[Sri Mulyati, S.Hut.]
Indonesia
adalah negara terkaya yang memiliki kekayaan alam berlimpah dengan pemandangan
eksotik dari puncak gunung hingga ke dasar laut, tanah subur (banyaknya gunung
berapi dan terletak di antara garis khatulistiwa), lautan terluas di dunia dan
dikelilingi oleh dua samudera (jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki oleh negara
lain), hutan tropis terbesar di dunia (133.300.543,98 ha dengan keanekaragaman
dan plasma nuthfah terlengkap), cadangan gas alam terbesar di dunia tepatnya di
blok Natuna (Blok Natuna D-Alpha memiliki 222 triliun kaki kubik cadangan gas),
dan pertambangan emas terbesar dengan kualitas terbaik di dunia (bernama PT
Freeport Indonesia). Selain sumber daya alam, Indonesia juga memiliki sumber
daya manusia yang sangat besar dengan jumlah penduduk terhitung tahun 2010
menurut kementerian Dalam Negeri sebanyak 259.940.857 jiwa, yang berarti Indonesia
menjadi negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat setelah China, India
dan Amerika.
Sebagai bangsa terbesar keempat di
dunia dengan sumber daya alam yang kaya, Indonesia berpotensi menjadi negara
besar dan kuat dan terdepan di bidang ekonomi, politik dan pertahanan keamanan.
Namun realitasnya, Indonesia justru terperosok dalam krisis multidimensi yang
berkelanjutan; miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan
bangsa-bangsa lain. Deretan lainnya yang menambah potret buram bangsa ini
adalah kedaulatannya telah tergadaikan pada kekuatan asing dan telah terseret
menjadi subordinat bagi kepentingan korporatokrasi – gabungan kekuatan
korporasi, institusi keuangan internasional (IMF, Bank Dunia), dan pemerintah
yang menyatukan kekuatan finansial dan politik guna memaksa warga dunia
mengikuti kehendak mereka – secara global. Dalam posisi subordinat, bangsa ini
tidak mampu memelihara kemerdekaan, kedaulatan, dan kemandiriannya. Apalagi
menjadi bangsa besar yang kuat dan terdepan.
Negara Gagal karena Penerapan Sistem
Kapitalis
Kabar naiknya harga BBM telah mendominasi pemberitaan di media massa. Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy mengatakan, kenaikan harga bahan bakar (BBM) membuktikan kalau pemerintah tidak menjalankan mandat penguasaan sumber daya minyak dengan baik. Itu pun dilakukan tidak untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Hal ini membuktikan kalau pemerintah gagal mengelola produksi minyak bagi kepentingan nasional. “ Ini juga bukti kalau pemerintah berhasil didikte oleh kekuatan asing agar harga energi umumnya dan premium khususnya tunduk pada mekanisme pasar bebas .” Ia menjelaskan, pemerintah akan berlaku tidak adil dengan menetapkan harga premium berdasarkan harga internasional. Pasalnya, pendapatan masyarakat Indonesia tidak bertaraf internasional. Pemerintah juga dianggap mengajarkan hal yang tidak mendidik. ‘’Saat produksi dan penyediaan energi diserahkan ke tangan swasta, maka pemerintah sebenarnya sedang menegakkan berlakunya prinsip-prinsip mekanisme pasar bebas. Dua hal itu mewajibkan pemerintah tidak tunduk pada kemauan atau tekanan korporasi atau industri minyak melalui lembaga-lembaga internasional,’’ tutur dia. (republika.co.id, 26/2/2012)
Permasalahan
BBM merupakan bagian dari produk sistem kapitalis. Dalam bingkai politik
demokrasi, ruang kebebasan atas dasar sekulerisme terbuka lebar. Ini bisa
dilihat pada UU No. 22/2001 tentang Minyak Bumi dan Gas yang mencantumkan
pembatasan kewenangan Pertamina sebagai pemain utama di sektor ini, sekaligus
pemberian hak/kewenangan kepada perusahaan minyak lain—baik perusahaan domestik
maupun asing—untuk terlibat di sektor ini. Dengan kata lain, pemerintah telah
memberi jaminan privatisasi bagi para pemilik modal untuk mengeksploitasi
kandungan minyak bumi dalam negeri. Seperti yang terjadi pada blok Cepu.
Pemerintah malah memberikan kontrak pengelolaan sumur minyak dengan kandungan
mencapai 180.000 barel per hari ini ke tangan Exxon Mobil. Bukan Pertamina yang
jelas-jelas perwakilan negara dalam penyediaan kebutuhan BBM dalam negeri.
Dampak permasalahan BBM ini merembet pada tingkat kesejahteraan penduduk.
Jumlah keluarga miskin semakin meningkat.
Kegagalan negara pun terlihat dengan
adanya revisi terhadap UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. RUU pangan yang kini
mulai dibahas di DPR masih menyisakan banyak masalah. Kritik tentang isi RUU
Pangan makin deras mengalir dari kampus. Kali ini disuarakan guru besar Ekonomi
Pertanian/ Agribisnis Universitas Gajah Mada, Masyuri. Sang professor dengan
tegas menyatakan keberatannya terhadap konten RUU Pangan, yang mengindikasikan
pengalihan wewenang dalam mengelola pangan kepada pemerintah daerah. Alasannya,
pengelolaan pangan yang diserahkan ke masing-masing daerah akan membuka pintu
liberalisasi lantaran manajemen daerah yang lemah. APBD dan kemampuan investasi
yang terbatas membuat produksi komoditas pangan di daerah menjadi tidak
profitable. “Daerah yang surplus komoditas pangan utama akan cenderung membuat
harga tidak menarik. Akhirnya daerah tersebut akan mengurangi produksi pangan
utama dan beralih ke komoditas yang memiliki nilai jual tinggi. Sementara
daerah yang defisit pangan bakal semakin terjepit, karena terus bergantung pada
impor,” ungkapnya.
Nah, dalam kondisi tersebut, maka pintu-pintu liberalisasi akan terbuka. Dari pintu-pintu kecil di daerah itulah, kapitalisme akan masuk membawa kepentingan asing, untuk kemudian menguasai pangan strategis secara nasional (2/11/2012). Substansi RUU tersebut memang masih jauh dari semangat kemandirian pangan dan pemenuhan hak rakyat atas pangan. RUU ini masih dominan melihat pangan hanya sebagai komoditas dan bukan dari sisi pangan sebagai hak rakyat. Revisi UU ini kental dengan aroma pembukaan kran impor, dimana swasta dibebaskan bermain di pasar dan impor. Ini berpotensi membuat petani dan rakyat kecil semakin tidak sejahtera.
Nah, dalam kondisi tersebut, maka pintu-pintu liberalisasi akan terbuka. Dari pintu-pintu kecil di daerah itulah, kapitalisme akan masuk membawa kepentingan asing, untuk kemudian menguasai pangan strategis secara nasional (2/11/2012). Substansi RUU tersebut memang masih jauh dari semangat kemandirian pangan dan pemenuhan hak rakyat atas pangan. RUU ini masih dominan melihat pangan hanya sebagai komoditas dan bukan dari sisi pangan sebagai hak rakyat. Revisi UU ini kental dengan aroma pembukaan kran impor, dimana swasta dibebaskan bermain di pasar dan impor. Ini berpotensi membuat petani dan rakyat kecil semakin tidak sejahtera.
Hal lain dari aspek ini adalah
ketidakberdayaan negara untuk mencegah dampak kehancuran institusi keluarga dan
masyarakat akibat cara pandang liberalisme terhadap pergaulan remaja. Seks
bebas dikalangan remaja kian memprihatinkan.
Fakta menunjukkan bahwa remaja Indonesia saat ini telah menjadi korban arus liberalisasi. Menurut hasil survey terakhir Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di 33 propinsi sepanjang tahun 2008, jumlah
remaja usia sekolah di Indonesia yang sudah melakukan hubungan seksual di luar
nikah mencapai angka 63%. Ironisnya, 21% diantaranya melakukan aborsi. Hasil mencengangkan diutarakan Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin
mengenai prilaku seks bebas di kalangan remaja. Angka seks bebas di kalangan
remaja mengalami kenaikan yang drastis dibandingkan data 2010. Berdasarkan data
Dinkes Kota Banjarmasin, hingga akhir 2011 ada peningkatan pada persalinan
remaja. Dari sebanyak 50 orang pada 2010, melonjak menjadi 235 orang pada 2011.
Data lainnya terjadi pada kasus KTD (Kehamilan yang tidak diinginkan), dari 35
orang 2010, melonjak menjadi 220 orang pada 2011. Data tersebut berdasarkan
acuan dari 26 Puskesmas se Kota Banjarmasin yang bekerjasama dengan UKS (Unit
Kesehatan Sekolah) untuk jenjang SMP dan SMA di sekuruh Kota Banjarmasin.
Dengan rentang usia dari 9 tahun hingga 19 tahun. (21/2/2012)
Inilah potret remaja bangsa ini yang telah terjerat arus kehidupan
liberalisme. Mereka adalah korban kapitalisasi-liberalisasi. Gaya hidup yang
disebarkan oleh sistem kapitalisme-liberalisme ini telah menjauhkan dan
mengeluarkan remaja dari masa depannya. Bahkan bangsa ini akan menjadi bangsa
yang lemah dan tergantung dengan bangsa dan negara lain karena tidak lagi
memiliki generasi pemimpin yang kuat dan tangguh.
Konsep Negara
Mandiri
Jika bangsa ini bersungguh-sungguh
untuk keluar dari krisis multidimensi, maka persoalan mendasar yang harus
terselesaikan adalah persoalan asasi yang mendasari bangsa ini yakni ideologi.
Karena dengan ideologi suatu negara akan memecahkan persoalan kehidupannya
berikut tata cara praktisnya. Indonesia adalah negeri Islam, maka Islamlah yang
diambil sebagai asas bagi bangsa ini. Karena Islam adalah ideologi yang
memiliki konsep yang jelas dalam menyelesaikan persoalan umat manusia atau
bangsa. Islam memiliki tatanan sistem berbasis Aqidah dan Syariat yang sangat
komprehensif; sistem politik Islam dalam bentuk kekhilafahan meniscayakan
sebuah negara yang akan memiliki kemerdekaan dan kedaulatan penuh; sistem
ekonomi Islam yang bergerak di sektor riil dan non ribawi, anti krisis, sangat
jelas dapat mewujudkan kesejahteraan dan bangsa Indonesia yang besar, kuat dan
terdepan.
Dalam sistem ekonomi Islam
menetapkan migas termasuk kepemilikan umum yang dimiliki seluruh rakyat secara
dan haram dikuasai swasta. Negara pun tidak berhak memilikinya. Rasul saw. bersabda: Muslim
berserikat dalam tiga perkara, padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan
Ahmad). Dalam kasus BBM, negara akan mengembalikan posisinya sebagai hak milik
umum yang pengelolaannya diatur oleh negara. Sehingga tidak boleh ada campur
tangan swasta (privatisasi) dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini pun perlu
disinergiskan dengan strategi politik industri. Dimana, negara mampu
menciptakan industri alat-alat (industri penghasil mesin) terlebih dahulu.
Termasuk peralatan mesin mekanisasi pertanian untuk peningkatan produksi
pangan. Selama berbagai peralatan kita masih terganting pada Barat, selamanya
pula Barat terus memiliki kesempatan untuk mendikte dan menghegemoni kita.
Maka dari itu, seorang penguasa
harus memiliki konsep yang jelas dan benar bagaimana ia bisa menyediakan
kebutuhan pangan, pakaian, rumah, bahan bakar, listrik, sarana transportasi,
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan keamanan bagi tiap warga negara. Konsep
yang jelas dan benar itu telah ada dalam Syariah Islam. Khilafah (penguasa)
terikat untuk hanya mengimplementasikan konsep dari Syariah Islam, bukan yang
lain. Tidak hanya itu, ia seharusnya juga mampu mengimplementasikan konsepnya
tersebut sehingga kesejahteraan rakyat terwujud.
“Apakah hukum jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin.”
(TQS. Al Maidah : 50)
“Dan tidak patut bagi mukmin dan
mukminat, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguh ia telah sesat, sesat yang nyata.” (TSQ. Al Ahzab: 36)
Namun, sebagai manusia, penguasa
juga berpeluang melakukan kesalahan. Dalam hal inilah rakyat wajib menasehati
dan mengoreksi penguasanya. Rasulullah Saw pernah bersabda: “Sesungguhnya di
antara aktivitas jihad yang paling agung adalah menyampaikan kata-kata yang
adil (benar) kepada penguasa yang jahat.” (HR. At-Tirmidzi). Kesadaran rakyat
dan penguasa terhadap kewajiban-kewajiban terkait kontrol dan kritik ini
menjadi jaminan pemerintahan yang baik, adil, lurus dan bersih. Dalam suasana
hubungan seperti inilah penguasa dan rakyat bekerjasama untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi setiap rakyat. Sehingga tiga pilar yang diperlukan, yakni
individu yang bertaqwa, kontrol masyarakat dan penerapan oleh negara,
kesejahteraan akan terwujud. Termasuk di dalamnya mampu membentengi institusi
keluarga dari gaya hidup liberalisme yang menjerumuskan remaja pada seks bebas.
Dengan ini, Syariah dan Khilafah
adalah solusi fundamental bagi bangsa ini untuk keluar dari krisis
multidimensi. Maka saatnya memberi kesempatan pada Islam untuk menjawab
persoalan bangsa ini dan mengantarkan Indonesia sebagai bangsa besar, mandiri,
kuat dan terdepan dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Sistem ini bukan saja
telah teruji, tapi juga terberkahi dunia-akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar