sebagai pahala dan
dosa. Begitu pula anak yang sudah baligh dianggap layak untuk mampu
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. “Baligh” diambil dari bahasa
Arab yang secara bahasa memiliki arti “sampai“,
maksudnya “telah sampainya usia
seseorang pada tahap kedewasaan“. Menurut Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo dalam bukunya Fiqh Anak, secara etimologis, al-bulugh ialah al-wushul al-idrak (sampai dan
mengenal/memahami). Sedangkan menurut makna terminologis, al bulugh adalah habisnya masa
kanak-kanak. Para
ulama berbeda pendapat mengenai tanda-tanda seorang anak telah mencapai
usia baligh. Menurut Huzaimah T. Yanggo, jumhur ulama berpendapat,
tanda-tanda kedewasaan yang terdapat pada masing-masing laki-laki dan perempuan
: al-ihtilam atau
bermimpi berhubungan suami-isteri. Disamping itu, ada juga tanda khusus
bagi anak-anak wanita, yaitu haid atau menstruasi dan kehamilan. Dalil
bahwa tanda-tanda baligh adalah dengan bermimpi adalah firman Allah: ”Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur
baligh (al hulum=mimpi), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti
orang-orang yang sebelum mereka meminta izin“
(TQS.An-Nur[24]:59).
Umumnya anak laki-laki
mengalami baligh pada usia 12-15 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia 9-12
tahun. Baligh,
tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada
kewajiban memenuhi seruan Allah. Mulai saat itu, seorang anak dikatakan
telah dewasa. Dia berkewajiban terikat dengan hukum syara. Menurut
Huzaimah, dia telah memiliki kelayakan mendapat tugas ( ahliyat al-wujub), dan kelayakan
dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara sempurna (ahliyat al-‘ada). Jika dia
mentaati aturan, maka dia akan memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar
aturan syariat, maka akan kena sanksi. Semua yang dilakukan akan
dipertanggung jawabkan sendiri. Tidak bisa dilimpahkan atau digantikan
oleh orang lain. Begitupun
di hadapan hukum pidana, anak ketika mencapai usia baligh dapat dimintai
pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan yang
dilakukannya. Dalam
Islam, hal itu adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai baligh, ia
sekaligus juga mencapai “aqil”, sehingga layak untuk dihadapkan pada
konsekuensi hukum. Yang saat ini menjadi masalah tentu adalah bagaimana
agar anak saat baligh ia juga mencapai tahap “aqil”.
Pendidikan anak tidak
dapat semata-mata dilakukan oleh keluarga. Ada banyak tantangan, yang
keluarga tidak mampu untuk mengatasinya, seperti lingkungan pergaulan yang buruk, maraknya peredaran
miras dan narkoba, derasnya tayangan porno, merebaknya pemikiran yang
sesat-menyesatkan. Dalam
pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi
anak dan mengatasi persoalan kejahatan anak ini secara sempurna. Ini
karena Islam telah menjadikan berbagai hukum yang menjauhkan anak dari tindak
kriminal dan mewajibkan negara untuk menerapkan hukum tersebut
(www.hizbut-tahrir.or.id).
Keyakinan seorang hamba akan hubungannya dengan Allah Swt
adalah mutlak sebagai bentuk ketaqwaannya. Ketaqwaan ini sendiri merupakan pilar pertama bagi
tegaknya suatu negara. Dimana dua pilar yang lain adalah kontrol dari
masyarakat dan negara sebagai penegak aturan. Masyarakat sebagai pengontrol
harus memiliki perasaan, pemikiran, peraturan yang sama, yaitu atas landasan
Islam agar segala bentuk perilaku individu dalam kehidupannya itu senantiasa
terjaga dengan benar. Masyarakat pun akan kondusif dengan suasana ‘amar ma’ruf
nahyi mungkar. Selanjutnya, negara sebagai penegak aturan adalah negara yang
menegakkan aturan Allah dalam pemeliharaan urusan rakyatnya, baik dari sisi kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah)
maupun naluri (ghorizah). Negara adalah
pengambil kebijakan yang berlandaskan syariat Islam dalam bingkai Khilafah,
sehingga rakyat senantiasa terkondisikan untuk menyempurnakan ketaatannya
kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar