[Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.]
Fenomena rok
mini memang sudah sejak lama menjadi standar fisik penunjang penampilan bagi
kalangan perempuan bekerja, khususnya yang tidak menutup aurat. Dan terkait
dengan hal ini, maka sekali lagi, ada-ada saja yang diurus
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah merealisasikan sejumlah proyek fasilitas
internal DPR bernilai milyaran rupiah, kini lembaga yang mengatasnamakan Wakil
Rakyat itu mengatur pakaian para stafnya. Aturan itu adalah, DPR melarang
perempuan yang menjadi stafnya memakai rok mini. Mereka harus
berpakaian sopan dan tidak boleh berpenampilan seksi (haluan kepri, 06/03/2012).
Berkenaan
dengan citra DPR sebagai tempat bertugasnya anggota dewan yang terhormat, maka Ketua
DPR, Marzuki Alie pun angkat bicara. Ia menyatakan bahwa pelarangan
penggunaan rok mini bagi staf menjadi bagian tugas kesekjenan. Namun, ia
berpandangan bahwa pakaian perempuan yang tidak pantas menjadi salah satu
pendorong kaum laki-laki untuk melakukan tindakan asusila hingga pemerkosaan. “DPR ini nggak ngurusi rok mini. Tapi, kita tahu, banyak sekali terjadinya perkosaan,
kasus-kasus asusila, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga
membuat hasrat laki-laki itu menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya
laki-laki, ada pakaian yang tidak pantas, itu yang menarik laki-laki itu
akhirnya berbuat sesuatu,” kata Marzuki di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/3/2012) (tribunnews.com, 06/03/2012).
Menurut Marzuki, dengan negara
Indonesia berlandaskan Pancasila, maka setiap warganya berhak berpakaian dengan
jenis dan ukuran apapun. “Orang mau berpakaian ini, kita tidak mungkin
melarang. Akan tetapi, berkaca dari kasus-kasus pelecehan dan perkosaan yang ada,
maka sebaiknya perempuan menggunakan pakaian yang pantas, patut, dan sesuai
kultur bangsa Indonesia. Itu perlu supaya tidak tejadi hal-hal yang kita tidak inginkan. Itu
saya hanya mengimbau untuk di luar (DPR),” lanjut Marzuki, yang sebelumnya juga mengomentari tentang sampah kondom yang berserakan di lingkungan lembaga yang dipimpinannya itu (tribunnews.com, 06/03/2012). Pernyataan ini khas,
karena lahir dari konsep hak asasi manusia, sebagai produk demokrasi
kapitalistik.
Sayangnya,
berita ini sudah terlanjur booming
sebagai berita nasional, termasuk di sejumlah jejaring sosial. Kini masyarakat tahu betul bagaimana tindak-tanduk anggota DPR yang terhormat itu. Citra anggota DPR ‘terjun bebas’ di mata sebagian
masyarakat. Maka muncullah
sejumlah guyonan tidak lucu seperti
“Sejak kapan anggota DPR concern dengan
urusan moral. Oh, mungkin
mau dimulai sejak sekarang kali ya. Tapi ingat, yang diimbau adalah ‘perbaikan’ moral orang lain, bukan perbaikan moral anggota dewan”. Guyonan
lain yang tak kalah pedas misalnya “Rok mini dilarang, dan kalo rok sudah
setinggi lutut dilarang untuk
naik lebih tinggi lagi. Lalu bagaimana dengan rencana kenaikan BBM? Jika kenaikan rok
dilarang, maka kenaikan harga BBM
kemungkinan besar akan disetujui anggota DPR. Kalo harga BBM udah setinggi lutut, naikan lagi biar semakin sehat.” (kompasiana, 07/03/2012).
Hal ini pun cukup
beralasan ketika anggota Komisi IX DPR, Rieke Dyah
Pitaloka, mencurigai isu pelarangan rok mini hanyalah permainan untuk
mengalihkan isu kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang kini semakin marak. “Ada pengalihan isu. Rok
mini tidak akan menyebabkan pengaruh pada kebutuhan pokok,” ujarnya saat ditemui
wartawan di DPR. “Saya merasa ini ada pengalihan isu. Kenapa publik
diarahkan pada rok mini,” imbuh Rieke. Usaha untuk mengalihkan isu tersebut dinilai tidak substantif. Lebih
lanjut Rieke mengatakan bahwa anggota dewan harus fokus pada tugas pokoknya
masing-masing (waspadaonline,
06/03/2012).
Perempuan yang akrab disapa Oneng ini
mengimbau kepada anggota dewan untuk mengkritisi proyek pembangunan ruang
Banggar DPR dengan dana Rp
20 miliar, ketimbang mengedarkan pelarangan rok mini. “Fokus pada tugas pokok
dewan sendiri untuk membicarakan yang lebih penting, misalnya ruang banggar
yang tidak penting,” pungkasnya. Peraturan tentang
penampilan perempuan di gedung wakil rakyat ini
pun didukung oleh Wakil Ketua DPR dari fraksi PDIP, Pramono Anung. Menurutnya,
peraturan ini penting untuk memulihkan citra DPR. Bagi Pramono, pakaian pejabat
lembaga negara dan staf anggota dewan harus mencerminkan kesopanan dalam
berpenampilan (waspadaonline,
06/03/2012).
Ketidakpantasan
di Gedung DPR ini tentu tidak boleh dibiarkan. Uraian di
atas harus
menjadi motivasi untuk melakukan perubahan. Perubahannya pun bukan sebatas
langkah konkrit secara fisik
seperti pembuatan aturan pelarangan rok mini itu sendiri,
melainkan harus berawal dari konsep yang mendasar. Jika permasalahan yang
timbul berupa hak kebebasan
berpakaian dan berperilaku, maka perkara yang harus
diganti adalah pihak yang telah melahirkan masalah tersebut, yaitu ideologi
kapitalisme. Perubahan konsepnya pun harus dimulai dari penggantian ideologi
yang memiliki kekuatan sebanding dengan ideologi kapitalisme, yaitu ideologi
Islam, bukan yang lain.
Islam merupakan seperangkat aturan yang
datang dari Allah Swt, Sang Pencipta manusia dan seluruh alam semesta, maka
sudah pasti aturan tersebut sesuai untuk mengatur ciptaan-Nya. Dengan demikian,
pengaturan kehidupan manusia, termasuk aturan berpakaian
dan sikap moral para pegawai pemerintahan, akan memberikan kenyamanan dan ketenangan jika diatur dengan sistem
Islam.
Islam memandang perempuan sebagai suatu kehormatan yang wajib dijaga dan
dipelihara. Islam mensyariatkan kerudung dan jilbab adalah untuk menjaga dan
memelihara kehormatan itu. Nabi saw bersabda: “Perempuan itu adalah aurat.” Badan perempuan harus ditutupi
sebagai aurat yang merupakan kehormatan baginya. Jika aurat itu dilihat orang
yang tidak berhak, maka perempuan itu dilecehkan kehormatannya.
Dalam
Islam, perintah menutup aurat tercantum dalam QS. An-Nuur [24] ayat 31 dan QS. Al-Ahzab [33] ayat 59 berikut ini:
“Katakanlah kepada perempuan yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan islam,
atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur [24]:
31).
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh
mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Ahzab [33]: 59). -- [1232] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang
yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Hal ini sebagaimana kisah di zaman Rasulullaah saw. Jika orang-orang
fasik melihat seorang perempuan yang mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan
bahwa ini perempuan merdeka dan mereka tidak berani mengganggu perempuan itu.
Jika mereka melihat perempuan itu tidak mengenakan jilbab, maka mereka
mengatakan bahwa ini budak perempuan, sehingga mereka menggodanya. Perempuan
berjilbab itu menjadi mulia karena diketahui bahwasanya mereka adalah perempuan
merdeka sehingga orang-orang fasik itu tidak mengganggunya. Orang-orang fasik
tidak berani mengganggu muslimah, karena pelecehan terhadap muslimah akan
menerima hukuman besar. Disamping itu, segala gangguan dan pelecehan terhadap
muslimah pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap kehormatan kaum muslimin
secara keseluruhan (Buku “Jilbab, antara
Trend dan Kewajiban”).
Sejatinya, Rasulullaah saw telah mencontohkan langkah teknis dalam
memilih para pegawai beliau. Beliau memilih para pegawai negara dengan dua
kriteria, yaitu (1) yang paling dapat berbuat terbaik dalam kedudukan yang akan
disandangnya, dan (2) mereka yang hatinya telah dipenuhi dengan keimanan (Kitab
Daulah Islam). Atas dasar ini,
sejatinya setiap muslim memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dengan
kapasitas yang telah Allah Swt tetapkan. Aturan berpakaian dan sikap moral para pegawai pemerintahan tidak perlu
repot untuk ditekankan selama ukurannya adalah ketaatan masing-masing individu berdasarkan
posisinya sebagai makhluk Allah Swt, karena hal ini akan menentukan kemuliaan
dan derajatnya. Allah Swt pun
sudah jelas dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa…” (QS Al-Hujurat
[49]: 13).
Wallahu a’lam
bish showab [].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar